ABC

Winda Liviya Belum S1 Sudah Studi S3 di Melbourne

Winda Liviya NG adalah mahasiswi asal Indonesia yang sedang menyelesaikan pendidikan S3 di Monash University, namun uniknya dia sebenarnya belum menamatkan pendidikan S1 ketika berada di Indonesia.

Gadis berusia 25 tahun tersebut sebelumnya tercatat sebagai mahasiswa S1 di Universitas Indonesia, namun perjalanannya ke Melbourne kemudian membawa perubahan setelah dia mendapat beasiswa untuk melanjutkan S3.

Berikut percakapan wartawan ABC Australia Plus Indonesia L. Sastra Wijaya dengan Winda Liviya NG dalam beberapa kesempatan lewat email.

Anda sekarang sedang menyelesaikan pendidikan doktoral di Monash University. Bagaimana perjalanan sehingga anda bisa sampai ke Melbourne?

Setelah saya lulus SMA, saya melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Berhubung saya masuk ke program internasional, sebagai bagian dari program studi, saya  datang ke Melbourne selama satu tahun untuk melakukan riset dan mengambil gelar Sarjana Kedokteran (BMedSc(Hons)

Setelah menyelesaikan program BMedSc(Hons), seharusnya saya kembali dan melanjutkan program studi kedokteran saya, tetapi karena saya sangat tertarik dengan riset kedokteran, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan saya ke tahap S3 di Melbourne, Australia setelah aplikasi beasiswa saya diterima.

Apa latar belakang pendidikan anda sebelumnya di sekolah menengah?

Saat SMA, saya menjalani jurusan science melalui program GCE A level dari Cambridge University di Jubilee School, Kemayoran, Jakarta. Di tahun terakhir kami harus harus menghadapi Ujian A level dan juga Ujian Nasional.

Penelitian apa yang sedang anda lakukan untuk program PhD ? Apa yang menarik atau penting dari penelitian yang sedang anda lakukan?

Proyek-proyek dalam PhD saya bertujuan untuk mempelajari apakah obesitas dapat menyebabkan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari, bagaimana hal ini dapat terjadi, dan apakah penurunan berat badan dapat membantu meringankan rasa kantuk tersebut.

Bila betul obesitas dapat menyebabkan rasa kantuk yang berlebihan (dan kami telah menemukan beberapa bukti dari riset kami), maka menurunkan berat badan tidak hanya penting untuk mencegah komplikasi seperti diabetes dan penyakit jantung koroner, tetapi juga untuk mencegah akibat-akibat dari rasa kantuk yang berlebihan; seperti penurunan produktivitas kerja, penurunan kesehatan mental, cedera waktu kerja, dan kecelakan lalu lintas (yang dapat menyebabkan kematian).

Selain itu, bekerja sama dengan institusi riset di Swedia, saya juga meneliti tentang obesitas dan penggunaan obat tidur, dengan menggunakan data nasional (drug registry) mereka. Di luar PhD, bekerja sama dengan anggota tim riset saya di Melbourne, saya juga melakukan riset-riset lain yang masih berhubungan dengan obesitas, tetapi di luar topik gangguan tidur.

Semua riset yang saya lakukan bukan melalui eksperimen dalam laboratorium tetapi menggunakan data yang dianalisa dengan ilmu statistik.

Ilmu statistik inilah yang sangat saya sukai dari penelitian saya; dan menurut saya akan sangat berguna setelah saya kembali ke Indonesia nantinya karena Indonesia memiliki banyak data yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi dunia kedokteran di tingkat internasional.

Winda Liviya (tengah berbaju merah) ketika menghadiri konferensi mengenai Obesitas Asia Oceania di Bandung
Winda Liviya (tengah berbaju merah) ketika menghadiri konferensi mengenai Obesitas Asia Oceania di Bandung

Foto: Istimewa

Dari CV, anda pernah belajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan disebut masih berlanjut? Apa yang terjadi? Apakah nanti setelah anda selesai pendidikan PhD di Monash, anda akan kembali ke Indonesia untuk menyelesaikan pendidikan di UI?

Saat saya memutuskan untuk mengambil program S3 di Monash University dan Baker IDI Heart and Diabetes Institute, saya mangajukan permohonan cuti akademik kepada pihak FKUI; sehingga seusai program PhD di Australia saya dapat kembali untuk melanjutkan program studi kedokteran saya.

Untuk saat ini saya belum membuat keputusan, apakah akan kembali ke program kedokteran di Universitas Indonesia atau akan melanjutkan riset dengan pihak Australia/Swedia. Untuk sekarang, fokus utama saya adalah menyelesaikan studi PhD saya sebelum Maret tahun depan

Dalam usia semuda ini, 25 tahun, anda sudah berada di jenjang S3, apakah dahulu anda pernah memperkirakan hal tersebut akan terjadi?

Sama sekali tidak. Saat SD, saya menantikan hari di mana saya tidak usah bangun pagi untuk ke sekolah lagi; hanya pada saat SMA saya mulai suka belajar.

Tetapi bahkan pada saat itu saya juga tidak begitu banyak memikirkan tentang jurusan atau gelar di masa depan. Asal bisa terus menekuni bidang science, gelar apapun tidak masalah. Saya juga tidak tahu bahwa PhD adalah gelar S3 saat mengajukan aplikasi untuk program ini. 

Sejak kecil, apakah keterlibatan anda dengan dunia kedokteran memang sesuatu yang dicita-citakan? Apakah memang ada latar belakang keluarga yang mendukung hal tersebut?

Sebenarnya bukan. Jurusan yang ingin saya ambil adalah matematika, meskipun banyak dari keluarga yang terlibat dalam bidang kedokteran.

Tetapi karena tidak mendapat dukungan dari keluarga, saya harus memilih jurusan lain; dan kedokteran adalah satu-satunya jurusan dalam bidang science yang tidak begitu banyak terlibat dengan fisika, mata pelajaran yang ingin saya hindari.

Posisi saya sekarang sangat sempurna karena merupakan gabungan kedokteran dan matematika (statistik).

Sejauh ini bagaimana anda perbedaan penddikan yang anda alami di Indonesia dan di Australia? Apakah ada hal yang bisa menjadi pelajaran yang bisa digunakan di Indonesia yang anda lihat di Australia?

Ada banyak perbedaan dalam sistem edukasi Indonesia dan Australia. Misalnya:

Di sini saya bisa berdiskusi dan saling bertukar saran bersama seorang profesor seperti teman kerja yang seangkatan, sedangkan di Indonesia interaksi antara mahasiswa dan dosen jauh lebih formal, lebih menyerupai sistem di Jerman.

Selain itu, ada banyak kesempatan untuk meraih beasiswa di Australia dan sebagian besar beasiswa tersebut tidak memerlukan kontra prestasi apapun dari penerima, hal ini dapat memotivasi generasi muda untuk mencoba meraih lebih tinggi.

Khusus untuk program PhD, mahasiswa diharuskan untuk mendapatkan beasiswa; dengan kata lain mahasiswa dididik untuk menjadi mandiri dan lepas dari dukungan orang tua.

Selain beasiswa, banyak juga tersedia travel fund dari pihak Universitas, institusi riset dan lembaga amal lainnya. Karena bantuan dari mereka, saya dapat mempresentasikan hasil riset saya di berbagai negara, belajar dari yang terbaik dan membangun kolaborasi di tingkat internasional.

Kesempatan ini saya rasa masih sangat perlu ditingkatkan di Indonesia.

Juga sebenarnya banyak sekali fasilitas yang ditawarkan oleh pihak universitas, tidak hanya untuk keperluan akademik, tetapi juga kesehatan fisik dan mental. Universitas di sini menyediakan lingkungan yang optimal untuk edukasi yang maksimal.

Perjalanan PhD sangat panjang, tetapi dengan dukungan kedua institusi di Melbourne, perjalanan ini menjadi jauh lebih gampang lulus.

Tetapi tentu ini bukan berarti sistem edukasi Indonesia buruk. Selalu ada yang bisa dipelajari, baik Indonesia dari Australia ataupun sebaliknya. Hal yang terpenting adalah kemauan dan semangat untuk terus berkembang.

Winda Liviya di sela-sela kegiatan program musim panas di Amsterdam (Belanda)
Winda Liviya di sela-sela kegiatan program musim panas di Amsterdam (Belanda)

Foto: Istimewa

Dari perjalanan anda menempuh PhD ini, pengalaman apa saja yang  sudah anda alami dalam menghadiri konprensi dan apa yang menarik bagi menghadiri berbagai konferensi tersebut.

Banyak sekali yang menarik dari konferensi ilmiah. Pertama, kita dapat dengan cepatnya mengetahui apa penemuan-penemuan paling baru dan penting dari bidang yang kita tekuni.

Para peneliti, dokter, serta ilmuwan lainnya dapat saling mengenal, bertukar pendapat dan mencari kesempatan untuk bekerja sama. 

Pengalaman ini sangat berharga, apalagi bila diberi kesempatan untuk melakukan presentasi.

Di saat Anda memberikan presentasi, Anda adalah salah satu orang yang paling ahli dalam bidang ini dan ilmuwan lainnya datang dari berbagai negara untuk duduk di ruangan dan mendengarkan hasil dari penilitan Anda.

Menurut saya pengalaman ini sangat sensasional dan jangan sampai terlewatkan oleh mahasiswa PhD lainnya. Selain semua itu, bagi yang suka travelling, konferensi juga merupakan suatu kesempatan yang bagus untuk mengunjungi tempat-tempat yang berbeda. 

Apakah semua itu merupakan pengalaman menarik atau tidak membosankan bagi anda yang masih begitu muda ?

Tidak membosankan sama sekali. Malah menurut saya, saya lebih antusias saat baru mulai menempuh PhD di umur 22.

Semakin tua semakin banyak yang sudah dilihat, dan ada beberapa hal sudah menjadi tidak begitu menarik lagi.

Tetapi konferensi masih sangat penting dan menyenangkan untuk saya saat ini, untuk mendapatkan update dalam waktu yang singkat, dan juga untuk bertemu dengan rekan-rekan lainnya. 

Selain terlibat dalam kegiatan keilmuan serius, apa kegiatan anda yang lain ?

Setiap minggu saya selalu meluangkan waktu untuk berinteraksi dengan alam (nature); baik itu jalan-jalan di sepanjang pantai seperti St.Kilda Beach, atau hiking ke pegunungan seperti Dandenong.

Karena alam adalah obat antidepresan yang paling kuat; dan juga dapat membantu saya mencari solusi ke berbagai masalah atau berpikir secara kreatif.

Selain itu mungkin keluar bersama teman untuk menikmati makanan di Melbourne, lalu bersantai di berbagai macam bar Melbourne yang unik dan tersembunyi.

Saya juga tertarik dengan symphony, musical,  dan kegiatan lain seperti Japanese tea ceremony dan baking.

Banyak sekali kegiatan yang bisa dilakukan di Melbourne, untuk itu tidak susah bagi saya untuk menjaga keseimbangan hidup, meskipun mungkin dalam 5 bulan terakhir PhD ini, saya tidak akan ada banyak waktu lebih.