Transformasi di Ponorogo: Dari ‘Kampung Idiot’ Menjadi ‘Desa Wisata’
Sekitar 10 tahun lalu, Kabupaten Ponorogo (Jawa Timur) menjadi sorotan, termasuk oleh media internasional karena ratusan warga dari setidaknya empat desa dan kampung mengalami gangguan jiwa.
Dengan program pemberdayaan yang digagas oleh masyarakat sekitar, kini mereka mencoba mengubah sebutan “Kampung Idiot” menjadi desa pariwisata.
“Sebutan ‘Kampung Idiot itu muncul tahun 2008, karena saat itu banyak sekali warga dengan disabilitas, mulai dari tuli, bisu, dan pola pikir yang lemah, kemudian salah satu media melaporkannya dan menulisnya ‘Kampung Idiot’,” ujar Eko Mulyadi, Kepala Desa Karangpatihan.
Saat itu dilaporkan ada lebih dari 400 warga yang mengalami keterbelakangan mental. Jumlah yang cukup menyedot perhatian karena artinya dalam setiap keluarga memiliki satu anggota keluarga tunagrahita.
Berawal dari kekurangan gizi dan yodium
Saat dihubungi lewat telepon oleh ABC di Melbourne, Eko mengatakan ketuidakmampuan intelektual dan gangguan jiwa bisa ditelusuri kembali sejarahnya saat ada kegagalan panen besar-besaran di tahun 1960, diikuti dengan kondisi kemiskinan setelah ada gejolak sosial dan politik di tahun 1960-an.
“Akibatnya, banyak bayi yang dilahirkan alami kekurangan gizi dan yodium yang diduga menjadi penyebab gangguan jiwa.”
Desa Karangpatihan, Krebet, Sidoharjo, dan Pandak adalah beberapa desa yang memiliki warga tunagrahita dan memiliki sejumlah persamaan.
Mereka tinggai di lereng dengan kondisi tanah yang kurang subur dan sulit ditanami bahan pangan, serta susah diakses transportasi.
Kabupaten Ponorogo yang terletak sekitar 192 km dari ibukota provinsi Jawa Timur Surabaya terletak di bagian selatan Pulau Jawa dengan kondisi tanah yang lebih banyak mengandung kapur sehingga susah digunakan untuk bercocok tanam dengan baik.
Eko mengatakan mayoritas warga saat itu hidup dalam kemiskinan sebagai buruh tani dengan pendidikan yang buruk, serta tiwul (dari ubi kayu) hanya menjadi makanan pokoknya.
Meski setelah diberitakan di media masa bantuan makanan dan lainnya mengalir dengan melimpah, situasi mereka tidaklah banyak membantu.
Mereka tidak bisa lagi dipandang sebelah mata
Setelah menyaksikan sendiri kesulitan yang dialami warganya, Eko bersama warga lainnya kemudian membuat program pemberdayaan dengan tujuan agar warga tunagrahita bisa berkarya.
“Sebelumnya mereka sangatlah ketergantungan dan kita tahu jika orang tidak terus-terusan membantu mereka atau nanti mereka malam meminta-minta,” jelasnya.
“Untuk menjawab pesimisme dan pandangan negatif yang mungkin menganggap orang-orang seperti ini tidak bisa diberdayakan, nah ini yang kami buktikan,” tambahnya.
Lewat ‘Rumah Harapan’ Eko dan warga lainnya membuat sejumlah aktivitas yang melatih keterampilan warga tunagrahita agar mereka lebih mandiri, termasuk menghasilkan pendapatan rutin.
Eko menjelaskan ada empat konsep pendekatan yang dilakukan untuk menghasilkan pendapatan. Pertama adalah pendapatan harian dari penualan keset. Kemudian untuk pendapatan bulanan mereka diajarkan berternak ayam yang telurnya bisa dijual. Ada pula pendapatan tiga bulanan dengan penyediaan kolam untuk berternak lele yang juga bisa dijual. Dan konsep terakhir adalah pendapatan tahunan dengan pengajaran cara berternak kambing.
“Sekarang kita melihat mereka memiliki kualitas kehidupan yang lebih baik dengan penghasilan yang lebih rutin untuk membeli makanan lebih bergizi.”
Tak lagi jadi beban, justru sebagai tulang punggung
Sementara di tingkat kabupaten program pemberdayaan digagas oleh Rumah Kasih Sayang dengan lebih dari 20 orang relawan dibawah koordinasi Zainuri.
Zainuri menjelaskan ada sekitar 250 warga, termasuk dari Desa Karangpatihan yang datang ke yayasan tersebut secara rutin untuk membuat perlengkapan rumah, akesoris seperti tas, bahkan kain batik.
Meski program pemberdayaan telah berjalan lancar, Zainuri mengaku butuh banyak kesabaran untuk melatih warga tunagrahita.
Zainuri menjelaskan warga tunagrahita di Rumah Kasih Sayang diajari membuat keset dari kain-kain perca sisa pembuangan pabrik tekstil dan telah dijual hingga ke Jakarta dan Surabaya.
Mereka bisa menjual dua buah keset dengan harga Rp 8.000 per buah, yang menurut Zainuri sudah melebihi dari upah rata-rata warga dalam sehari.
Menurutnya kini ada sejumlah warga tunagrahita yang dulunya menjadi beban, kini justru menjadi tulang punggung keluarga.
Rumah Kasih Sayang juga sudah secara aktif memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu hamil dan pasangan baru menikah soal pentingnya mengkonsumi makanan bergizi dan mengajari mereka yang memiliki gangguan psikologis untuk menjalani gaya hidup sehat.
Dengan kemampuan menjadi mandiri, warga tunagrahita kini dapat bersosialisasi dengan orang lain, sesuatu yang menurut Zainuri tidak diperkenankan sebelumnya.
Desa Karangpatihan pun kini berupaya keras untuk menghapus sebutan ‘Kampung Idiot’ untuk menjadi tujuan pariwisata.
“Kita memiliki sejumlah keindahan alam,” ujar Eko. “Pengunjung bisa datang ke sini dan melihat secara langsung bagaimana mereka berkarya.”
Ia menambahkan banyak kunjungan ke desa Karangpatihan untuk melakukan studi banding dan mengambil contoh bagaimana masalah sosial ini ditangani.
Simak laporan dengan versi lain dalam bahasa Inggris disini.