ABC

Tionghoa Indonesia Selama Ini Hanya Dilihat Dalam Dua Kategori

Selama ini warga Indonesia keturunan Tionghoa secara umum hanya dinilai dalam dua kategori. Yaitu, dari sisi negatif bagaimana mereka mendominasi perekonomian dan dari sisi positif bagaimana mereka telah berkontribusi melalui prestasi di berbagai bidang.

Terkait dengan hakl itu, Monash University Australia akan menyelenggarakan konferensi internasional pada Oktober mendatang, guna mendiskusikan berbagai aspek mengenai Tionghoa Indonesia secara lebih luas.

Konferensi ini dilaksanakan Herb Feith Indonesian Engagement Center, lembaga yang berusaha meningkatkan interaksi Australia – Indonesia dalam berbagai disiplin ilmu dan juga hubungan antarindividu dari kedua negara,

Kepala lembaga tersebut Prof Ariel Heryanto kepada wartawan pekan lalu menjelaskan mengapa tema Tionghoa Indonesia yang dijadikan salah satu kegiatan utama Herb Feith Indonesian Engagement Center di tahun 2019.

Menurut dia, tema ini menarik didiskukan saat ini. “Kalau kita lihat masalah Islam atau pemilihan presiden atau politik saat ini begitu susah untuk didiskusikan dengan dingin, karena masyarakat begitu terpecah dalam isu-isu tersebut,” kata Ariel.

“Masalah Tionghoa di Indonesia menarik. Sama seperti kelompok lain peranakan Indo atau peranakan Arab, peranakan Tionghoa sudah menjadi bagian penting dari Indonesia dari semasa gerakan kemerdekaan,” katanya.

Menurut dia, peristiwa kerusuhan menjelang jatuhnya Presiden Suharto di tahun 1998, yang juga berwujud pembakaran dan pengrusakan terhadap bisnis warga Tionghoa di Indonesia juga menjadi tonggak sejarah tersendiri.

“Sejak kemerdekaan kalau kita lihat sejarah, secara periodik ada kerusuhan terhadap warga Tionghoa,” ujarnya.

"Namun di tahun 1998 terjadi kerusuhan, dalam waktu bersamaan juga ada kemarahan dari warga Indonesia lainnya terhadap kerusuhan itu sendiri."

“Setelah itu muncul hasutan atau selebaran untuk memanaskan situasi, namun tidak terjadi hal apapun. Ini merupakan titik penting.”

Karena itu, menurut Ariel Heryanto, “mumpung belum ada tindak kekerasan, maka kita bisa mendiskusikan masalah ini.”

Berbicara secara keilmuan, Monash University, salah satu universitas yang menaruh minat besar mengenai Indonesia di Australia, melihat bahwa pembicaraan mengenai Tionghoa Indonesia hanya dilangsungkan dalam ruang diskusi yang sempit.

“Studi mengenai Tionghoa Indonesia selama ini terlalu sederhana,” katanya.

“Kebanyakan dibahas dalam dua kategori. Satu memandang negatif misalnya bagaimana Tionghoa Indonesia mendominasi ekonomi dan sebagainya.”

“Yang lain positif, bagaimana warga Tionghoa menjadi korban atau bagaimana sumbangan mereka, misalnya menjadi juara di bidang olahraga atau bidang lainnya,” kata Ariel kepada wartawan ABC Sastra Wijaya.

Penyelenggara konferensi melihat bahwa diskusi mengenai Tionghoa Indonesia sebelumnya dilakukan sepotong-sepotong.

“Sudah saatnya kita membicarakan ini semua. Tidak saja dilakukan oleh warga Tionghoa sendiri, namun juga mereka yang bukan.”

Sejauh ini Ariel mengatakan beberapa hal yang sudah muncul sebagai tema dalam diskusi panel antara lain tentang ‘seksualitas di kalangan etnis Tionghoa’; ‘Muslim Tionghoa di Indonesia’; ‘seni visual dan ketionghoaan’; ‘Bahasa Melayu Tionghoa dalam beberapa novel’, ‘Peran Tionghoa dalam sejarah sinema Indonesia’.

"Kegiatan lainnya adalah eksibisi, misalnya kegiatan demo memasak masakan Tionghoa, pameran buku atau Batik, dan mungkin juga pertunjukkan," tambah Ariel lagi.

Lima orang berdiri bersama tiga perempuan dan dua laki-laki, termasuk Ariel Heryanto
Prof Ariel Heryanto (tengah) bersama dengan panitia penyelenggara seminar lainnya: dari kiri Anita Dewi, Jemma Purdey, Emily Lynch, dan Sam Shlansky

Foto: Sastra Wijaya

Peran Australia

Selain mengharapkan partisipasi internasional, Prof Ariel Heryanto juga berharap pada WNI atau Diaspora Tionghoa Indonesia yang berada di Australia khususnya Melbourne.

“Australia sudah menjadi bagian penting dari Indonesia sejak jaman kemerdekaan, dan Melbourne juga sudah menjadi tempat bagi warga Tionghoa Indonesia untuk bermukim ketika mereka meninggalkan Indonesia entah karena kerusuhan atau yang lain,” kata Ariel Heryanto.

“Oleh karena itu, mumpung masih jauh hari, kami menyebarkan informasi ini lewat media, sehingga mereka bisa mengetahui dan nantinya tidak menyesal bila mengetahui setelah konferensi ini selesai.”

Penngarah konferensi lainnya yaitu Dr Jemma Purdey yang mengharapkan bahwa nantinya yang tampil dan berpartisipasi adalah para ilmuwan dan akademisi muda dari berbagai negara.
Selain itu, Dr Anita Dewi dari Matheson Libary, perpustakaan utama Monash University yang tahun lalu terlibat dalam digitalisasi salah satu penerbitan Tionghoa di jaman pra kemerdekaan Indonesia, Sin Po.

Panitia mengharapkan bahwa mereka yang tertarik untuk berpartisipasi untuk mengirimkan usulan dengan batas waktu 15 Mei 2019.

Lihat berita-berita ABC Indonesia lainnya di sini