ABC

Uniknya Hidup dalam Budaya Multikultur di Australia

Tumbuh dalam lingkungan keluarga China di pinggiran Newcastle, negara bagian New South Wales, di tahun 1950an, Theresa Purnell kini merefleksikan masa kecilnya yang multikultur.

Dikenal karena pantainya dan julukannya sebagai pusat regional untuk seni dan budaya, Newcastle, yang terletak di utara Sydney, telah sedikit berubah sejak masa kelahiran Theresa.

Di wilayah Hamilton yang terletak di pinggiran kota, kini terpampang Jalan Beaumont, tempat di mana aroma makanan yang berbeda berembus keluar dari toko-toko di sepanjang jalan.
 
Bau masakan Meksiko, Thailand, India dan Jepang berbaur bersama dalam sebuah kaleidoskop aroma, dan cukup ampuh untuk membuat perut anda bergemuruh dan mulut Anda meneteskan air liur.
 
Suasana itu hanyalah salah satu pemicu yang membantu pengunjung Jalan Beaumont sadar bahwa mereka berada di jantung multikultural.

Theresa Purnell tumbuh di salah satu lingkungan keluarga China di Hamilton, di era 1950an. (ABC Local:Robert Virtue)

Namun pada tahun 1949, ketika Theresa lahir, keluarganya adalah salah satu dari beberapa keluarga China yang tinggal di Hamilton.
 
Mengunjungi wilayah pinggiran ini 60 tahun setelah ia dibesarkan di sana, Theresa mengatakan, penampilannya mencerminkan warisan Asia, tapi aksen Australia-nya yang kuat tak berarti bahwa dirinya bisa masuk di komunitas manapun.

 

"Saya benar-benar tak cocok dengan masyarakat Tionghoa karena cara saya berbicara – saya terdengar sangat agresif. Tapi saya juga tak selalu cocok dengan komunitas Australia, karena penampakan saya. Saya seperti punya satu kaki di masing-masing kubu," ujarnya.
 
Teresa dilahirkan dalam sebuah keluarga lokal 'yang terkenal'.
 
Ibunya, Phyllis Mook, adalah bintang tari lokal yang sempat tampil di panggung teater tua 'Palais Royale' di Newcastle. Reputasi Phyllis masih menghantui Teresa, orang-orang yang Teresa temui seringkali mengaitkan hubungan keluarga di antara keduanya.
 
Teresa dan kakaknya, Stephen, tinggal di atas toko buah dan sayuran milik kakek-neneknya di Jalan Beaumont, dalam masa kecil yang penuh permainan kriket dan benten- bentengan, dan tak merasa berbeda meskipun ada beberapa warga Asia lainnya.
 
"Tak ada rasisme karena Jalan Beaumont adalah tempat yang multikultural pula, ada warga Yunani dan Italia serta Macedonia [yang hidup di sini juga]. Mereka semua berasal dari latar belakang multikultural, sehingga tak peduli bahwa saya dan adik saya adalah satu-satunya anak Asia di sekolah," kenangnya.
 
Ia menyambung, "Itu cukup normal. Tak terasa seperti sesuatu yang luar biasa bagi saya. Kami tak pernah diajarkan untuk merasa berbeda, karena orang lain juga berasal dari latar belakang yang berbeda."
 
Teresa mengatakan, toko buah dan sayuran milik kakek dan neneknya merupakan tempat di mana ia banyak melalui saat-saat bahagia.

 

"Saya benar-benar senang berada di sana. Setiap kali saya ingin memikirkan kenangan indah, saya pikir itu adalah toko kakek nenek. Bau yang sangat menggugah karena ruangan yang penuh dengan buah mangga, ceri dan semua bau yang harum. Di musim panas, toko itu juga tempat berlindung dari panas. Benar-benar kerja keras saat itu, tapi itulah yang membuat Anda kuat," ceritanya.
 

Jalan 'toleransi'

 

Enam puluh tahun setelah tumbuh di Hamilton, Teresa sering kembali ke pinggiran kota. Ia masih tinggal di daerah Newcastle, dan belajar untuk menjadi seorang ilustrator, sementara juga bekerja sebagai pawang ular.
 
Ia mengatakan, Jalan Beaumont Street telah banyak berubah selama bertahun-tahun, dengan wajah-wajah yang sekarang tak lagi mengenalnya.

 

"Orang-orang mungkin silih berganti, bisnis yang saya kenal pun mungkin telah berganti pula, tapi saya masih memiliki kenangan yang sangat jelas, yang akan selalu tinggal bersama saya. Saya pikir Jalan Beaumont cukup unik, karena saya tak berpikir ada banyak jalan multikultural lainnya di Newcastle [seperti itu]. Ini memberi Anda rasa toleransi dari semua jenis," tuturnya.
 
Teresa percaya bahwa di Newcastle yang moderen, penerimaan akan budaya lain sungguh kuat.
 
"Jika kita tidak menerima tiap orang, kita akan tetap makan daging babi asin dan makanan kering. Di sini, budaya telah membawa hidangan luar biasa dari makanan yang berbeda, yang telah menjadi sangat populer," sebutnya.
 
Tetapi jika Anda mau makan makanannya, Theresa menyarankan, Anda harus menerima budayanya juga.
 

 

"Jika Anda menerima makanannya, Anda harus menerima orang-orangnya juga. Multikulturalisme itu baik. Itu membuat tempat menjadi menarik. Kami tak lagi bak roti putih polos," ujarnya.