ABC

Yanto Owerkion Disidangkan di Timika Karena Petisi Papua

Seorang pegiat kemerdekaan Papua Barat Yanto Awerkion rencananya akan menjalani sidang pertama hari Kamis (11/1/2018) di Timika dengan tuduhan menyampaikan petisi kemerdekaan Papua ke hadapan umum.

Yanto yang berusia 27 tahun sebelumnya sudah ditahan selama hampir delapan bulan tanpa tuduhan apapun.

Sidang semula akan dimulai hari Selasa (9/1/2018), namun dibatalkan karena hakim tidak hadir.

Petisi tuntutan kemerdekaan Papua tersebut ditandatangani oleh 1,8 juta warga Papua dan sudah disampaikan ke PBB.

Para aktivis Papua di luar Indonesia mengatakan bahwa penahanan Yanto merupakan pelanggaran hak asasi manusia, namun pemerintah Indonesia mengatakan Yanto melakukan tindakan untuk menciptakan tindak kekerasan.

Pegiat Papua termasuk Oridek Ap dari Kelompok United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mengatakan Indonesia sering kali menjatuhkan hukuman berat terhadap mereka yang dianggap melakukan tindakan pengkhianatan terhadap negara.

Menurut Ap, Yanto Awerkion bisa dijatuhi hukuman maksimal 15 tahun penijara.

Namun Ap mengatakan pegiat seperti Yanto Awerkion sudah mengerti mengenai resiko yang akan dia tanggung.

“Orang yang berani seperti Yanto dan teman-temannya, hanya sedikit sekali.” katanya kepada ABC.

"Tidak semua orang punya keberanian untuk menyampaikan, dan menerima resikonya."

Namun pengadilan juga menyampaikan berita yang tidak benar mengenai Papua Barat lewat media sosial dan lewat koran menyampaikan kebohongan mengenai apa yang terjadi di Papua, berbohong mengenai perjuangan kami, mengenai pejuang kemerdekaan yang berani berbicara.” kata Oridek Ap.

Mantan anggota parlemen dari Partai Hijau Selandia Baru Catherine Delahunty, yang sebelumnya membantu para pegiat kemerdekaan Papua, mengatakan kasus Yanto Awerkion ini bukanlah hal yang aneh.

“Pengibaran bendera Papua Barat di sana atau tindakan lain yang dianggap menentang kedaulatan Indonesia bisa dikenai tuduhan makar.”

“Warga lain sudah ditahan, tahanan politik sudah dikenai tuduhan, jadi ini adalah hal yang serius, pelanggaran hak asasi manusia.”

“Jadi masyarakat internasional harus mendukung orang-orang seperti Yanto dan yang lainnya, sehingga mereka tidak dikenai tuduhan makar dan mendapatkan hukuman penjara lama.”

Sudah sah menjadi bagian dari Indonesia

Sementara itu Juru bicara Kedutaan Indonesia di Canberra (Australia) Sade Bimantara mengatakan polisi sudah bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

“Orang ini membuat pidato yang menyerang dan mengancam negara kesatuan Indonesia. Pada dasarnya orang ini memiliki niat, sumber daya, jaringan dan sejarah untuk mengajak orang lain untuk mengubah wilayah batas Indonesia dengan cara apapun.”

“Jadi apa yang dilakukan polisi dan sistem hukum adalah menegakkan hukum yang berlaku di Indonesia.” kata Bimantara.

Sade Bimantara mengatakan beberapa kalangan di luar Indonesia yang mencoba menciptakan kekacauan dan Indonesia sudah menegaskan bahwa Papua adalah bagian tidak terpisahkan dari Indonesia.

"Ini sebenarnya bukan masalah lagi karena sudah diselesaikan di tahun 1969 dimana warga Papua sudah menyatakan bahwa Papua adalah bagian tidak terpisahkan dari Indeensia, dan keputusan sudah diakui oleh dunia internasional."

“Papua sama seperti bagian Indonesia lainnya adalah demokrasi. Di Papua sendiri, seluruh pemimpinnya dan juga parlemen dipilih sendiri oleh warga Papua.”

Namun Oridek Ap mengatakan pemerintah Indonesia mengkhawatirkan bahwa pernyataan itu tidak akan dianggap sah.

“Mereka tidak ingin warga di sana mengetahui kebenarannya, karena di tahun 1969 mereka memilih 102 orang dan memaksa mereka memilih untuk bergabung dengan Indonesia.”

“Apa yang mereka lihat sekarang adalah kami bisa mendapatkan 1,8 juta tanda tangan dari Papua dan dari Indonesia mendukung hak menentukan nasib sendiri.”

“Tentu saja mereka takut karena inilah kenyataannya, warga Papua ingin merdeka.” kata Oridek Ap.