ABC

Ujian Masuk Universitas Bersejarah Yang Mengubah China

Lebih dari 40 tahun yang lalu, Profesor Shuang Liu bekerja di sebuah pabrik perakitan di sebuah pabrik di timur laut China. Selama bekerja ia hanya bertanggung jawab pada satu macam tugas saja: mengencangkan sekrup pada perangkat listrik.

oin inti:

  • Lebih dari 5.7 juta kandidat ambil bagian dalam ujian masuk universitas yang bersejarah pada tahun 1977
  • Ujian ini dipulihkan kembali setelah sempat dibekukan selama 11 tahun
  • Menumpuknya kandidat yang sudah berusia remaja hingga usia 30-an ikut dalam ujian itu
  • Hanya sekitar 273,000 orang yang diterima masuk, sekitar 4.8 persen

Sekarang berusia 58 tahun, dan menjadi profesor di Jurusan Komunikasi dan Seni di Universitas Queensland di Brisbane.

Tapi di masa lalu, dia tidak melihat peluang lain di masa depan selain tugas mengencangkan sekrup yang ada dihadapannya.

Wanita itu menjawab bahwa dia telah melakukan pekerjaan itu selama sekitar 30 tahun.

Namun pada bulan Oktober 1977, pihak berwenang China menyampaikan kabar yang mengubah hidupnya: sebuah ujian masuk perguruan tinggi nasional akan dipulihkan setelah lebih dari satu dekade lamanya dimana negara tersebut terjerumus ke dalam kekacauan Revolusi Kebudayaan di mana para akademisi dan intelektual dipermalukan di depan umum dan dijauhi.

Ujian ‘Gaokao’ menarik minat jutaan orang

Selain para siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang baru lulus, masyarakat yang masih berusia remaja hingga 30 tahun yang kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan sejak sekolah ditiadakan pada tahun 1965 – juga diizinkan untuk mengikuti ujian yang akan mengubah negara tersebut.

Sekitar 5,7 juta peserta mengikuti ujian yang bersejarah tersebut, yang dikenal dengan istilah ‘Gaokao’ di China, pada bulan Desember 1977 dan hanya sekitar 273.000 orang – atau 4,8 persen  yang diterima.

Mereka yang lulus tes tersebut, bersamaan dengan ujian masuk sekolah putaran kedua yang dilakukan pada musim panas tahun 1978, sekarang dikenal sebagai ‘Angkatan 1977’ meskipun pendidikan tinggi mereka baru dimulai pada tahun berikutnya.

Profesor Liu termasuk di antara kelompok 1977 tersebut, yang secara luas dilihat sebagai beberapa orang paling cerdas dan paling tekun pada zaman mereka karena persaingan yang  ketat untuk mendapatkan tempat di universitas.

Ini adalah perubahan nasib yang luar biasa bagi banyak pemuda kota berpendidikan di China yang jika tidak ikut program ini mereka akan dikirim atau menetap di pedesaan untuk dididik ulang oleh para petani dan pekerja sebagai bagian dari kampanye Mao Zedong.

Selama Revolusi Kebudayaan – periode yang berlangsung selama 10 tahun antara tahun 1966 dan 1976 – jutaan orang, termasuk para pemilik lahan dan intelektual, menjadi sasaran penghinaan publik dan “sesi perjuangan”.

Ujian masuk perguruan tinggi pada tahun 1977 yang amat penting itu menandai kembalinya intelektual dan akademisi ke China setelah mereka sempat dipindahkan dari jabatan mereka dan dikirim ke pedesaan.

Belajar serius demi mengubah nasib

Meskipun menjalani pekerjaan berulang di pabrik dan hanya menghasilkan upah 18 yuan per bulan (atau setara $ 3,50 atau Rp30 ribu), Profesor Liu menganggap dirinya “beruntung” pada saat itu karena dia tidak dikirim ke sebuah pertanian di pedesaan.

Shuang Liu
Shuang Liu berhenti dari pekerjaannya di pabrik agar bisa belajar untuk ikut ujian masuk perguruan tinggi tahun 1977.

Supplied

Lucunya, dalam sebuah keluarga dengan dua anak, hanya satu yang diminta pergi ke pedesaan sementara yang lain diizinkan tinggal di kota.

Profesor Liu mengatakan bahwa orang tuanya memutuskan untuk menahannya di provinsi Heilongjiang timur laut karena dia sembilan tahun lebih tua dari pada saudara perempuannya dan mereka tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

Dia juga menganggap dirinya beruntung karena orang tuanya, lulusan universitas dan guru bahasa Inggris, mendukung keputusan berisikonya untuk berhenti dari pekerjaannya dan mendedikasikan seluruh waktunya untuk belajar untuk menyiapkan diri ikut ujian ‘gaokao’.

“Sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan menguatkan sekrup seperti yang saya jalani selama masa itu, dan saya mengambil sesuatu yang sangat berisiko dan sangat tidak pasti.”

Setelah menghabiskan sebagian besar masa SMA-nya untuk belajar pertanian di pedesaan, Profesor Liu mengatakan dia berhasil lulus pada tahun 1976 berkat tumpukan buku yang tidak pernah dia pelajari sebelumnya.

“Saya mencari buku-buku itu dari suatu tempat, membersihkan kotoran dan kemudian mempelajarinya … selama saya bisa tetap terjaga,” katanya.

Profesor Liu mengatakan bahwa ujiannya adalah satu-satunya kesempatan untuk “naik” dan mendapatkan pendidikan.

Lulusan tahun 1977 ‘sekelompok orang yang luar biasa’

Profesor Richard Rigby, Direktur Eksekutif  China Institute di Australian National University, mengatakan bahwa ada “perasaan putus asa dan urgensi” yang dirasakan oleh banyak sekali pemuda-pemuda China muda yang sangat cerdas untuk keluar dari tempat mereka dikirim dan kembali ke sistem pendidikan.

“Orang-orang yang berhasil lulus ujian itu memang benar-benar menonjol … sebuah proporsi dari orang-orang yang secara mendasar kemudian berhasil melakukan hal-hal cemerlang, entah itu di bidang sains, bisnis, penulisan sejarah atau novel, berada dalam kelompok tertentu itu.”

Mereka juga merupakan kelompok orang yang luar biasa karena mereka mengalami pengalaman Revolusi Kebudayaan, tambahnya.

Professor Shuang Liu di kantornya di University of Queensland
Professor Shuang Liu saat ini adalah associate professor di University of Queensland.

Supplied: Shuang Liu

Bagi banyak orang China-Australia, bahkan generasi warga China Australia yang lebih  muda seperti saya, generasi yang mengikuti ujian pada tahun 1977 dan tahun-tahun berikutnya diasosiasikan dengan kerja keras dan mengalami kesulitan selama revolusi.kebudayaan.

Buku seharga satu bulan gaji

Sebagai seorang anak, ibu saya (Helen Zhang) tumbuh di Shanghai dan tinggal bersama orang tua dan adik perempuannya di sebuah rumah Shikumen dua lantai (rumah tipe townhouse) dengan empat keluarga lainnya.

Helen Zhang di akhir tahun 1970-an
Helen Zhang sangat gembira ketika diterima di sekolah teknik.

Supplied: Helen Zhang

Kakek dan nenek saya telah menyiapkan bahan pakaian dan koper untuk ibu saya guna pindah ke daerah pedesaan saat dia mendengar dari sanak saudaranya, akan ada ujian masuk universitas untuk pertama kalinya setelah kurun waktu lebih dari satu dekade.

Dia ingat bahwa tahun terakhirnya di SMA sempat diperpanjang sekitar enam bulan karena gaokao dipulihkan.

Tapi menghadiri kelas di sekolah selama semester yang diperpanjang itu hanya merupakan hak istimewa untuk sepertiga siswa di kelasnya, dimana 180 siswa dikirim pulang untuk belajar sendiri setelah dilakukan ujian mendadak yang sangat menentukan nasib mereka.

Dia merupakan salah satu siswa yang relatif pandai, dan “belajar tanpa kenal lelah”  menjelang ujiannya di musim panas 1978.

Orang tuanya tidak mau membayar biaya sekitar 30 yuan ($ 5,80) untuk buku teks, dan menjadikannya tidak punya pilihan selain memanfaatkan sebaik mungkin waktu belajar di kelas dan juga pekerjaan rumahnya dari sekolah.

Dia bercerita bahwa dia tahu dia tidak cukup pintar untuk diterima secara tidak resmi, namun mungkin memiliki kesempatan untuk masuk ke sekolah kejuruan setingkat universitas yang setara dengan TAFE di Australia.

Dia bangun tidur dini hari setiap hari untuk membaca kembali alinea pelajaran, rumus-rumus dan tabel periodik di teras rumahnya agar tidak mengganggu orang tua dan adik perempuannya.

Setelah kembali dari sekolah dan mengerjakan tugas, dia akan belajar hingga larut malam hanya dengan menggunakan lampu meja kecil atau obor di loteng yang dibuat oleh kakek saya sebagai tempat tinggal ibu dan bibi saya.

Ibu dan kakek saya sangat gembira saat mengetahui bahwa dia diterima di sekolah mesin jahit industri ringan, dan kakek saya merayakannya dengan memberikan permen kepada semua tetangga.

Dia akhirnya bekerja di sebuah pabrik yang memproduksi jarum mesin jahit, melakukan kontrol kualitas, selama sekitar tujuh tahun dan akhirnya bermigrasi ke Sydney bersama keluarganya sendiri pada tahun 1995.

Berubah selamanya saat Revolusi Budaya berakhir

Momentum perubahan terus dibangun setelah ujian 1977, dimana mantan wakil Perdana Menteri Deng Xiaoping mengumumkan kebijakan pintu terbuka pada tahun berikutnya.

Kebijakan ini menjadikan China sebagai negara yang terbuka terhadap investasi asing langsung dan mendorong transformasi ekonomi China modern.

Hal ini juga memungkinkan para pelajar China untuk melakukan studi lebih lanjut di luar negeri seperti Amerika Serikat dan Australia.

Helen Zhang bekerja di pabrik jarum mesin jahit
Helen Zhang bekerja di pabrik jarum mesin jahit.

Supplied: Helen Zhang

Profesor Rigby mengatakan bahwa “tidak mungkin untuk menyepelekan nilai pentingnya ” ujian tahun 1977 itu dalam hal perubahan arah yang terjadi di China, dan terlebih lagi, kehidupan individu-individu siswa yang lulus ujian masuk perguruan tinggi tersebut] yang turut  dipengaruhi oleh keputusan itu.

“Secara efektif, itu adalah akhir dari Revolusi Kebudayaan di dunia pendidikan,” katanya.

Program pengabdian yang diperintahkan Mao Zedong di mana pemuda berpendidikan dikirim ke pedesaan, secara resmi berakhir pada tahun 1980.

Profesor Liu kemudian diterima di Departemen Bahasa Inggris di Universitas Heilongjiang, di mana dia lulus dengan gelar Sarjana Muda (Bachelor of Arts) dalam Bahasa Inggris.

“Ketika saya pergi ke sana, saya menyadari bahwa saya termasuk yang termuda dari teman sekelas saya dan ada orang-orang yang sudah selama delapan tahun bekerja sebagai petani di daerah pedesaan,” katanya.

Dia melanjutkan pendidikannya untuk meraih gelar Master dan PhD sebelum akhirnya bermigrasi ke Queensland pada tahun 2001, menambahkan bahwa sebagian besar teman sekelasnya dari universitas juga pindah ke luar negeri.

Menengok kembali ke masa lalu, menurutnya dia sebenarnya “tidaklah terlalu sedih” dengan kehidupan di pabrik karena itulah kehidupan kebanyakan orang.

Namun, jika ujian 1977 tidak terjadi, jutaan kehidupan dan wajah negara China pasti sangat berbeda dari hari ini.

Alih-alih menjadi seorang akademisi yang terkenal dengan gelar PhD di Australia, pada usia 58 tahun, Profesor Liu mengatakan bahwa dia kemungkinan akan dipaksa untuk pensiun – atau “dikirim pulang” – karena banyak pabrik milik negara seperti tempat dia bekerja dulu akhirnya ditutup.

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris disini.