ABC

“Yang Paling Bagus Tidak Mudik”: Pilihan Terbaik Hadapi Virus Corona di Indonesia Saat Ini

Di tengah polemik penggunaan kata mudik dan pulang kampung yang terjadi di Indonesia saat ini, strategi mana yang paling tepat untuk mengurangi penyebaran virus corona di Indonesia saat ini?

  • Sudah ada kampanye sticker menyarankan warga tidak mudik atau pulang kampung
  • Pakar mengatakan hal yang terbaik yang dilakukan adalah tidak mudik
  • Menurut seorang pengamat keputusan mendorong tidak mudik sudah sedikit terlambat

Dengan sebagian warga Indonesia sudah melakukan perjalanan atau masih akan melakukannya, entah dalam rangka pulang kampung, atau mudik karena Lebaran yang sudah dekat, kampanye untuk mendesak pergerakan dalam jumlah besar tidak dilakukan sekarang semakin gencar.

Kalau Emang Abang Sayang, Virus Corona Jangan Kau Bawa Pulang, demikian tulisan di sebuah stiker di kaca belakang sebuah mobil di Jakarta, kota dengan jumlah kasus COVID-19 terbanyak di Indonesia.

Stiker yang juga dapat ditemukan di tembok beberapa tempat di sepanjang jalan kota ini merupakan inisiatif Dodi Triaviandi bersama kedua orang temannya yang tinggal di Cibubur, Jakarta Timur.

Stiker buatannya pun sengaja dibikin dalam beberapa versi bahasa daerah agar bisa menjangkau lebih banyak orang.

Meski sebelumnya hanya berupa tagar di media sosial berbunyi #TakPulangKarenaSayang, sejak tiga hari yang lalu, kampanye ini mulai diseriusi Dodi dan partisipan lainnya yang sadar bahwa kegiatan mudik turut memperbesar risiko penularan COVID-19.

gambarsticker_abc_200423
Salah satu sticker yang beredar di Jakarta sekarang mengajak warga Indonesia tidak mudik di Lebaran mendatang.

Supplied: Dodi Triaviandi

“Pada akhirnya, Indonesia punya tradisi yang kuat untuk mudik tadi. Selain dari masalah tradisi yang berhubungan dengan keagamaan umat Muslim, itu juga sebenarnya masalah ‘bonding’ mereka dengan kampung halamannya,” kata Dodi yang adalah pekerja industri kreatif.

Dodi Triaviandi dan temannya membuat ajakan tidak mudik dengan metode komunikasi yang mudah dipahami warga Indonesia
Dodi Triaviandi dan temannya membuat ajakan tidak mudik dengan metode komunikasi yang mudah dipahami warga Indonesia.

Supplied

“Jadi, faktor emosional ‘is a big thing’ [atau adalah hal yang besar] buat orang Indonesia. Dari situ, kami terpikir untuk membuat suatu kampanye yang bukan imbauan atau larangan mudik, tapi sebuah pengingat.”

Memangnya, ada apa dengan mudik?

Pandemi global COVID-19 ini memang mengubah banyak hal, termasuk mudik.

Dengan jumlah pemudik yang rata-rata per tahun mencapai 7,5 juta orang, upaya pembatasan pergerakan orang sebagai syarat penekanan angka pasien COVID-19 tidak akan terlaksana.

“Yang paling bagus mudik tidak dilakukan,” kata Dr Endah Rokhmati yang bersama dengan tim SimcovID Kamis lalu (16/04) mengeluarkan pemodelan simulasi mudik dan PSBB terbaru yang menghasilkan tiga skenario.

Di skenario ketiga, tim tersebut menemukan bahwa perpindahan masyarakat dari episentrum, atau pusat penyebaran wabah terbesar, dengan angka kasus yang lebih banyak, ke episentrum lainnya dapat menimbulkan ledakan kasus di wilayah kedua.

Perpindahan pemudik dari wilayah pertama dengan jumlah kasus COVID-19 lebih banyak dapat menimbulkan ledakan kasus di wilayah kedua
Perpindahan pemudik dari wilayah pertama dengan jumlah kasus COVID-19 lebih banyak dapat menimbulkan ledakan kasus di wilayah kedua

Supplied: Tim SimcovID

Skenario tersebut sesuai dengan situasi “mudik lebih awal” yang dilakukan pekerja dari Jakarta, sebagai episentrum dengan kasus terbanyak di Indonesia, ke beberapa daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang merupakan tujuan utama pemudik dari Jabodetabek di tahun 2019.

Meski dibutuhkan kajian yang lebih mendalam untuk memastikan bahwa skema mudik dini menjadi faktor meningkatnya jumlah kasus di ketiga daerah ini, Dr Endah Rokhmati bersama tim SimcovID menilai besarnya kemungkinan tersebut.

“Kalau hal itu terjadi, maka resiko ‘collapse’ [atau runtuhnya] fasilitas kesehatan di rumah sakit di daerah yang sebelumnya episentrum dengan intensitas lebih rendah, akan menjadi lebih tinggi,” ujar Endah kepada ABC.

Melihat pemodelan dari timnya, Dr. Endah mengatakan keputusan terbaik yang dapat diambil di tengah pandemi COVID-19 adalah untuk tidak mudik.
Melihat pemodelan dari timnya, Dr. Endah mengatakan keputusan terbaik yang dapat diambil di tengah pandemi COVID-19 adalah untuk tidak mudik.
 

Supplied: Dr Endah Rokhmati

 

Menyelamatkan desa dengan tidak mudik

Meski bukan salah satu orang yang membaca stiker bikinan Dodi, Fandhi Bagus Alwianto bertekad tidak mudik tahun ini.

Keputusan untuk tidak mudik dan mengunjungi ibu yang tinggal sendiri di kampung halamannya di Nganjuk, Jawa Timur, tidaklah mudah bagi Fandhi yang selalu melakukan tradisi itu setiap tahunnya.

Fandhi sadar, keputusan membatalkan mudik harus ia ambil setelah ibunya menolak untuk mengunjunginya di Jakarta.

Keputusan tidak mudik adalah bentuk respek Fandhi terhadap desanya yang melakukan usaha menghindari COVID-19.
Keputusan tidak mudik adalah bentuk respek Fandhi terhadap desanya yang melakukan usaha menghindari COVID-19.

Supplied

“Saya rasa Ibu saya berpikirnya cukup bagus juga. Ia tidak mementingkan satu aspek sendiri atau dirinya sendiri, tapi juga memikirkan hal-hal lain,” kata Fandhi dalam wawancara via telepon dengan Natasya Salim dari ABC Indonesia.

“Mungkin untuk saat ini aku sehat tapi mungkin dalam perjalanan, entah naik kereta, naik bus, atau pesawat ternyata tiba-tiba kena [virus] karena memegang benda yang ada virusnya, tercium, dan sampai Jakarta aku malah kena,” kata Fandhi menirukan kalimat sang Ibu.

Setelah Fandhi mendengar bahwa desanya telah secara ketat mewajibkan karantina bagi pemudik dan melakukan langkah ‘PSBB’ yang menurutnya cukup ekstrem, editor di rumah produksi film dokumenter tersebut segera mengambil keputusan untuk tidak mudik.

“Kata ibu saya, desa sudah memberlakukan ‘PSBB’ yang sedikit ekstrem, meskipun pemerintah tidak menyebutnya PSBB. Mencekamnya, kata beliau, setiap jam 9 malam akses untuk masuk desa sudah ditutup sampai jam 5 pagi, jadi orang tidak boleh keluar masuk desa,” kata dia.

“Larangan untuk mudik sudah agak terlambat”

Setelah hampir dua minggu pemerintah hanya mengeluarkan seruan atau imbauan untuk tidak mudik, Selasa kemarin (21/04), Presiden Joko Widodo akhirnya secara resmi mengeluarkan larangan mudik yang berlaku tanggal 24 April.

Namun, menurut pengamatan Farid Gaban, wartawan senior yang sejak lima tahun terakhir tinggal di Wonosobo, Jawa Tengah, larangan ini terlambat diberlakukan.

Menurut pengamatan Farid, warga Wonosobo sempat panik saat ada satu pasien positif
Menurut pengamatan Farid, warga Wonosobo sempat panik saat ada satu pasien positif namun kembali "longgar" setelah pasien sembuh.

Supplied

“Sebenarnya kalau untuk sekarang menurut saya sudah agak terlambat. Itu yang saya khawatirkan,” kata Farid kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.

Pernyataan Farid Gaban bukannya tanpa bukti. Salah satu narasumber kami lainnya adalah salah satu yang sudah mudik, meskipun belum musim lebaran.

Mudik lebih awal karena PHK

Indra adalah salah satu pekerja di Jakarta yang terpaksa harus “mudik awal” karena kehilangan pekerjaannya sebagai admin ‘outlet’ restoran yang pendapatannya terjun bebas akibat COVID-19.

Sejak kehilangan pekerjaannya di akhir bulan Maret lalu, Indra yang berasal dari Bandung, Jawa Barat, langsung memutuskan untuk pulang demi menghemat biaya hidup.

Melihat angka kasus di Jakarta yang hingga artikel ini diterbitkan sudah mencapai 3.383, Indra memutuskan untuk tidak kembali dan tetap mengisolasi diri di Bandung.

Sejak kemarin (22/04), PSBB Bandung Raya mulai diberlakukan.
Sejak kemarin (22/04), PSBB Bandung Raya mulai diberlakukan.

Foto: Antara

“Untuk sekarang sih tidak mungkin kembali ke Jakarta, karena posisinya seperti ini. Tidak tahu sampai kapan. Dan sekarang pun di Bandung untuk mencari pekerjaan ya lumayan sulit. Karena teman-teman di sini juga nasibnya hampir sama [dengan saya].”

Sejak hari Rabu (22/04) Jawa Barat mulai memberlakukan PSBB dan mewajibkan restoran untuk hanya melayani pesan-antar dan menutup fasilitas makan di tempat.

Meski sudah meninggalkan Jakarta, kekhawatiran Indra akan kemungkinan tertular COVID-19 di Jawa Barat, yang kini memiliki 762 kasus, tetap ada.

Ini karena ia masih sering melihat banyaknya kerumunan orang di beberapa ruas jalan kota tersebut.

Wonosobo sempat panik, namun kembali “longgar”

Seperti Bandung, kota Wonosobo di Jawa Tengah juga merupakan salah satu kota tujuan mudik.

Saat wabah corona pertama kali muncul, warga di Wonosobo sempat panik dan memperketat ‘physical distancing’, termasuk membuat portal keluar-masuk kampung, hingga menyemprot desinfektan, setelah mendengar berita ada satu pasien positif COVID-19 di daerah mereka.

Namun, upaya mengurangi kemungkinan penularan COVID-19 itu tidak berlangsung lama.

Gedung sekolah di Desa Sambikerep, Wonosobo, Jawa Tengah digunakan untuk mengarantina pemudik dari luar daerah.
Gedung sekolah di Desa Sambikerep, Wonosobo, Jawa Tengah digunakan untuk mengarantina pemudik dari luar daerah.

Supplied: Fandhi Bagus Alwianto

“Dua bulan lalu, sosialisasi belum terlalu masif dan dipahami. Di sini orang juga belum mengira akan tertular. Berita ada satu pasien positif [virus] corona membuat orang sadar bahwa virus tersebut akhirnya menulari Wonosobo,” kata Farid Gaban.

Meski sudah tersedia tempat karantina bagi pemudik yang kembali ke Wonosobo, Farid mengatakan persediaan alat kesehatan untuk mengantisipasi penyebaran virus corona di daerah belum memadai.

“Rapid test ada, tapi tidak cukup akurat. Kemudian PCR test itu harus terpusat selama ini sehingga lambat sekali,” kata dia.

“Jadi sebenarnya kalau kita bikin karantina, seperti meraba dalam kegelapan karena kita tidak tahu persis orang sehat kan juga bisa sudah terkena virus karena masa inkubasinya yang 14 hari.”

“Masyarakat Indonesia harus selalu diingatkan”

Kampanye #TakPulangKarenaSayang bersifat terbuka dan dapat disuarakan oleh siapapun yang berminat
Kampanye #TakPulangKarenaSayang bersifat terbuka dan dapat disuarakan oleh siapapun yang berminat.

Supplied

Melalui kampanye #TakPulangKarenaSayang, Dodi ingin meyakinkan 24 persen warga yang masih ingin mudik, melalui metode komunikasi yang menurutnya dapat diterima warga Indonesia.

Menurut Dodi, dalam waktu dekat, stiker kreasinya akan disebarkan lebih luas ke angkot, pasar, terminal, dan tembok-tembok di pinggir jalan kota Jakarta, yang mudah dilihat para pejalan kaki.

“Kebetulan selama ini saya terlibat di periklanan juga. Jadi saya paham bahwa masyarakat Indonesia itu untuk hal-hal seperti ini memang harus diingatkan] lagi. Jadi makin banyak diingatkan, semakin baik.”

Upaya Dodi untuk memperingatkan warga melalui media stiker mungkin bisa menjadi salah satu cara untuk mengisi celah yang ditinggalkan pemerintah.

Sebab, menurut pengamatan Farid yang adalah Ketua Dewan Riset Daerah (DRD) Kabupaten Wonosobo, kesadaran minim warga di daerahnya berakar dari ketidakseriusan Pemerintah dalam menangani COVID-19.

“Karena kalau separuh-separuh, seperti misalnya PSBB di Jakarta sekarang, di satu sisi ada pembatasan, tapi juga sebenarnya banyak orang yang masih ke kantor, menurut saya, dari sana orang akan tertular dan ekonomi tetap akan rusak.”

Simak berita lainnya di ABC Indonesia dan ikuti kami di Facebook dan Twitter.