ABC

Uji DNA Manusia Kerdil di Flores Tunjukkan Misteri Baru

Pulau Flores terkenal di dunia sebagai tempat yang pernah dihuni manusia kecil Homo floresiensis yang misterius dan telah punah. Namun uji DNA terbaru terhadap manusia kerdil yang masih hidup di sana saat ini menujukkan misterinya sendiri.

Manusia kerdil yang diuji DNA-nya ini menghuni kawasan yang berjarak beberapa kilometer dari gua Liang Bua, tempat penemuan fosil-fosil Homo floresiensis.

Hasilnya menunjukkan manusia kerdil tersebut bukanlah turunan dari Homo floresiensis, yang juga dijuluki manusia “hobbit” karena ukuran badannya yang kecil.

Sebaliknya, ada dua evolusi yang terjadi secara terpisah puluhan ribu tahun, antara Homo floresiensis dan manusia kerdil yang masih hidup saat ini.

Demikian intisari hasil penelitian yang dimuat dalam Jurnal Science hari ini.

Kepuluan Indonesia memiliki sejarah panjang dihuni oleh spesies manusia selain spesies kita, Homo sapien.

Spesies manusia purba, Homo erectus misalnya, diketahui menjajah Pulau Jawa sekitar 1,7 juta tahun hingga 23.000 tahun silam.

Lalu, Homo floresiensis yang hidup di Pulau Flores dari sekitar 190.000 hingga 50.000 tahun yang lalu.

Manusia modern, spesies Homo sapien, relatif baru dalam skala evolusi manusia. Mereka diperkirakan tiba di Sumatra sekitar 73.000 hingga 63.000 tahun silam, yang kemudian menjajah pulau-pulau lainnya.

Hobbit illustration
Analisa fosil menunjukkan Homo floresiensis' atau 'Hobbit' memiliki tinggi badan semeter lebih.

Peter Schouten

Homo sapien diketahui berkawin silang dengan spesies manusia yang hari ini telah punah. Misalnya, manusia Neanderthal dan Denisovan.

Lalu, apakah hal itu juga terjadi antara Homo sapien dengan Homo floresiensis alias hobbit?

Uji perbandingan DNA

Ditilik sekilas, manusia kerdil yang kini hidup di Flores agaknya menyimpan sejumlah DNA dari Homo floresiensis yang sudah punah.

Homo floresiensis misalnya memiliki tinggi badan hanya semeter lebih. Sementara populasi manusia kerdil saat ini tingginya sekitar 1,4 meter.

Ilmuwan mengklasifikasikan manusia kerdil yaitu populasi dengan rata-rata tinggi pria dewasanya tidak lebih dari 1,5 meter.

Kalangan arkeolog pun sampai saat ini masih memperdebatkan apakah kedua spesies manusia ini saling terkait, mengingat ukuran tinggi badan mereka yang sama-sama pendek.

Hal inilah yang mendorong Serena Tucci dari Universitas Princeton, bersama timnya, melakukan uji perbandingan DNA.

Mereka menguji DNA 32 orang dewasa manusia kerdil dari Desa Rampasasa di Flores, dan diperbadingkan dengan DNA manusia modern, serta DNA Neanderthal dan Denisovan.

Pengujian menemukan adanya DNA Neanderthal dan Denisovan dalam genom manusia kerdil.

Namun, menurut salah satu penulis laporan penelitian ini Profesor Peter Visscher, tidak ditemukan adanya DNA dari manusia purba lainnya.

“Dalam hal leluhur, DNA mereka cocok jika dibandingkan dengan populasi lainnya di Asia Tenggara, Oseania dan seterusnya,” kata akademisi dari Universitas Queensland Australia ini.

Peneliti, katanya, tidak menemukan adanya jejak DNA yang bisa dikaitkan sebagai DNA Homo floresiensis.

A homonid skull.
Homo floresiensis memiliki batok kepala ukuran kecil, dengan volume otak sepertiga lebih kecil dari otak manusia modern.

Supplied: ANU

Pengujian tersebut, menurut Dr Debbie Argue dari Australian National University yang tak terlibat dalam penelitian ini, menujukkan bahwa sejauh ini belum ada yang berhasil membuktikan kaitan DNA antara Homo floresiensis dan manusia kerdil.

“Sudah tiga laboratorium yang pernah mencoba menguji hal ini,” ujar Dr Argue.

“DNA tidak tersimpan dengan baik di iklim tropis. Ini mengecewakan sebab jika berhasil ditemukan adanya kaitan DNA, kita akan memahaminya,” katanya.

Kehidupan pulau hasilkan perawakan pendek

Perawakan pendek manusia kerdil di Flores saat ini, dengan demikian bisa disebut sebagai hasil dari proses seleksi alam yang berlangsung selama 30.000 tahun.

Jadi, bukan sebagai warisan persilangan genetika dengan Homo floresiensis.

Tinggi badan manusia ditentukan oleh banyak varian genetika. Ada yang membuat kita jadi lebih tinggi sementara ada pula yang menjadikan badan kita pendek.

Menurut Prof Visscher, tim penelitiannya ingin mengetahui adanya gen yang membuat tinggi badan manusia kerdil menjadi lebih pendek.

“Itulah yang kami temukan. Adanya gen penurun tinggi badan yang lebih banyak pada sampel Flores dibandingkan sampel lain dari Asia Tenggara dan Oseania,” jelasnya kepada ABC.

Perawakan tubuh yang pendek ditemukan pada populasi mamalia, termasuk manusia, yang hidup terisolasi di seluruh dunia.

Misalnya, spesies gajah kerdil juga pernah hidup di Pulau Flores. Gajah dewasa hanya memiliki berat 300 kilogram, 18 kali lebih ringan dibandingkan gajah Asia lainnya.

Liang Bua cave, Flores, Indonesia.
Gua Liang Bua di Flores, tempat penemuan fosil Homo floresiensis dan fosil hewan stegodon.

Supplied: Gludhug A. Purnomo & Pradiptajati Kusuma

Menurut Prof Visscher, kecenderungan pada ukuran tubuh yang lebih kecil ini disebut sebagai “aturan pulau”.

“Jika kita lihat populasi pulau di Eropa misalnya, fenomena yang sama didapati di Pulau Sardinia, Mediterania,” katanya.

“Orang Sardinia tidak masuk manusia kerdil namun perawakan mereka cukup kecil,” tambahnya.

Teka-teki evolusi

Mengapa kelompok populasi yang hidup terisolasi cenderung menyusut perawakannya, hingga kini masih menjadi teka-teki evolusi.

“Mungkin hal ini berkaitan dengan predasi, atau tergantung pada diet yang ada, yang mengharuskan memiliki ukuran tubuh lebih kecil,” jelas Prof Visscher.

Dr Argue menyebutkan bahwa Homo floresiensis justru melawan tren “aturan pulau” tersebut. Perawakan mereka tidak menyusut seiring waktu. Sebaliknya, mungkin jadi lebih tinggi.

Tulang rahang dewasa berusia satu juta tahun, yang ditemukan di situs Mata Menge di Flores Tengah pada 2016, tampaknya berasal dari seorang Homo floresiensis.

“Ukuran rahang ini 22 persen lebih kecil dibandingkan rahang Homo floresiensis,” kata Dr Argue.

Jika demikian, Homo floresiensis yang hidup belakangan dan fosilnya ditemukan di Liang Bua, justru perawakannya lebih besar.

Pakar paleogenesia dari Universitas Adelaide Dr Bastien Llamas mengatakan, misteri mengapa manusia kerdil di Flores ini memiliki perawakan kecil tetap layak diteliti.

“Populasi manusia kerdil di Pulau Flores hanyalah satu populasi di salah satu pulau di Indonesia,” ujarnya.

“Banyak populasi manusia lainnya yang tinggal di daerah yang sama, di pulau lain, yang perawakannya tidak menjadi kecil,” tambah Dr Llamas yang tidak terlibat dalam pengujian tersebut.

Pengujian ini, katanya, telah menunjukkan adanya beberapa varian gen yang menyebabkan perawakan pendek.

Meski tidak ditemukan jejak DNA hobbit pada populasi manusia kerdil saat ini di Flores, namun menurut dia, bukan berarti hal itu juga terjadi pada populasi lainnya di Indonesia.

Dr Llamas justru mengaku penasaran apakah ada DNA Homo floresiensis atau Homo erectus pada populasi lainnya yang hidup di sekitar populasi manusia kerdil.

Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.