ABC

Warga Aborigin di Victoria, Australia Bentuk Lembaga Perwakilan dan Tuntut Kedaulatan

Peristiwa bersejarah terjadi di gedung Parlemen Negara Bagian Victoria Australia pekan ini. Untuk pertama kalinya, sebanyak 30 orang wakil rakyat Aborigin bertemu dan menuntut kedaulatan penduduk pertama di Australia.

Majelis Pewakilan Penduduk Pertama (First Peoples’ Assembly) terdiri atas 32 kursi dari suku-suku Aborigin di Victoria, dan dibentuk untuk mencapai perjanjian atau treaty dengan Pemerintah Victoria.

Salah satu anggotanya yaitu Jordan Edwards yang mewakili suku Wathaurong, Gunditjmara, dan Arrernte, yang masih berusia 21 tahun.

Saat berdiri di ruang sidang Parlemen Victoria dan menyampaikan pidato perdananya, Jordan mengaku adanya perasaan campur-aduk di kalangan masyarakat Aborigin mengenai pertemuan Majelis ini.

“Seluruh rakyat kami sejak jaman penjajahan telah menuntut adanya perjanjian atau treaty. Sekarang kesempatan itu akhirnya tiba,” ujarnya.

“Tapi saya merasakan ada yang sedikit mengganggu, karena pertemuan sebesar ini seharusnya dilakukan di kampung di luar sana,” kata Jordan.

Carolyn Briggs and Jordan Edwards stand side-by-side smiling on the steps of Victorian Parliament.
Anggota Dewan Perwakilan Penduduk Pertama di Victoria, Carolyn Briggs dan Jordan Edwards, bersiap memasuki persidangan perdana lembaga ini pada Selasa (10/12/2019).

ABC News: Joseph Dunstan

“Saya paham perlunya kita mengambil kembali tempat ini. Saya berharap proses ini akan membawa perubahan bagi rakyat kita. Tapi semua itu bisa kita raih jika kita singkirkan ego dan agenda sendiri,” katanya.

“Kita bukan pemerintah, kami tidak perlu bertindak seperti mereka. Kita harus menempatkan pengetahuan dan budaya kita setara di depan para penjajah kita,” kata Jordan disambut tepukan gemuruh dari anggota Majelis lainnya.

Ketua sementara Majelis itu, Eleanor Bourke dari suku Wergaia, mendesak para anggota Majelis untuk membantu Komisi Treaty Victoria dengan melibatkan lebih banyak orang Aborigin.

“Saya mengingatkan saudara-saudara bertanggung jawab terhadap para pemilih Aborigin dan agar merawatnya dengan baik,” katanya.

Small possum-skin cloaks emblazoned with an Aboriginal artwork line the red seats of Victorian Parliament's Upper House chamber.
Ruang sidang Parlemen Victoria dihiasi dengan ornamen khas Aborigin dari kulit possum selama persidangan Dewan Perwakilan Penduduk Pertama pekan ini.

ABC News: Joseph Dunstan

Eleanor Bourke juga mendesak para anggota Majelis untuk fokus bekerjasama membangun konsensus.

“Tidak masalah jika ada perbedaan pendapat. Kita harus saling memperlakukan satu sama lain dengan baik,” katanya.

“Jangan sampai Anda membuat ruangan ini tidak nyaman. Jangan sampai kita takut atau berpikir negatif, karena sekarang perjuangan kita mengambil pijakan berbeda,” tambahnya.

Anggota Majelis lainnya Sissy Austin dari suku Gunditjmara mengakui adanya beban sejarah yang diletakkan di pundaknya saat dia bersiap memasuki gedung parlemen.

Sissy Austin and her father Neville Austin stand side-by-side smiling on the steps of Victoria's Parliament House.
Anggota Dewan dari suku Gunditjmara/Djap Wurrung Sissy Austin didampingi ayahnya Neville Austin.

ABC News: Joseph Dunstan

“Sudah bertahun-tahun lamanya rakyat kami berjuang di jalanan. Rasanya berbeda sekali karena kami sekarang bisa masuk ke gedung ini dan bukan hanya memprotes di luar,” katanya.

Sissy mengaku akan mengikuti petunjuk dari komunitasnya, tapi dia melihat isu pemulihan Generasi yang Dicuri harus masuk treaty.

Selain itu, katanya, penjualan tanah negara harus segera dihentikan agar tersedia lahan yang bisa diklaim kembali oleh pemilik tradisional.

Anggota Majelis dari suku Yorta Yorta dan Dja Dja Wurrung, Muriel Bamblett, menyatakan sudah tidak tahan lagi melihat banyaknya wanita Aborigin yang mengalami KDRT.

“Ini bukan soal perampasan tanah, tapi tentang hak-hak kita sebagai Penduduk Pertama di negara ini,” katanya.

Nakia Cadd and Muriel Bamblett smile as they hold a possum-skin cloak together on the steps of Parliament House.
Anggota Dewan Muriel Bamblett (kanan) didampingi cucunya Nakia Cadd.

ABC News: Joseph Dunstan

Ada benang merah dalam pidato perdana yang disampaikan para anggota Majelis. Yaitu, adanya keinginan untuk mengatasi perselisihan di antara mereka.

Dua dari 32 kursi Majelis tetap kosong pada hari pembukaan masa persidangan. Pasalnya, wakil dari suku Yorta Yorta bersikukuh menolak kursi yang disediakan untuk mereka.

Pada Juni lalu, suku tersebut menyatakan partisipasi dalam Majelis hanya akan “melemahkan bangsa dan rakyat Yorta Yorta yang berdaulat”.

Satu kursi Majelis lainnya juga tidak diisi oleh Jason Kelly dari komunitas Aborigin di wilayah barat daya Victoria dengan alasan parlemen itu “tak aman secara budaya”.

Di akhir persidangan Majelis, para anggota sepakat memilih Marcus Stewart dari suku Taungurung dan Geraldine Atkinson dari suku Bangerang sebagai pimpinan Majelis.

Lembaga perwakilan rakyat Aborigin ini akan memulai tugas utamanya membentuk kerangka kerja negosiasi dan pengawasan treaty.

Jika treaty itu terjadi, maka Victoria akan menjadi negara bagian pertama di Australia yang berhasil melakukannya.

Selain Victoria, Negara Bagian Queensland dan Australia Utara saat ini juga memulai tahapan untuk mewujudkan treaty dengan penduduk Aborigin di wilayahnya masing-masing.

Simak berita selengkapnya dalam Bahasa Inggris di sini.