ABC

Wanita Korban Perbudakan Di Australia Kerap Bungkam dan Terisolasi

Perempuan pendatang (migran) yang menjadi korban perbudakan dan perdagangan manusia di Australia ternyata jarang meminta bantuan mengenai kasus eksploitasi yang dialaminya. Para korban umumnya hidup dilingkungan yang terisolasi secara sosial serta tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris.

Itulah sebagian dari kesimpulan hasi riset yang dilakukan Institut Kriminologi Australia (AIC) terbaru. Riset ini tengah mengevaluasi nasib perempuan korban perdagangan dan perbudakan melalui proses migrasi bersama pasangannya. Kasus ini meliputi wanita yang bertemu dengan pasangannya orang Australia di luar negeri dan kemudian bermigrasi ke Australia.

Riset ini dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam dengan sejumlah wanita yang melarikan diri dari situasi dimana mereka menjadi korban perbudakan seksual, kekerasan domestik maupun kerja paksa.

Laporan ini menemukan bahwa rasa takut akan pembalasan, kurangnya kepercayaan pada pemerintah dan kurangnya pengetahuan mengenai layanan dukungan adalah salah satu hambatan yang mencegah perempuan dalam situasi perbudakan seperti itu mencari bantuan.

Selain itu riset ini juga mengidentifikasi kondisi isolasi sosial dan terbatasnya pemahaman budaya dan hukum Australia sebagai penyebab perempuan menjadi korban perbudakan.

Peneliti AIC, Samantha Lyneham mengatakan penelitian ini bertujuan untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik mengenai beragam jenis eksploitasi yang sering dialami wanita. Dan korban kerja paksa biasanya melaporkan diri sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), oleh karena itu petugas serta dinas sosial didesak untuk berupaya mendorong kesadaran perempuan  mengenai kekerasan jenis ini.

"Para korban dapat mencari bantuan yang sesuai agar pihak berwenang bisa mengidentifikasi kasus mereka secara tepat dan kemudian menuntut pelaku berdasarkan UU perdagangan manusia (trafiking) dan undang-undang perbudakan." kata Lyneham.

Lyneham menambahkan hambatan bahasa menjadi masalah besar bagi para wanita yang terlibat dalam penelitian ini.

"Sebagian besar dari mereka hampir tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan oleh karena itu mereka mengalami keterasingan sosial yang lebih besar dan tidak mampu meminta bantuan ketika mereka membutuhkannya," katanya.

 "Mereka sering tidak bisa mengidentifikasi pengalaman mereka sebagai kekerasan atau eksploitasi dan sayangnya mereka  kerap tidak mendapatkan bantuan yang efektif ketika mereka mencoba mencari pertolongan pertama,”

Penelitian ini juga mencatat bahwa kontak informal yang sering dengan penyedia layanan banyak memberikan jalan keluar bagi  perempuan dari situasi yang eksploitatif.

Diharapkan temuan dalam riset ini dapat menjadi masukan kebijakan pemerintah maupun penyedia layanan agar dapat mengindahkan tanda-tanda peringatan dari kasus ekspoitasi terhadap perempuan pendatang/migran.

Laporan ini juga disiapkan sebagai bagian dari kajian perdagangan manusia (trafiking) oleh AIC yang bekerjasama dengan pemerintah federal melalui komite antar departemen mengenai  perdagangan manusia dan perbudakan.