ABC

Warga dan Wartawan Mengaku Diintimidasi di Tengah KTT ASEAN di Labuan Bajo

Konferensi Tingkat Tinggi ke-42 ASEAN dijadwalkan berlangsung 10-11 Mei 2023 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.

Rencananya, KTT ini dihadiri para kepala negara atau kepala pemerintahan dari negara-negara anggota ASEAN, termasuk Timor Leste sebagai negara anggota ke-11 ASEAN dengan status 'observer' sesuai hasil KTT ke-40 dan ke-41 di Kamboja.

Menurut Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, para pemimpin ASEAN akan membahas isu-isu internal ASEAN di kawasan dan di luar kawasan dalam pertemuan tahun ini.

Meski secara resmi puncak acara masih akan berlangsung besok (10/05), rangkaian acaranya sudah dimulai sejak Senin kemarin dengan agenda pertemuan para pejabat senior ASEAN atau ASEAN Senior Officials' Meeting (SOM).

Pertemuan berlangsung di The Golo Mori Convention Center, Desa Golo Mori, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

"SOM membahas sejumlah hal termasuk prioritas keketuaan Indonesia di ASEAN pada 2023, serta persiapan penyelenggaraan rangkaian pertemuan tingkat menteri luar negeri negara-negara ASEAN dan KTT ke-42 ASEAN 2023," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah.

Namun bagi warga di Manggarai Barat, rangkaian acara ini sudah dimulai sejak tahun 2021 saat pemerintah mulai membangun jalan untuk perhelatan KTT.

Problem pembangunan jalan

Seperti yang dilaporkan oleh media Floresa dalam liputannya yang berjudul
"Mereka yang Suaranya Diabaikan dan Dibungkam di Tengah Gegap Gempita ASEAN Summit di Labuan Bajo"
, pembangunan Jalan Labuan Bajo-Golo Mori yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 14 Maret 2023 menyisakan sejumlah persoalan.

Sejumlah warga mengalami penggusuran lahan pertanian, rumah, dan pekarangan, namun tidak mendapatkan ganti rugi. Beberapa aset tersebut di antaranya dua rumah permanen dua lantai, lima rumah permanen, 16 rumah semi permanen, 14.050 meter persegi pekarangan, 1.790 meter persegi sawah, dan 1.080 meter persegi ladang.

Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation–Societas Verbi Divini (JPIC-SVD), lembaga advokasi Gereja Katolik yang selama ini ikut membantu warga terdampak proyek jalan  mencatat, ada setidaknya 51 keluarga dari Kampung Cumbi, Nalis, dan Kenari.

Kebanyakan dari mereka berlatar belakang petani dan guru honorer, yang hingga kini masih terus memperjuangkan haknya menuntut ganti rugi.

Masalah ini yang membuat warga terdampak berencana untuk melakukan aksi unjuk rasa hari Selasa ini.

Warga dan jurnalis diintimidasi

Namun, KTT ASEAN bukan hanya berbuntut penggusuran tanpa ganti rugi, tapi juga berbuah intimidasi dan pemanggilan polisi.

Selama kurun waktu 2-8 Mei lalu, warga dan aktivis yang menjadi narasumber didatangi sejumlah orang yang antara lain mengaku dari "Dinas Pariwisata Pusat."

Orang-orang ini melarang warga yang belum memperoleh ganti rugi melakukan aksi unjuk rasa saat KTT ASEAN berlangsung dan menawarkan sejumlah uang.

Aktivis yang biasa mendampingi warga sekaligus narasumber laporan Floresa, Doni Parera, pada 5 Mei juga sempat dijemput oleh 15 orang polisi untuk menghadap Kapolda NTT di Polres Manggarai Barat.

Menurut Pemimpin Redaksi Floresa, Rosis Adir, pada 6 Mei 2023, jurnalisnya yang terlibat dalam penulisan laporan pembangunan jalan tanpa ganti rugi warga, mendapat telepon dari seorang intel TNI, serta akun WhatsApp dan Telegramnya diretas.

"

"[Pada hari yang sama] pukul 21.00 WIB, Floresa menerima informasi bahwa dua warga yang menuntut ganti rugi proyek jalan ini, dan menjadi narasumber laporan kami, mendapat surat panggilan polisi Polres Manggarai Barat, mereka dituding melakukan penghasutan untuk aksi unjuk rasa pada 9 Mei," ujar Rosis.

"

"

"Pada tanggal 7 Mei pukul 8:17 WIT, kami mendapat pemberitahuan adanya malware dalam website Floresa. Kami dinyatakan di-hack dan butuh tindakan segera untuk membersihkannya, saat ini (Senin, 08/05) malware tersebut telah dibersihkan," tambahnya.

"

Sore di hari yang sama, Rosis mengatakan ia menerima informasi jika Doni Parera dan Ladis Jeharun, dua aktiis sekaligus narasumber dalam laporan Floresa yang berkolaborasi dengan Project Multatuli itu, juga mendapat surat panggilan polisi dengan tuduhan yang sama dengan warga sebelumnya: melakukan penghasutan.

Rosis menduga meningkatnya intimidasi terhadap warga, wartawan, dan aktivis tersebut terkait dengan laporan mengenai hak warga yang diabaikan dalam proyek pembangunan jalan Labuan Bajo-Golo Mori.

"

"Sejak laporan itu diterbitkan, kami mendapat informasi makin meningkatnya tekanan terhadap warga yang menyuarakan persoalan ini. Beberapa tokoh agama juga dilibatkan untuk meminta warga tidak bersuara selama acara ASEAN Summit," tutur Rosis.

"

Informasi terakhir yang diterima ABC hari ini, sejumlah warga yang didekati oleh seseorang yang mengaku dari Mabes Polri akhirnya menandatangani surat tertanggal 8 Mei di atas materai.

Isinya pernyataan mendukung penuh kesuksesan KTT ASEAN, menyerahkan ke Mabes Polri terkait persoalan ganti rugi dan membatalkan aksi unjuk rasa hari ini.

'Warga tidak perlu takut'

Menanggapi intimidasi yang dialami warga dan jurnalis tersebut, Edi Kurniawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta warga untuk tidak takut terhadap intimidasi baik berupa pernyataan atau tindakan, "sepanjang aksi yang diambil oleh warga sah secara hukum, sah secara konstitusional, dan tidak mengancam kebebasan atau hak-hak orang lain."

"

"Jadi warga tidak perlu takut, … karena secara hukum dan hak asasi manusia, harusnya forum ASEAN Summit ini mewakili semua aspirasi, semua kepentingan warga negara, khususnya warga negara di NTT," ujar Edi.

"

Ia menambahkan, jika warga ingin menyampaikan aspirasinya, harusnya penegak hukum mengakomodir, mengawal, dan melindungi kelompok masyarakat tersebut dan memastikan aspirasi mereka tersampaikan.

Sementara itu, Sasmito Madrim dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyayangkan intimidasi yang kerap terjadi menjelang acara-acara internasional, seperti yang dialami jurnalis di Bali menjelang KTT G20 yang lalu.

Menurutnya, intimidasi tersebut merupakan "upaya untuk mengontrol informasi".

Sasmito juga mempertanyakan dugaan keterlibatan intel TNI yang menghubungi jurnalis sehubungan dengan pemberitaan.

"

"Ini tentu tidak ada kaitannya ya. Saya ingatkan kembali, TNI tidak ada kewenangan untuk mengurusi pemberitaan."

"

"Soal berita itu urusannya di Dewan Pers, jadi ketika pemerintah atau lembaga negara merasa keberatan terhadap pemberitaan, sebaiknya lapor ke Dewan Pers."

Selain itu, Sasmito mengatakan, Undang-Undang Pers juga melindungi narasumber dalam laporan jurnalistik, sehingga polisi tidak bisa mengkriminalisasi melalui tuduhan penghasutan.

"Ini cara-cara yang tidak demokratis yang tidak bisa dibiarkan."