ABC

Warga Indonesia di Melbourne Bersiap Sambut Pemilu

Hiruk-pikuk menjelang pemilu di Indonesia biasanya tak hanya terlihat melalui kampanye. Pihak penyelenggara pemilu pun dilanda kesibukan terkait berbagai aspek teknis penyelenggaraan pemilu – mulai dari persiapan tempat pemungutan suara (TPS), pembuatan daftar pemilih tetap (DPT) dan sebagainya.

Berada di luar negeri tak berarti luput dari kesibukan pemilu. Di Melbourne, Australia, contohnya, hari Sabtu (24/3/2014) lalu Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) dijadikan tempat pelipatan surat pemberitahuan yang akan dikirim ke para pemilih lewat pos hari Senin (24/3/2014).

Menurut Isvet Novera, ketua Panitia Pemilihan Luar Negeri Melbourne, surat pemberitahuan tersebut akan memudahkan para pemilih dalam proses pemberian suara yang di Melbourne akan diselenggarakan tanggal 5 April mendatang.

"Yang belum dapat surat, kemungkinan belum daftar. Silahkan datang pada hari tersebut. Kalau memang kita cek tak pernah ada di daftar kita, yang membawa paspor kita berikan kesempatan terakhir mengadakan pencoblosan, karena kita harus melihat dulu apakah surat suara cukup untuk mereka yang terdaftar tadi. Kalau cukup, satu jam terakhir, kita cek. Kalau masih ada surat suara, mereka kita kasih kesempatan," jelas Isvet.

Hari Sabtu itu, ada sekitar 90 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPPSLN), tua dan muda, yang bekerja mulai dari sekitar jam 6 sore, melipat, mencap, menandatangani, dan memasukkan surat ke dalam amplop. Jumlah surat pemberitahuannya sendiri kurang lebih 14.000 lembar.

Perekrutan KPPPSLN ditutup akhir Februari lalu. "Para anggota pun diberi honor atas kerja mereka," jelas Isvet.

" Ketua diberi Rp 3.500.000 untuk kerjaan satu bulan. Untuk anggota Rp 3 juta, Sekarang kita mengusahakan cari insentif lagi karena mereka datang pakai ongkos. Kita tak bisa mengandalkan gaji mereka, kalau untuk Australia kecil lah…" ucapnya.

Nina Arifah, mahasiswa di Monash University, adalah salah satu anggota KPPPSLN yang hari itu hadir dan turut serta dalam kegiatan persiapan pemilu. Ia mengaku ikut dalam KPPPSLN karena ingin mencari pengalaman. Sejak bergabung, kira-kira sudah lima kali ia menghadiri pertemuan yang masing-masing memakan waktu sekitar 3 jam.

Pandangan dan Kesiapan Pemilih Muda

Meskipun termasuk dalam KPPPSLN, Nina mengaku sebenarnya belum terlalu memahami proses dan tatacara pemilihan umum. "Belum, karena pertama kali. Cuma, saya ikut jadi anggota panitia pemilihan," akunya.

Meskipun sudah menerima selebaran untuk mendaftarkan diri untuk pemilu melalui situs maya, Pipit Puspita, yang sudah tinggal di Australia sejak tahun 2012, juga merasa belum terlalu memahami peraturan pesta demokrasi itu.

"Komunikasinya belum begitu jelas, sampai kapan [pendaftaran dibuka], masih bisa atau enggak, mudah-mudahan, gosipnya masih bisa," akunya.

Meskipun kemajuan teknologi saat ini memudahkan para perantau memantau kondisi di Indonesia, bukan berarti juga mereka akan mudah memantapkan hati untuk memilih partai atau kandidat tertentu. "Masih simpang siur beritanya, dan terus terang belum tahu siapa yang worth it dipilih," ujar Pipit.

"Untuk memberi penilaian dari jauh mungkin karena informasi yang kita dapatkan kebanyakan dari online dan kalau TV enggak ngikutin tiap hari meskipun bisa streaming dan lain-lainnya. Tapi dari hal itupun kalau kita tanyakan teman-teman di Jakarta pun kayaknya mereka hampir tidak peduli karena informasi yang didapatkan juga simpang siur," kata Pipit.

Muhammad Aghnia Shahputra, atau Aga, ketua Persatuan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) cabang Victoria, mengatakan bahwa sepengetahuannya, mahasiswa Indonesia di Melbourne mendukung pemilu.

Ia menyatakan tak tahu pasti apakah banyak rekan-rekannya yang tak akan memilih, alias 'golput', namun, menurutnya, para mahasiswa Indonesia terbilang kritis dan rajin mengikuti perkembangan politik di tanah air.

"Tapi kalau ditanya, apakah kita benar-benar tahu siapa yang akan memimpin kita ke depannya, itu kita enggak bisa tahu," akunya.