Turis Australia yang Terlibat Kecelakaan di Indonesia Akhirnya Pulang Kampung
Pria asal Australia Barat, Jake Drage, telah tiba di kampung halamannya dan mengatakan, ia senang bisa kembali ke rumah setelah menghabiskan sembilan bulan di penjara Indonesia.
Jake, 24 tahun, ditahan setelah terlibat dalam kecelakaan sepeda motor saat liburan berselancar di Jawa Barat, Juni lalu.
Seorang perempuan Indonesia, yang mengendarai sepeda motor lainnya, terlempar dari kendaraannya dalam kecelakaan itu dan kemudian meninggal.
Jake Drage mengatakan ia sungguh senang kembali ke Australia.
Pada bulan Oktober, pelatih kebugaran dari Geraldton, Australia Barat, ini dinyatakan bersalah karena mengemudi secara sembrono dan dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara serta denda 1 juta rupiah.
Jake selalu menyatakan bahwa kematian perempuan itu adalah sebuah kecelakaan.
Ia dibebaskan dari penjara minggu lalu, setelah menyelesaikan hukumannya, tetapi sempat menghabiskan tujuh hari lagi di tahanan sementara yang diproses melalui sistem imigrasi di Indonesia.
Saat ditemui di Bandara Internasional Perth pada (21/4), ia menggambarkan pengalamannya itu sebagai sebuah "rollercoaster".
"Saya kembali ke kandang sekarang, saatnya untuk menikmati waktu bersama keluarga dan teman-teman dan melakukan semua hal baik yang saya rindukan," katanya.
Jake mengutarakan, ia akan kembali Indonesia segera setelah larangan kembali selama 6 bulan dari pengadilan berakhir.
"Ini adalah negara yang indah, ada banyak orang baik di sana. Saya ingin pergi menyelam, saya ingin mengunjungi Pulau Komodo dan melakukan sedikit backpacking di tempat terpencil," ujarnya.
Ia mengatakan, ia mengajar bahasa Inggris dan mengelola pelatihan kebugaran dengan narapidana lainnya di dalam penjara.
"Anda harus membuat pikiran Anda tetap sibuk, jika tidak, anda hanya akan menjadi gila di sana. Ini bukan tempat terbaik tapi ada banyak orang di sana dalam posisi yang jauh lebih buruk," sebutnya.
Keluarga Jake mengklaim bahwa pria ini tak pernah didakwa dengan benar atas insiden tersebut dan telah bersikap kritis terhadap proses hukum.
Mereka mengatakan telah menghabiskan lebih dari 60.000 dolar (atau sekitar Rp 600 juta) untuk urusan kuasa hukum.