ABC

Wayan Pernah Dipasung Empat Tahun di Bali, Ribuan Orang Juga Bernasib Sama

Wayan Sumartono, seorang warga Bali pernah dipasung selama empat tahun oleh keluarganya.

“Lengan dan kaki saya dirantai,” katanya, sambil mengatakan jika keluarganya tak tahu ia punya skizofrenia

“Saya dulu merasa sedih dan tersiksa.”

Wayan hanyalah satu dari ratusan ribu orang di seluruh dunia yang dipasung dan dikurung selama berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun karena kondisi mental mereka, menurut laporan terbaru dari Human Rights Watch (HRW).

Dalam laporan tersebut ditemukan pria, wanita dan anak-anak, bahkan ada yang berusia 10 tahun mengalami pasung di 60 negara, termasuk di Indonesia.

Andreas Harsono dari HRW Indonesia mengatakan data resmi menunjukkan 67.000 orang di pasung di seluruh negara Asia Tenggara.

“Kami tidak tahu angka sebenarnya, tapi banyak [pakar medis memperkirakan] jumlahnya lebih tinggi,” katanya.

A man wearing a face mask walks past a coronavirus-themed mural in Jakarta.
Human Rights Watch memperingatkan orang dengan kondisi mental tertentu di Indonesia lebih beresiko tertular virus corona.

AP: Achmad Ibrahim

‘Martabat mereka diabaikan’

“Banyak keluarga merasa anggota keluarga mereka yang sakit mental disebabkan sihir, kerasukan, atau pernah melakukan dosa,” kata Kriti Sharma, peneliti senior di HRW yang menulis laporan tersebut.

Dengan tidak adanya layanan kesehatan mental yang memadai, kebanyakan keluarga malah mendatangi dukun tradisional atau memasung mereka.

Sebuah survei Pemerintah Indonesia di tahun 2018 menemukan 30 persen orang dengan kondisi kesehatan mental yang serius setidaknya pernah dipasung sekali dalam hidup mereka.

Ada sebutan “pusat penyembuhan” di Indonesia, mulai dari Bali yang mayoritas warganya Hindu, hingga pulau-pulau lainnya, seperti di Jawa yang mayoritas Muslim atau Flores yang kebanyakan penduduknya Kristen.

“Mereka dipaksa untuk minum obat, ramuan herbal, dibacakan ayat Al Quran, atau didengarkan ayat Injil dan sejumlah bentuk tindakan spiritualitas lainnya,” kata Kriti.

“Martabat mereka diabaikan.”

HRW menemukan orang dengan kondisi mental tertentu sering juga mengalami kekerasan fisik dan seksual saat mengikuti proses penyembuhan secara spiritual.

“Kami menemukan orang-orang dipasung selama bertahun-tahun di pusat pengobatan religius … di beberapa negara bahkan mereka dicambuk dan mereka menunjukkan bekas lukanya,” jelas Kriti.

etrus Roy, a 35-year-old man, has been kept in pasung (shackled) in his family home.
Petrus Roy, berusia 35 tahun, dipasung di rumah keluarganya di Maumere, Flores, selama 10 tahun.

Foto: Andrea Star Reese

Pemerintah Indonesia telah berupaya mengatasi masalah pasung dalam beberapa tahun terakhir melalui layanan kesehatan masyarakat dengan mengunjungi rumah warga, sebagai bagian dari pelayanan Puskesmas.

Petugas puskesmas dapat memberikan pengobatan dan bantuan lainnya, meskipun warga tinggal jauh dari ibukota provinsi.

Eva Rahmi Kasim, juru bicara Kementerian Sosial Indonesia, mengatakan Pemerintah Indonesia sudah mengambil “banyak tindakan” untuk mengurangi penganiayaan terhadap orang-orang dengan penyakit jiwa.

Namun dia mengatakan masih ada rintangan birokrasi.

“Salah satu tantangan bagi kami adalah koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penanganan penyandang gangguan jiwa, khususnya yang tinggal di tempat-tempat fasilitas.”

Beresiko tinggi saat pandemi COVID-19

Indonesia memiliki kurang dari 1.100 psikiater dalam populasi 270 juta orang, yang tersebar di seluruh Nusantara.

“Masalah yang mendasar adalah kurangnya bantuan untuk kesehatan mental,” kata Andreas.

“Flores, pulau yang besar, tapi tidak ada psikiater satupun. Dari 34 provinsi, delapan di antaranya tidak punya fasilitas kesehatan mental.”

Pandemi virus corona telah memperparah sistem kesehatan Indonesia, dengan pembiayaan kesehatan per kapita-nya sangat rendah dibandingkan negara tetangganya.

HRW juga mengatakan mereka yang dipasung dalam fasilitas kesehatan mental paling berisiko tertular virus corona.

“Mereka tinggal di dalam ruangan yang sesak dan tidak memiliki akses ke sanitasi yang layak … dan tidak ada fasilitas kesehatan yang mendasar,” kata Kriti.

“Banyak pemerintah, termasuk Pemerintah Indonesia, telah mengatakan jika COVID-19 telah memperbanyak jumlah orang yang dipasung.”

Indonesian workers in hazmat suits lower a coffin containing the body of a suspected COVID-19 victim into a grave.
Petugas mengubur jenazah yang diduga tertular virus corona di sebuah taman pemakaman umum di Jakarta.

AP: Dita Alangkara

Indonesia mencatat lebih dari 311.000 kasus virus corona sampai saat ini dengan jumlah kematian sebanyak 12.000.

Meskipun demikian, Puskesmas telah membatasi layanannya sejak pandemi, yang berarti lebih sedikit pula llayanan medis ke rumah-rumah warga.

Andreas mengatakan, dengan melanjutkan layanan Puskesmas ke rumah, Pemerintah Indonesia dapat membantu mereka yang memiliki gangguan kesehatan mental, sekaligus membantu menangani virus corona.

“Pemerintah harus melakukan layanan dari rumah ke rumah untuk melawan COVID-19. Kalau melihat masalah di Indonesia, ada kekurangan jumlah tes dan pelacakan,” katanya.

Melakukan pendekatan kelompok

I Gusti Rai Wiguna, seorang psikiater di Bali mendirikan Rumah Berdaya pada tahun 2015.

Rumah Berdaya adalah ruang komunitas yang dibuat untuk orang yang hidup dengan skizofrenia, sekaligus tempat untuk meningkatkan kesadaran publik tentang kesehatan mental.

Wayan adalah satu dari sekitar 60 orang yang rutin datang ke tempat ini untuk membuat kerajinan, sablon dan dupa, selain juga untuk bersosialisasi dan mencari nafkah.

Dr Wiguna mengatakan orang-orang di Rumah Berdaya menemukan kembali kepercayaan dalam diri mereka melalui sejumlah kegiatan yang dilakukan.

“Kami tahu ada kekurangan dana yang sangat besar untuk kesehatan mental di Indonesia,” katanya.

Andreas mengatakan kepada ABC jika apa yang dilakukan oleh Rumah Berdaya dianggap sebagai “praktik terbaik oleh Organisasi Kesehatan Dunia.”

“Anda tidak hanya memutus rantai, tetapi Anda memiliki orang-orang dengan kondisi kesehatan mental untuk menyatu kembali ke masyarakat masing-masing.”

“Ini yang dibutuhkan Indonesia, tidak harus mendirikan rumah sakit atau fasilitas kesehatan. Ini adalah peer to peer assistance,” ujarnya.

Two men sitting on the floor with one man making a paper bag and another man looking at camera
Wayan (kanan) membuat tas dari kertas di Rumah Berdaya, Bali.

Foto: Human Rights Watch

Sebelum COVID-19, Wayan berkunjung ke Rumah Berdaya empat kali seminggu.

Keluarganya membebaskan Wayan dari pasung di tahun 2017, kemudia ia sempat membutuhkan kursi roda, karena tidak bisa jalan setelah dirantai begitu lama.

“Sekarang saya mengendarai motor kemana-mana dan punya SIM,” ujarnya.

“Saya sangat berharap semua orang berobat dan tidak ada lagi orang yang dipasung.”