ABC

Tumbuhkan Harapan Perempuan Aborijin Lewat ‘Virtual Reality’

Jengah akan kehidupan pribadi yang kelam, Julie-Ann Lambourne memutuskan untuk mengubah nasib. Ia mendirikan organisasi yang memberi pelatihan dan pemberdayaan kepada masyarakat Aborijin lewat teknologi digital. Memperingati Pekan NAIDOC (Komite Nasional Hari Aborijin dan Kepulauan) di Australia, ABC menampilkan sosok Julie-Ann yang berkunjung ke Jakarta awal pekan ini.

Terlahir sebagai anak dari seorang pecandu alkohol, Julie-Ann tumbuh besar tanpa mengetahui kesempatan yang ada di dunia luar dan potensi yang dimilikinya. Di kampung halamannya, yakni Pulau Mabuiag dan Darnley, Kepulauan Selat Torres, Australia, kekerasan dalam rumah tangga bukanlah hal asing. Terlebih, sistem patriarkal dalam budayanya makin menjauhkan pendidikan sebagai prioritas kaum perempuan.

“Banyak perempuan di komunitas saya tak berpendidikan. Mereka tidak tahu apa potensi yang mereka miliki. Mereka tidak menyadari betapa berharganya diri mereka,” ujar Julie-Ann kepada Nurina Savitri dari ABC.

Bersama rekan-rekannya, Julie-Ann mendirikan enVizion Group Inc, sebuah organisasi yang fokus memberdayakan masyarakat Aborijin dan Kepulauan Selat Torres dengan bantuan teknologi digital, serta menjabat sebagai CEO-nya.

Kelompok ini menggunakan gawai terkini, salah satunya yakni virtual reality, untuk memberi gambaran kepada masyarakat asli Australia, khususnya kaum perempuan, bahwa mereka bisa menjadi apa saja dan melakukan berbagai hal.

“Sudah banyak perubahan selama 5,5 tahun ini. Mereka jadi semangat belajar membaca dan menulis lewat tablet,” kata perempuan yang baru saja menuntaskan studi pasca sarjana ini.

“Dan lewat perangkat ini (memegang virtual reality), mereka jadi tahu bahwa perempuan bisa menjalankan profesi yang selama ini tak mereka bayangkan bisa dilakukan perempuan.”

Julie-Ann Lambourne memakai 'Virtual Reality' yang digunakannya untuk memberdayakan masyarakat Aborijin.
Julie-Ann Lambourne memakai 'Virtual Reality' yang digunakannya untuk memberdayakan masyarakat Aborijin.

ABC; Nurina Savitri

Julie-Ann bersama enVizion menggunakan 5 profesi dari 5 industri yang berbeda untuk ditampilkan dalam virtual reality berdurasi gambar 25 menit.

“Orang-orang yang ada di virtual reality benar-benar ada dan profesinya memang seperti itu. Contohnya perempuan yang bekerja di pertambangan, Bidang lainnya adalah agrikultur, konstrruksi dan lain-lain,” sebut perempuan yang awalnya tak lulus SMP ini.

Ia lalu menceritakan betapa teknologi yang digunakannya benar-benar menggugah semangat dan keingintahuan masyarakat Aborijin akan peluang kerja, dan bahkan lebih mendasar lagi, mengenal diri mereka sendiri.

“Awalnya mereka takjub melihat berbagai hal baru tapi kemudian mereka berpikir dan berkata ‘oh saya bisa melakukannya. Bagaimana caranya saya belajar agar bisa seperti itu?’. Lalu mereka mengubah cara pandang,” tutur pebisnis sosial yang tinggal di Cairns, Queensland, ini.

“Semua yang ada di virtual reality adalah tentang harapan, kepercayaan diri dan kemampuan untuk bergerak,” sambungnya.

Kini, demi menjangkau masyarakat Aborijin di kawasan terpencil, Julie-Ann bersama kelompoknya meluncurkan bus khusus pelatihan virtual reality yang menyediakan layanan keliling Australia.

Jurus ampuh Julie-Ann untuk mengedukasi masyarakat Aborijin tak hanya bermodalkan teknologi. Ia pun mencontohkan pengalaman pribadinya agar orang termotivasi.

“Saya tak mau berada dalam siklus hidup yang sama seperti halnya banyak warga asli (Australia) lainnya. Kecanduan alkohol, punya masalah kesehatan mental. Kalau saya bisa lepas dan menjadi seperti sekarang, mereka bisa mencontohnya.”

Ia menuturkan dua momen penting dalam hidupnya yang berhasil mengubah apa yang ia yakini.

“Ada dua titik balik dalam hidup saya yang menjadikan saya berbuat seperti sekarang ini. Yang pertama saat saya berusia 21 tahun, saya diperkosa. Kemudian saat berusia 27 tahun, saya mencoba bunuh diri.”

“Akhirnya saya bilang kepada diri sendiri ‘Saya sudah lelah dengan kehidupan seperti ini, saya harus berbuat sesuatu’.”

Pengalaman panjang di bidang layanan komunitas-lah yang kemudian membantu tekad Julie-Ann untuk mendirikan enVizion.

Bus 'Virtual Reality' berkeliling Australia untuk menyapa masyarakat tertinggal.
Bus 'Virtual Reality' berkeliling Australia untuk menyapa masyarakat tertinggal.

Facebook; Julie-ann Lambourne

Masyarakat Indonesia dan Aborijin hadapi permasalahan yang sama

Julie-Ann datang ke Jakarta untuk berbicara dalam Forum Pembangunan Indonesia (IDF) 2018.

Ketika ditanya tentang bagaimana Indonesia bisa mengambil pelajaran dari kiprahnya bersama enVizion, ia malah berpendapat, masyarakat asli Australia di kampung halamannya mengalami permasalahan yang serupa dengan masyarakat Indonesia, khususnya di pedesaan.

“Ada masalah kesehatan, kemiskinan, dan bahasa ibu kita bukan bahasa Inggris,” sebutnya.

“Lalu masih ada yang tak tahu cara kerja komputer, bahkan bagaimana menyalakan komputer, tapi di sisi lain mereka diminta untuk siap menghadapi era digital.”

Julie-Ann mengatakan, penggunaan materi dan pendekatan budaya untuk mengedukasi masyarakat yang tertinggal cukup efektif dilakukan di kampung halamannya.

“Mengawinkan teknologi dengan pendekatan budaya, itu membuat masyarakat di sana tertarik untuk datang dan belajar.”

Tahun ini, Pekan NAIDOC merayakan peranan perempuan di tengah komunitas masyarakat asli Australia. Julie-Ann berharap agar makin banyak perempuan Aborijin berkiprah dalam bidang bisnis dan memberdayakan diri mereka sendiri.

“Sebenarnya banyak perempuan Aborijin memiliki potensi bisnis yang bagus tapi mereka tidak sadar kalau kekayaan intelektual mereka dicuri. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi saya untuk mendampingi mereka.”