ABC

Tragedi Mei 1998: Cerita Mereka Dulu dan Sekarang

Tahun 1998 menjadi salah satu tonggak sejarah Indonesia yang mengubah banyak hal.

Ada rezim yang berubah, ada orangtua yang kehilangan anaknya, dan ada orang-orang yang memilih pergi untuk mencari 'rumah' yang aman.

Semuanya berawal di bulan Mei pada tahun itu, dan ini adalah cerita mereka dua puluh lima tahun yang lalu dan saat ini.

Mereka membakar rumah saya

Jakarta, 12 Mei 1998.

Sekitar pukul setengah sepuluh malam, Liana Ang bersama adik dan kakaknya meninggalkan rumah toko milik keluarganya di kawasan Meruya Ilir.

Mereka mengungsi ke rumah adik Liana yang lainnya yang berada di dekat masjid, lokasi yang saat itu dirasa lebih aman bagi komunitas Tionghoa.

"Dia bilang, mendingan kabur dulu deh, daripada tengah malam dikeroyok kan enggak bisa kabur," kata Liana yang mengatakan kondisi malam itu memang sudah mulai mencekam.

"Massa tiba-tiba banyak, enggak tahu dari mana asalnya, banyak mobil-mobil disetop, diperiksa [isinya] orang China atau bukan."

Keesokan harinya, 13 Mei 1998, Liana dan kakaknya kembali ke rumahnya untuk mengambil beberapa barang berharga.

"

"Saya datang pakai baju lengan panjang, pakai topi, pakai kacamata hitam, supaya enggak kelihatan kulit dan mata saya, biar enggak kelihatan kalau saya orang China, karena waktu itu orang China benar-benar dianggap kayak barang yang enggak berharga."

"

"Tapi kami enggak bisa lewat, ditahan massa yang saya lihat menjarah supermarket di depan rumah saya … lalu gedung di kanan-kiri ruko kami mulai terbakar, lama-lama rumah kami mulai terbakar dari atas sampai semuanya terbakar."

Liana mengaku hanya bisa memandangi ruko keluarganya yang pelan-pelan terbakar sambil menangis.

"Saya baru berhenti menangis setelah tahu tetangga saya dan dua anak gadisnya mati terbakar … dan dari situ saya memutuskan, sudah saya tidak mau lagi hidup di Indonesia."

Tahun 1999, berbekal visa Australia yang masih berlaku, Liana yang saat itu bekerja sebagai sekretaris dan pemandu wisata, terbang ke Australia.

Ia meminta suaka untuk ketenangan hidupnya. 

Nekat pulang supaya bisa bersama keluarga

Jakarta, 13 Mei 1998. Elie Cung masih berusia 19 tahun dan sudah hampir menyelesaikan kuliahnya.

"Saya waktu itu sedang di kampus di UPH (Universitas Pelita Harapan),  di sana diumumkan supaya kami jangan ke mana-mana dulu karena di jalan-jalan sedang terjadi kerusuhan."

Tapi setelah menunggu hingga sore, Elie akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah.

"

"Saya dan teman-teman khawatir dengan keluarga di rumah, dan waktu itu kami mikirnya kalau pun harus mati, lebih baik mati bersama keluarga."

"

"Kami juga sepakat, siapa pun yang nyetir mobil nanti, harus siap tancap gas untuk menabrak jika ada kerumunan massa yang mengadang … karena kalau enggak, kami yakin kami yang akan jadi korban."

Di sepanjang jalan dari kampus menuju rumahnya di kawasan Jakarta Barat, ia menyaksikan Jakarta yang membara.

"Api di mana-mana, asap, beling di jalan, dan masih ada beberapa kelompok massa di pinggir jalan, tapi udah enggak agresif."

Elie beruntung, ia berhasil sampai di rumah dan menemukan semua anggota keluarganya selamat.

"Terus [warga perumahan] mulai ronda pakai [senjata] seadanya aja, saya pegang tongkat, ada yang pegang pisau dapur, tongkat baseball, yang punya samurai juga ada … tapi kami dengar banyak penjarahan dan pemerkosaan yang kebanyakan korbannya komunitas Tionghoa."

Karena situasi Jakarta yang dirasa tidak aman itulah, tiga hari kemudian Elie bersama adik dan orangtuanya terbang ke Singapura, sebelum akhirnya ia dan adiknya pergi ke Melbourne dan menetap hingga kini.

"Kebetulan di Februari 1998, dua bulan sebelum kerusuhan, saya dan adik saya dapat scholarship untuk sekolah musik di Melbourne University … kami tadinya enggak tertarik, tapi sepertinya ini Tuhan yang buka jalan," kata Elie menjelaskan mengapa memilih Melbourne.

Ulang tahun terakhir Wawan

Jakarta, 15 Mei 1998
. Bernardinus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya Jakarta, merayakan ulang tahunnya yang ke-20 bersama adik dan kedua orangtuanya.

"Seperti biasa saya membuatkannya tumpeng seger, juga ada kue ulang tahun, dan makanan kesukaan Wawan," kenang Ibunda Wawan, Maria Catarina Sumarsih atau yang akrab disapa Ibu Sumarsih.

Menurut Sumarsih, saat itu Wawan terlihat senang.

"Karena dia merasa diperhatikan oleh orangtua, diperhatikan oleh keluarga," suara Sumarsih terdengar bergetar saat menuturkannya kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

Itu menjadi kali terakhir Wawan merayakan ulang tahun bersama keluarganya.

Enam bulan berselang, 13 November 1998, ia tewas di kampusnya.

Wawan yang tergabung dalam tim relawan kemanusiaan, tertembak ketika memberikan pertolongan medis pada teman-temannya yang terluka karena gas air mata atau serangan aparat saat berunjuk rasa. 

"

"Putra Ibu meninggal dunia karena ditembak peluru tajam standar ABRI, mengenai jantung dan paru di dada sebelah kiri," tutur Sumarsih mengutip penjelasan dokter forensik RSCM, Budi Sampurno, yang mengotopsi Wawan.

"

Sumarsih dan suaminya, Antonius Maria Jamari Arief Priyadi, yakin putra sulung mereka bukan korban peluru nyasar, tetapi memang dibidik aparat tepat di dada kirinya dalam peristiwa yang kemudian dikenal sebagai peristiwa Semanggi I.

Pada 2001, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang dibantu mahasiswa dalam mengumpulkan bukti dan saksi kasus penembakan mulai melakukan penyelidikan kasus Trisakti, Semanggi I dan II dengan membentuk KPP HAM.

Hasilnya, terdapat bukti-bukti permulaan yang cukup jika telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II yang melibatkan 50 orang perwira TNI/Polri.

'Dampak yang mendalam'

Australia, Mei 2023.




Mengenang sejarah hidupnya dua puluh lima tahun yang lalu, Elie mengatakan komunitas gereja Indonesia di Melbourne berperan penting di awal-awal kedatangannya dan adiknya.

"Kami jadi seperti punya keluarga di sini … meski kehidupan kami berdua berubah 180 derajat."

"Di Indonesia, kami bergelimang fasilitas dan hidup kami gampang. Tapi di Melbourne, kami harus menghidupi diri sendiri," tutur Elie yang mengatakan orangtuanya tidak bisa membiayai hidupnya, karena kurs rupiah yang anjlok saat itu.

Talentanya bermusik yang ia tekuni sejak kecil membantunya bertahan hidup.

Ia mulai mengajar piano dan biola secara privat hingga membuka kursus musik, sebelum beberapa tahun terakhir ini menjadi guru di Point Cook College.

"Saya menemukan rumah saya di Australia, karena di sini saya merasa aman," kata Elie yang berharap putrinya, Alexa, kelak tidak akan pernah mengalami peristiwa seperti Mei 1998.

"

"Sedikit banyak ada dampak yang mendalam dari pengalaman 98 itu, meski enggak sampai trauma … dan saya tahu identitas saya enggak bisa terlepas dari Indonesia."

"

Liana juga mengaku masih cinta Indonesia, sehingga ia memegang kewarganegaraan Indonesia.

Tapi sama seperti Elie, keamanan menjadi yang paling berharga bagi Liana.

"Saya merasa pilihan saya meninggalkan Indonesia sudah tepat."

"

"Tidak ada yang saya sesali meski pun saya harus meninggalkan harta, … ada saham, ada koleksi perangko dan tas bermerek, juga hidup enak di Indonesia, semua saya tinggalkan untuk hidup aman," kata Liana.

"

Ruko Liana yang dulu terbakar sudah terbangun dan menjadi restoran lagi.

Tapi Liana memilih tinggal berdua dengan suaminya di Gold Coast, Queensland, dan telah mapan dengan usahanya di Sydney traffic survey.

Meski ia merasa Indonesia yang sekarang sudah tidak seperti 25 tahun yang lalu, ia tetap khawatir sejarah bisa berulang, dan komunitas Tionghoa akan lagi-lagi menjadi korban.

Liana berharap Indonesia bisa punya pemerintah yang konsisten menjamin keamanan kelompok minoritas.

"Kita harus benar-benar bijak memilih pemimpin, pikirkan baik-baik dengan logika, karena ini berdampak untuk masa depan generasi selanjutnya," ujarnya.

Payung hitam Sumarsih

Indonesia, Mei 2023
Sumarsih masih menghidangkan tumpeng seger, kue ulang tahun, dan makanan kesukaan Wawan, untuk merayakan ulang tahun putra sulungnya yang sudah tiada itu.

Tapi kasus pelanggaran HAM Berat masih belum terselesaikan. Pelaku penembakan Wawan belum pernah terungkap, apalagi diadili.

Sejak tahun 2007, bersama dengan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang tergabung ke dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Sumarsih melakukan aksi di depan Istana Negara setiap hari Kamis.

Kita kemudian mengenalnya dengan nama aksi 'Kamisan', yang hingga kini sudah berlangsung sebanyak 773 kali.

Berbekal payung hitam dan pakaian serba hitam, aksi ini menuntut pemerintah menyelesaikan secara yudisial kasus pelanggaran HAM Berat di Indonesia, termasuk peristiwa 13-15 Mei, Semanggi I dan II, dan Trisakti.

Ia sempat optimistis pada janji penuntasan kasus pelanggaran HAM Berat yang ditulis Joko Widod-Jusuf Kalla dalam Nawacita menjelang Pilpres 2014, bahkan Sumarsih sudah bersiap-siap berhenti menggelar Kamisan.

Tapi harapannya luntur saat Presiden Joko Widodo malah mengangkat Jenderal Purnawirawan Wiranto, sosok yang diduga kuat bertanggung jawab dalam sejumlah kasus pelanggaran HAM pada Mei 1998, sebagai Menkopolhukam di kabinetnya.

Tapi Sumarsih tetap menemui Presiden Jokowi, saat presiden yang ketujuh itu ingin menemui peserta aksi Kamisan menjelang Pilpres 2019 dan menyerahkan antara lain rekomendasi Komisi Penyelidik Pelanggaraan HAM Trisakti, Semanggi I dan II.

"Sebelum pulang saya tanya, 'Bapak Presiden, apakah draf Pengakuan Negara yang sudah kami serahkan pada Bapak berkenan Bapak tanda tangani sekarang?'" cerita Sumarsih.

"Nanti dulu, Bu. Saya akan pelajari dulu berkas yang Ibu berikan pada saya, dan untuk perkembangan pertemuan hari ini, saya minta Ibu berkoordinasi dengan Pak Moeldoko, Kepala KSP [Kantor Staf Presiden]," jawaban Jokowi, seperti yang dikutip Sumarsih. 

Sumarsih kemudian hanya menyampaikan kepada Presiden Jokowi jika ada nama Menhankam Pangab 98 di dalam berkas yang disampaikannya.

"

"Saya sudah tidak lagi percaya … dan tampaknya [penuntasan] HAM Berat hanya dimanfaatkan untuk meraup suara [dalam Pemilu]," kata Sumarsih yang menolak penyelesaian kasus-kasus tersebut melalui mekanisme non-yudisial.

"

Setelah 25 tahun berlalu, refleksi Sumarsih yang terbesar adalah bahwa enam agenda reformasi yang diusung almarhum Wawan dan para mahasiswa belum sepenuhnya terwujud.

Untuk itu ia masih akan terus berjuang dan berdiri di depan istana, di bawah payung hitam, setiap hari Kamis.

Sampai kapan?

"

"Sepanjang saya masih diberi kesehatan dan dianugerahi hidup," tutup Sumarsih.

"