Transgender di Indonesia Bertahan Ditengah Hujatan Terhadap LGBT
Ratu kecantikan transgender Indonesia tetap yakin dan percaya diri di tengah gelombang intoleransi yang melanda negaranya.
Kiki, atau Qie Nabh Tappiii, menjadi Miss Waria Indonesia di saat para pejabat, ulama dan bahkan sejumlah Menteri di pemerintahan Indonesia meluncurkan serangan verbal secara rutin terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).
Waria adalah kata dalam Bahasa Indonesia untuk transgender.
Kiki mengatakan ia tidak punya waktu untuk meladeni para pengkritiknya.
“Cara saya melihat kritik-kritik itu, saya menikmati hidup saya, dan lagian mereka tidak menafkahi saya sedikitpun atau apapun itu,” kata Kiki.
“Hal yang paling penting didalam hidup saya adalah keluarga saya. Mereka memotivasi saya. Saya bisa menjadi diri saya karena mereka mendukung saya.”
Setahun terakhir merupakan saat-saat yang sulit bagi kalangan LGBT di Indonesia.
Ulama garis keras, Habib Rizieq Shihab, yang memimpin unjuk rasa besar-besaran terhadap Gubernur DKI Jakarta yang beragama Kristen dan Keturunan China, Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok, secara rutin menyerang waria-waria di Indonesia.
ABC News menghadiri sebuah pertemuan kelompok garis keras, yang dihadiri oleh sekitar 3.000 wanita, di mana pembicaranya -yakni Ismah Cholil -mengatakan orang-orang transeksual harus dirajam sampai mati atau dicambuk untuk menghapus dosa-dosa mereka.
‘Kami juga manusia’
Sebagai transgender yang hidup di Indonesia, Kiki mengatakan: “Kadang-kadang sulit, kadang-kadang mudah. Bagian yang sulit adalah kami harus mendidik masyarakat bahwa kami juga manusia, kami perlu dihargai seperti orang pada umumnya.”
Waria di Indonesia tidak memiliki banyak kesempatan untuk bekerja, kata Wayan Lucky Diah Pithaloka, yang menjalankan beberapa usaha salon di Jakarta.
Dia mempekerjakan tujuh waria di salonnya.
Dia mengatakan, upaya itu adalah sebuah alternatif [bagi transgender] dari pilihan prostitusi dan mengemis di jalanan.
“Saya ingin menghentikan mereka pergi keluar pada malam hari untuk bekerja, agar mereka berhenti menjadi pengamen, sehingga masyarakat memandang mereka dengan hormat,” katanya.
“Jika kita berbuat baik kepada orang lain maka Tuhan akan membalas kita – orang lain tidak akan membalas kita.”
Sementara itu menurut aktivis waria, Mami Yuli, mencari pekerjaan alternatif selain menjalani prostitusi dan mengamen bagi waria berusia tua di Indonesia jauh lebih sulit.
“Indonesia tidak memiliki sistem jaminan sosial, sehingga lansia bergantung pada keluarga mereka.”
“Kebanyakan waria tidak bisa seperti itu, katanya.
“Keluarga mereka malu memiliki anak transgender.
“Jadi selama puluhan tahun, mereka telah melarikan diri dan sekarang mereka sudah tua, mereka tidak memiliki orang tua untuk pulang, dan mereka sedang menghadapi masalah besar.”
Larangan berpakaian lain jenis
Waria berusia lanjut harus bergantung pada bantuan amal.
Di luar Jakarta, sekelompok waria menghadiri kebaktian mingguan khusus di gereja – di mana mereka bisa mendapatkan makan dan menerima pemeriksaan kesehatan.
Tapi ada harga yang harus mereka bayar.
Gereja meminta para waria tersebut tidak mengenakan pakaian perempuan, dan, pada khotbah yang dihadiri oleh ABC News, waria yang hadir diminta untuk menghafal ayat dari Alkitab: “Seorang wanita tidak boleh mengenakan pakaian pria, dan seorang pria tidak boleh memakai pakaian perempuan, karena orang yang melakukan hal demikian menunjukkan kebencian pada Tuhan.”
Pastor Gidion Steven Hutagalung mengatakan:
“Tujuan akhirnya adalah mengubah mereka perlahan-lahan untuk kembali ke jenis kelamin sebagaimana ketika mereka dilahirkan.”
“Tapi pertama-tama dan yang paling penting, tugas gereja adalah untuk melayani semua orang, termasuk komunitas transgender.”