ABC

Warga Selandia Baru Merasa Paling Didiskriminasi

Menurut sebuah laporan terbaru di Australia, warga Selandia Baru yang pindah ke Australia melaporkan bahwa mereka mendapatkan diskriminasi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok migran lain.

Laporan bernama The Australians Today didasarkan pada surveri terhadap lebih dari 10 ribu orang.

Dalam laporannya disebutkan bahwa kebanyakan migran puas dengan kehidupan mereka di Australia, namun warga Selandia Baru dan Sudan Selatan adalah dua kelompok yang paling sedikit merasa bagian dari kehidupan di Australia dan mengalami diskriminasi paling banyak.

Penulis laporan Professor Andrew Markus mengatakan banyak warga Selandia Baru, yang memegang Visa Kategori Khusus (Special Category Visa) mengatakan mereka mendapat ‘kesepakatan yang buruk’ di Australia karena mereka boleh kerja dan tinggal namun tidak bisa memberikan suara di pemilu dan tidak menerima tunjangan sosial dan tunjangan lainnya.

“Di satu sisi, mereka sudah tahu hal tersebut karena semuanya sudah dijelaskan dari awal kepada mereka.” kata Prof Markus.

“Namun mereka tetap saja merasa tidak puas, karena mereka sudah bekerja bertahun-tahun di sini, membayar pajak, memberikan kontribusi bagi masyarakat, namun ketika mereka mengalami kesulitan, mereka tidak bisa mendapatkan tunjangan sosial dari Centrelink.”
“Mereka juga tidak puas dengan kenyataan bahwa warga Australia yang pindah ke Selandia Baru bisa mendapatkan kewarganegaraan penuh, namun ini untuk proses sebaliknya.”

Professor Markus mengatakan tingkat prasangka warna kulit terhadap migran asal Sudan Selatan sangat ‘tinggi’, dengan 80 persen responden mengatakan mereka mengalami diskriminasi.

Baik warga Selandia Baru dan Sudan Selatan juga melaporkan rasa percaya rendah terhadap Australia, dengan warga Selandia Baru tidak memiliki kepercayaan terhadap partai politik (10 persen), dan warga Sudan Selatan melaporkan rasa tidak percaya dengan polisi (24 persen) dibandingkan kelompok migran lain.

Baru-baru ini terjadi ketegangan ketika lebih dari 100 anak muda keturunan Afrika, Islander dan kulit putih memenuhi jalan di kota Melbourne selama Momba Festival dan bentrok dengan polisi.

Wanita muslim lebih besar kemungkinan terkena diskriminasi dibandingkan pria

Survei yang dilakukan oleh Scanlon Foundation dan Monash University, menyimpulkan adanya tingkat pandangan negatif yang tinggi terhadap warga Muslim dengan wanita Muslim kemungkinan dua kali lebih tinggi mendapat perlakuan diskriminasi dibandingkan pria.

A girl wearing a hijab waits to cross the road in Melbourne.
Wanita Muslim dua kali lebih tinggi kemungkinan terkena diskriminasi di Australia, menurut laporan terbaru.

ABC News: Margaret Burin

Professor Markus mengatakan bahwa salah satu contoh paling buruk melibatkan seorang pengemudi tram di Melbourne yang menolak naiknya seorang wanita yang sedang hamil besar, karena ketika dia melihat, wanita tersebut mengenakan busana Muslim.

“Tram berhenti, dan wanita itu berada di perempatan, dan berusaha naik, namun ketika melihat wanita tersebut, tram tersebut melaju.” kata Prof Markus.

“Dan ketika dia melihat wanita tadi menyaksikan penumpang lain tertawa.

“Ini adalah hal yang kita lihat terjadi di Australia sekarang ini.”

Dia mengatakan wanita tadi sedang dalam perjalanan ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan, namun karena begitu marah dengan pengalaman itu, dia memutuskan pulang ke rumah.

Kurangnya pemahaman mengenai beragamnya komunitas Muslim

Banyak responden Muslim mengeluhkan bahwa mereka sering ‘disamaratakan'( stereotyped) dan juga ‘diberi label keliru’ (misrepresented) oleh media, yang hanya memiliki minat yang kecil sekali untuk berbicara langsung dengan komunitas.

“Padahal kenyataannya, warga Muslim Austaralia adalah warga Muslim di Australia yang sangat beragam seperti populasi Australia secara keseluruhan, dan sering saya menemukan bahwa ketidakpahaman bahwa kebanyakan Muslim di Australia lahir di sini.” kata Prof Markus.

Meski ada hasil survei tersebut, Professor Markus mengatakan Australia masihlah salah satu negara yang paling berhasil mengintegrasikan migran, dan selalu ada sikap penolakan dan sikap intoleran.

Dia mengatakan imigrasi adalah proses yang sulit dan survei menemukan bahwa para migran sangat optimistis mengenai masa depan ketika mereka pertama kali di Australia, namun sikap itu menurun sejalan dengan berjalannya waktu.

“Di generasi pertama adalah perjuangan, dan di generasi pertama banyak yang menemukan mereka tidak bisa mencapai mimpi mereka, jadi ini lebih kepada generasi kedua dan ketiga dengan cara mereka hidup di dalam masyarakat Australia.” kata Markus.

Diterjemahkan pukul 12:37 AEST 24/8/2016 oleh Sastra Wijaya.

Simak beritanya dalam bahasa Inggris di sini