Warga Indonesia di Australia yang Rayakan Imlek Tetap Jalankan Tradisi Meski Sederhana
Tahun Baru Imlek bukanlah hari libur nasional di Australia. Tapi warga keturunan China, termasuk asal Indonesia, tetap merayakannya meski jauh dari keluarga besar.
Saat menyambut tahun yang baru, mereka tetap mencoba melakukan ritual-ritual dan mempertahankan tradisi keluarga.
Seperti yang dilakukan Trinita Chen, warga Indonesia keturunan China, yang sudah tinggal di Melbourne selama tiga tahun.
Di tengah jadwalnya yang padat karena bekerja penuh waktu tanpa cuti, Trinita sebisa mungkin menjalankan tradisi seperti halnya di Indonesia.
“Tahun ini berbeda, karena saya ada jadwal kuliah di akhir minggu … jadi imleknya harus disederhanakan,” kata Trinita kepada Hellena Souisa dari ABC News.
Tapi Trinita tetap menyempatkan diri untuk menggelar acara makan malam bersama keluarga kecilnya, sebelum pergi ke wihara.
Ia mengatakan ada sejumlah makanan khas yang dihidangkan, seperti bakmi yang melambangkan panjang umur.
Ada pula kue keranjang yang teksturnya lengket dengan harapan hubungan saudara yang tetap erat. Tak ketinggalan juga jeruk sebagai simbol kemakmuran dan ikan.
“Ikan dalam Bahasa Mandarin adalah Yu, dan dalam peribahasa China ada istilah nian nian you yu, yang berarti rezeki bertambah setiap tahun.”
Tradisi lain yang masih dipegang oleh Trinita adalah membuat kue mangkok, dikenal sebagai ‘Fa Gao’ atau ‘Huat Kwe’ yang akan ia bawa ke Vihara sebagai sajian saat sembahyang.
Tapi selain ritual-ritual yang dilakukannya menjelang tahun baru, ada pula sejumlah larangan yang ia hindari.
Diantaranya mencuci rambut, memangkas rambut, menyapu atau membersihkan rumah, yang harus dilakukan sebelum Imlek.
“Dilarang menyapu pada hari Imlek karena itu artinya menyapu rezeki di tahun baru,” kata Trinita saat ditemui di Wihara Providence Maitreya Buddha Missionary Institutes di kawasan Surrey Hills, Jumat malam (24/01).
Merayakan Tahun Baru Imlek dengan sederhana juga dilakukan oleh Helvi Reichl, warga Indonesia lainnya di Melbourne.
Saat ditemui di wihara yang sama, Helvi sedang sembahyang sebelum tahun yang baru berganti.
Hanya Helvi sendiri di keluarganya yang keturunan China dan memeluk Buddha, sementara suaminya adalah warga lokal Australia.
Sementara bagi Herman Rusdi, warga Indonesia yang sudah tinggal tujuh tahun di Australia, Imlek tidak terasa perayaannya seperti di Indonesia.
Karenanya, ia lebih memilih untuk mudik ke Indonesia tahun ini agar bisa merayakan dengan keluarga besarnya.
“Setelah tidak lagi mendapat angpau, family gathering adalah satu hal yang saya tunggu-tunggu saat Imlek,” kata pria kelahiran 1988 tersebut.
Tradisi yang diajarkan orang tua Herman masih ia lakukan, seperti memakai baju baru, memberi angpao kepada anak-anak yang belum menikah, dan membersihkan rumah sebelum hari Imlek.
Selain itu, ada juga tradisi menyalakan semua lampu di rumah selama seharian saat Imlek.
Terlepas dari tradisi dan cara merayakan yang berbeda-beda, mereka mengaku hal yang penting dan mendalam dalam perayaan Imlek adalah kebersamaan dengan kerabat dan keluarga.
“Bagi saya merayakan Imlek berarti berkumpul bersama keluarga. Saya tiga bersaudara dan tinggal di kota yang berbeda-beda. Senang sekali rasanya bisa berkumpul lengkap, setidaknya satu tahun sekali,” kata Herman.
Bukan hanya kekeluargaan dan kebersamaan, refleksi diri sebelum menyambut tahun yang baru juga menjadi hal yang dimaknai Trinita dan Helvi.
“Di hari ini saya juga mengintrospeksi diri dan siap menyongsong tahun baru dengan harapan yang baru,” kata Trinita.
“Kita sudah diberkati, terima kasih dengan apa yang saya sudah dapatkan dan saya mendoakan semua orang bahagia, sehat, dan penuh kedamaian,” kata Helvi.