ABC

“Udara Jakarta 1000 Kali Lebih Buruk dari Melbourne”: Bisakah Kota di Indonesia Jadi Tempat Tinggal Paling Layak Huni di Dunia?

Ibu Kota Indonesia, Jakarta, secara konsisten masuk dalam 10 kota dengan tingkat kemacetan tertinggi di dunia. Padahal, kemacetan lalu lintas adalah salah satu elemen yang berdampak buruk terhadap kelayakan huni dan produktifitas suatu kota.

  • 60 persen penduduk Jakarta diperkirakan menderita penyakit yang disebabkan polusi udara menurut Bank Dunia
  • Laporan terbaru Bank Dunia menyebut polusi udara di Pekanbaru juga lebih tinggi dari Mumbai dan Shanghai
  • Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengakui urbanisasi di Indonesia begitu kurang terorganisir dibanding China

Menurut laporan terbaru Bank Dunia, kelayakan huni sebuah kota mengindikasikan kualitas hidup di kota itu di luar tingkat kesejahteraan materi yang dihasilkannya.

Di kota yang layak huni, sebut laporan bertajuk Time to ACT : Realizing Indonesia’s Urban Potential, masyarakat menikmati akses layanan dasar berkualitas tinggi – termasuk akses ke air bersih dan sanitasi, kesehatan serta layanan pendidikan berkualitas tinggi.

Laporan yang dirilis Kamis (3/10/2019) itu juga mengatakan kota yang layak huni memiliki perumahan terjangkau dan relatif sedikit memiliki kemacetan lalu lintas, polusi, serta kejahatan.

Sayangnya, ungkap Time to ACT dengan mengutip TomTom Traffic Congestion Index, Jakarta adalah kota dengan kemacetan tertinggi ketiga di antara 18 megacity di seluruh dunia.

Setiap perjalanan yang dilakukan di wilayah Jakarta memerlukan estimasi tambahan waktu sebesar 58 persen dibandingkan dengan situasi tanpa kemacetan.

Angela Yunita, warga Jakarta, mengatakan masalah kemacetan di Jakarta sebenarnya berkaitan erat dengan masalah lain di kota ini.

“Semua ruang dipakai untuk kepentingan komersial. Ditambah lagi, transportasi publik kurang menarik, membuat orang cari kenyamanan dengan kendaraan pribadi,” tuturnya kepada ABC.

Perempuan yang bekerja di pusat kota Jakarta ini lalu mengakui kualitas udara Jakarta jika dibanding dengan Melbourne -yang tergolong salah satu kota paling layak huni di dunia menurut Indeks Kelayakan Huni Economist Intelligence Unit’s (EIU) -sangat jauh perbedaannya.

“Ibaratnya udara Jakarta itu 1:1000 sama Melbourne. Soal bersihnya, kejernihan udaranya.”

“Pengalaman pribadi waktu saya ke sana (Melbourne), saya melihat sangat banyak orang berjalan kaki, yang memanfaatkan transportasi publik, ataupun bersepeda.”

Ia mengatakan, jika Jakarta ingin meningkatkan status kelayakan huninya maka situasi multi-kepadatan di kota berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa ini harus diurai.

“Saya punya harapan besar sama pindahnya Ibu Kota, meski enggak yakin sih entah apa yang bakal berubah,” sebutnya.

Laporan Bank Dunia itu juga mengungkap polusi udara di Jakarta lebih tinggi ketimbang Ho Chi Minh City di Vietnam, Kampala di Uganda, Mexico City di Meksiko dan Sao Paulo di Brazil.

Proporsi waktu yang hilang karena kemacetan (dalam persen).
Proporsi waktu yang hilang karena kemacetan (dalam persen).

World Bank

Tingkat polusi yang tinggi ini dikaitkan dengan sejumlah penyakit dan efek kesehatan lainnya yang berdampak buruk pada kelayakan huni sebuah kota.

Sekitar 60 persen penduduk Jakarta diperkirakan menderita penyakit yang disebabkan polusi udara, dan dalam survei persepsi yang dilakukan laporan Bank Dunia itu.

70 persen warga Jakarta yang disurvei mengidentifikasi ‘pengurangan polusi’ sebagai agenda lingkungan perkotaan yang paling penting.

“Anda tentu saja bisa melihat dan merasakan sendiri polusi udara di Jakarta,” kata Jeanne Rival, mahasiswi asal Perancis yang tengah menjalani program magang di Jakarta sebulan terakhir.

“Saya, contohnya, tak akan berolahraga di luar ruang, tapi sebenarnya juga tidak mengganggu keseharian saya karena saya lihat sebagian aktivitas di Jakarta dilakukan di dalam ruangan. ” tambahnya.

Jeanne berpendapat ada banyak ruang kosong di Jakarta yang sesungguhnya bisa dimanfaatkan untuk aktivitas sosial atau hutan kota.

“Mungkin bisa dibuat ruang terbuka hijau di sini di mana orang bisa berkumpul ketimbang bertemu di mal,” ujarnya kepada ABC.

“Ruang terbuka hijau bisa jadi solusi utama untuk polusi Jakarta,” imbuh Jeanne.

Tak hanya Jakarta, beberapa kota lain di Indonesia – menurut Inrix Global Traffic Scorecard -juga termasuk di antara kota-kota dunia dengan kemacetan tertinggi.

Bahkan laporan terbaru Bank Dunia menyebut polusi udara di Pekanbaru juga lebih tinggi dari Mumbai dan Shanghai.

Laporan terbaru Bank Dunia mengungkap, kemacetan lalu lintas, yang menjadi salah satu sumber utama polusi, merupakan faktor kepadatan atau congestion force yang berdampak buruk terhadap kelayakan huni dan produktifitas kota-kota besar di Indonesia.

Di Indonesia, banyak kawasan perkotaan menunjukkan tanda-tanda tekanan kepadatan karena ketidakmampuan mengelola congestion force.

Faktor kepadatan ini terutama ditemukan di kawasan metropolitan besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Makassar, serta kota dengan kepadatan penduduk mirip metropolitan besar seperti Palembang, Pekanbaru dan Samarinda, yang mengalami kekurangan perumahan terjangkau, kemacetan lalu lintas yang parah dan tingkat polusi udara yang melebihi batas normal.

Time to ACT menyebut bukti menunjukkan rasio harga rumah terhadap penghasilan di Bandung, Denpasar dan Jakarta lebih tinggi daripada New York.

Urbanisasi yang kurang terorganisir

Dalam pidatonya di acara peluncuran Time to ACT : Realizing Indonesia’s Urban Potential, Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, mengakui urbanisasi di Asia Selatan dan juga di Indonesia begitu kurang terorganisir dibanding China.

“Siapa saja bisa berpendapat kalau China punya sistem politik yang berbeda, lebih terpusat, dan makanya mereka lebih terencana dan punya rencana plus manajemen lebih baik dalam proses urbanisasi.”

Sri Mulyani
Sri Mulyani ketika berbicara di peluncuran laporan Bank Dunia, Time to ACT: Realizing Indonesia's Urban Potential (3/10/2019).

ABC; Nurina Savitri

Lebih lanjut, mantan Direktur Utama Bank Dunia ini mengatakan, faktanya, urbanisasi yang tak direncanakan dengan baik menciptakan manfaat yang kurang dari apa yang telah direncanakan.

“Dengan urbanisasi, yang membuat orang berdatangan ke wilayah kota dan kemudian menciptakan aglomerasi, mobilitas yang lebih efisien, nilai tambah lain dalam bentuk pertumbuhan bisa dinikmati oleh perekonomian,” sebutnya.

Sri Mulyani menjelaskan peningkatan satu persen dari jumlah warga Indonesia yang tinggal di perkotaan atau wilayah urban hanya menambah GDP (Produk Domestik Bruto) per kapita sebesar 1,4 persen.

“Ini sangat jauh jika dibanding negara Asia Timur dan Pasifik, yang peningkatan populasi urban 1 persen-nya rata-rata akan menambah GDP per kapita sebesar 2,7 persen.”

“Sangat rendah jika anda bandingkan 1,4 dengan 2,7 (persen).”

Sri Mulyani mengatakan kerugian lain dari urbanisasi yang kurang terorganisir adalah manfaat ekonomi yang tak terdistribusi dengan baik sehingga menimbulkan ketimpangan.

“Jadi dari temuan laporan ini kita semua tahu bahwa kita perlu mengelola proses urbanisasi dengan lebih baik, khususnya dalam mengatasi isu kepadatan yang biasanya muncul.”

Rencana Pemerintah Indonesia untuk memindahkan Ibu Kota ke Kalimantan disebutnya bisa menciptakan peluang penambahan GDP per kapita yang lebih besar dari 1,4 persen, hanya jika dikelola dengan baik.

Simak berita-berita menarik lainnya di situs ABC Indonesia.