ABC

Vaksin COVID-19 ‘Bukan Tameng’, Tak Berarti Indonesia Bisa Terlindungi Sepenuhnya

Pekan ini, Pfizer, salah satu perusahaan farmasi yang mengembangkan vaksin COVID-19, mengumumkan hasil awal uji coba pengembangan vaksin buatannya.

Dari hasil awal uji coba tersebut, efektivitas vaksin dinyatakan mencapai 90 persen, jauh di atas syarat 50 persen yang ditetapkan WHO.

Analisis sementara yang dilakukan oleh pemantau independen sejauh ini mencatat ada 94 infeksi dalam uji coba yang dilakukan Pfizer dengan melibatkan hampir 44.000 orang di enam negara.

Meski proses uji coba belum selesai, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan vaksin COVID-19 buatan Pfizer ini ‘paling menjanjikan’.

Banyak negara yang selama ini sangat mengharapkan vaksin COVID-19 bisa segera tersedia.

Di Indonesia, Pemerintah juga mengatakan vaksin adalah jawaban dalam pandemi COVID-19 dengan menyebutnya sebagai ‘game changer’.

“Vaksin akan menjadi game changer dalam perang melawan pandemi. Kita perlu bekerja sama untuk memastikan semua negara memiliki akses setara terhadap vaksin yang aman dengan harga terjangkau,” kata Jokowi dalam pidatonya di Sidang Umum PBB, September lalu (23/09).

Pemerintah Indonesia mengklaim sudah mengamankan ratusan juta dosis vaksin, saat belum ada vaksin yang merampungkan masa uji coba dan dinyatakan berhasil oleh WHO.

Pemerintah juga sempat menyatakan juga menyatakan vaksin siap disuntikkan ke masyarakat pada November ini, meski kemudian Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Airlangga Hartanto, menyatakan pelaksanaan vaksinasi belum dapat dipastikan, karena menunggu izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Airlangga
Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KCPPEN) Airlangga Hartarto.

Foto: Koleksi Setkab

Tidak berarti langsung terlindungi dari virus corona

Peneliti Biomolekuler dari Australian National University (ANU) dan Direktur Utama Lipotek Australia, Dr Ines Atmosukarto mengatakan jika vaksin nantinya tersedia, bukan berarti serta-merta Indonesia terlindungi dari virus.

“Selama ini kan wacana yang dibangun pemerintah begitu: ‘vaksin mau datang’, jadi seolah-olah kita jadi akan punya tameng’,” katanya.

Apalagi, vaksin COVID-19 yang masih dalam tahap uji coba ini masih berpeluang untuk gagal, misalnya seperti yang dialami oleh vaksin Malaria.

“Setelah melalui uji klinis fase ketiga yang agak lama selama tiga tahun, pada akhirnya vaksin itu hanya 30 persen efektivitasnya, dan bahkan setelah satu tahun menurun lagi,” tutur Dr Ines.

Di luar proses tahapan uji klinis, Ines mengatakan, jika nantinya vaksin COVID-19 tersedia, akan ada tantangan penerapan dan distribusi logistik yang memakan waktu untuk menjangkau semua orang di Indonesia.

Ines
Dr Ines Atmosukarto memperkirakan, bahkan jika nanti vaksin COVID-19 tersedia, masih diperlukan waktu satu sampai satu setengah tahun lagi sebelum kondisi kembali normal.

Foto: Koleksi pribadi

Kapan kemungkinan vaksin COVID-19 tersedia di Indonesia?

Saat ini, setidaknya ada tiga vaksin COVID-19 yang dijajaki Indonesia.

Vaksin Sinovac yang merupakan hasil kerja sama Indonesia dan China tengah berlangsung uji cobanya di beberapa negara, termasuk di Brasil yang uji cobanya sedang dihentikan.

Indonesia juga mengembangkan vaksin Merah Putih, hasil kerja sama universitas di Indonesia dengan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman.

Pengembangan vaksin Merah Putih ini sudah mencapai kemajuan 40 persen pada kuartal III dan akan diproduksi BUMN Bio Farma pada pertengahan 2021.

Yang terakhir, Indonesia bekerja sama dengan Korea Selatan mengembangkan vaksin dari DNA virus, yaitu GX-19 yang kini berada di tahap uji klinis tahap I dan diperkirakan bisa dibuat massal pada Agustus 2021.

Sekali lagi, semua target itu masih dengan catatan: jika semua fasenya berhasil dan efektivitasnya lebih dari 50 persen.

Uji Klinis
Petugas kesehatan memberikan pengarahan dan evaluasi kepada relawan saat simulasi uji klinis vaksin COVID-19 di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Kamis (06/08/2020).

Foto: Antara, M Agung Rajasa.

‘Kuncinya ada di BPOM’

Dari protokol pengembangan vaksin dari perusahaan-perusahaan tersebut, semua tahapannya baru akan selesai pada pertengahan tahun depan.

Itu berarti, ketersediaan vaksin, jika uji cobanya berhasil, baru akan terlihat pada pertengahan 2021, kecuali jika diberlakukan ‘Emergency use authorisation’ (EUA).

EUA artinya dalam keadaan darurat, pihak yang berwenang, seperti Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan), berhak memberi otorisasi untuk menggunakan produk tersebut meskipun belum selesai uji klinisnya.

Tapi ini hanya bisa dilakukan setelah BPOM mengevaluasi ‘interim result’ dari uji coba klinis yang dijalankan perusahaan tersebut.

“Yang kita dengar dari Pfizer kemarin adalah contoh interim result. … di protokolnya Pfizer memang menetapkan ukuran kapan akan mengumumkan interim result mereka, misalnya saat ada sekian orang yang positif, baru dibuka datanya,” jelas Dr Ines.

“Untuk [vaksin yang dikembangkan] di Indonesia, saya nggak melihat itu.”

Perusahaan farmasi kemudian bisa mengajukan EUA ke BPOM dan BPOM akan mengevaluasi hasil uji klinis perusahaan sampai hari ini.

Menurut Ines, soal ketersediaan dan keamanan vaksin di Indonesia kuncinya ada di Badan POM karena perusahaan tidak bisa mengedarkan tanpa izin dari Badan POM, dan Pemerintah tidak boleh meminta Badan POM untuk memberi izin, karena Badan POM adalah lembaga independen.

“Walaupun Pemerintah berkoar-koar, kalau Badan POM tidak mengeluarkan izin, ya barangnya nggak bisa dipakai juga,” ucap Ines.

Pilkada
Bakal calon Wali Kota Solo menyapa pendukungnya saat menuju kantor KPU Solo untuk mendaftar awal September lalu. Salah satu penyebab turunnya angka tes menurut Pandu untuk menghijaukan zonasi jelang Pilkada.

Foto: Antara, Mohammad Ayudha

Tren angka COVID-19 turun bukan berarti kondisi membaik

Dalam sebulan terakhir, tren angka kasus COVID-19, baik di Indonesia maupun di DKI Jakarta menurun.

Pada 8 Oktober, jumlah kasus positif memecahkan rekor tertinggi dengan 4.850 kasus, kemudian pada 2 November kasus baru tercatat sebanyak 2.618.

Namun, pakar kesehatan publik dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, mengatakan, tren angka COVID-19 yang menurun ini tidak berarti kondisi pandemi di Indonesia lebih baik.

Menurut Pandu, pengetesan atau testing masih menjadi kunci untuk mengidentifikasi ‘spreader’ atau pembawa virus sehingga pandemi bisa tertangani.

Penurunan jumlah tes, baik yang menggunakan metode ‘polymerase chain reaction’ (PCR) atau tes swab maupun tes cepat molekuler (TCM), juga diungkap oleh lembaga pemantau Covid-19 berbasis partisipasi warga, Kawal Covid-19.

Sepanjang pekan lalu, jumlah tes harian tidak pernah menembus angka 30.000 tes, bahkan sempat hanya mencapai 23.401 orang pada Selasa (03/11) lalu yang menjadikannya angka terendah sejak 15 September.

Tren angka tes yang rendah, yang akhirnya menyebabkan angka kasus yang juga rendah, menurut Pandu harus dilihat secara kritis.

Pandu menilai, bisa saja tes yang rendah tersebut disengaja, mengingat momentum Pilkada serentak yang akan berlangsung.

Menurutnya juga ditemukan beberapa wilayah yang sebelumnya menerapkan upaya penanganan pandemi yang baik, seperti pengetesan PCR yang tinggi, kini mulai mengendor.

“Gara-gara Satgas yang menggunakan istilah zonasi yang didasarkan pada tidak ditemukannya kasus atau angka kasus yang rendah, salah satu caranya ya testing PCR-nya direndahkan. Ini jadi artifisial kan? Toh enggak ketahuan,” papar Pandu.

Selain ‘testing’, Indonesia sendiri masih punya sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam penanganan pandemi, sesuai Intra-Action Review (IAR) atau self-evaluation yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri sesuai dengan arahan WHO.

“Ini semacam rapor, dan kalau rapor ini disimpan saja di Kemenkes tidak ada yang tahu. Jadi disuruh [oleh WHO] untuk sharing, [supaya] masyarakat juga bisa melihat.”

“Karena ini sudah diplublikasikan dan sudah di-sharing ke dunia dan masyarakat Indonesia, dan diucapkan langsung oleh Pak Terawan sebagai wakil Pemerintah, jadi masyarakat bisa menuntut nanti. Kita harus mengawal, mana angka rapor yang sudah bagus dan mana yang belum.