ABC

Tingkat Melek Huruf Warga Aborijin di Australia Rendah

Wilayah di bagian selatan dataran tinggi di New South Wales dikenal dengan pedesaannya yang indah, toko butik, kilang anggur, dan harga real estat yang tinggi.

Namun seorang tetua dan pendidik pribumi setempat prihatin dengan kerugian yang dihadapi oleh anggota komunitas aborijin di kawasan itu.

Velma Mulcahy, yang dikenal sebagai Bibi Val, telah mengajarkan sejarah, budaya, dan bahasa Aborigin di sekolah-sekolah di seluruh Dataran Tinggi Selatan selama 23 tahun terakhir.

Dia mengatakan dirinya terkejut anak-anak aboriin dan orang dewasa di wilayah tersebut datang kepadanya untuk belajar membaca dan menulis.

“Saya kenal dengan anak-anak … yang tidak bisa menandatangani nama mereka sendiri, mereka tidak bisa membaca, mereka tidak bisa menulis,” katanya.

"Beberapa dari mereka [muridnya] berusia 18, 19, 20 tahun. Mereka tidak bisa membaca, mereka tidak bisa menulis, dan mereka tidak mengerti uang.

“Tidak ada apa pun di sini untuk anak-anak itu, tidak ada yang dilakukan untuk mereka.

“Mereka ikut kelas bahasa  dan saya mengajar mereka dan mereka tidak tahu. Ini menyedihkan.”

Jack Beetson, pendiri Literacy for Life Foundation, sebuah yayasan yang dipimpin orang Aborigin yang menangani tingkat melek huruf orang dewasa yang rendah, mengatakan buta huruf di kalangan pribumi adalah masalah nasional.

“Kami tahu bahwa setidaknya 40 persen, dan hingga 85 persen, warga aborijin yang berusia 15 tahun memiliki tingkat melek huruf yang rendah,” kata Beetson.

“Ke mana pun Anda pergi melintasi Australia, ada minimum 40 persen [dengan tingkat melek huruf rendah].”

Jack Beetson mengatakan tingkat melek huruf warga pribumi adalah aib nasional dan bahwa rasa malu itu harusnya ditujukan pada mereka yang melek huruf, bukan mereka yang memiliki tingkat melek huruf yang rendah.

"Kami di sini, tinggal di negara dunia pertama, dengan statistik tingkat melek huruf sekelas dunia ketiga bagi warga asli Australia.

“Kita semua seharusnya malu akan hal itu dan melakukan sesuatu.”

Seorang perintis

Aunty Val bayi
Aunty Val tumbuh besar di sebuah rumah biara di La Perouse di selatan Sydney pada 1930.

Supplied: Aunty Val

Bibi Val tumbuh di sebuah biara di La Perouse di selatan Sydney pada 1930-an dan kemudian pindah ke Dataran Tinggi Selatan.

Ia dibesarkan dalam kehidupan yang sulit di bawah Undang-undang Perlindungan Suku Aborigin, yang mengobarkan semangat Bibi Val untuk membawa peluang bagi orang-orang Aborigin.

Di usia 50-an, Bibi Val pergi ke universitas untuk mendapatkan gelar.

Dia mengatakan tidak pernah terlambat untuk mendapatkan pendidikan tinggi.

“Memang agak terlambat untuk pergi kuliah, tetapi jika saya bisa, yang lebih muda harus juga kuliah di perguruan tinggi. Mereka akan pergi, tetapi tidak cukup,” katanya.

“Saya sudah pernah bekerja di semua sekolah dan saya mengajar tiga bahasa, tidak hanya untuk orang Aborigin.

“Kami punya program 0-8 dan kami punya buku pendidikan semuanya dalam ketiga bahasa itu. Sangat penting untuk menyebarkannya.”

Bibi Val mengatakan dia yakin bagian dari solusi itu adalah program proaktif yang lebih baik mendukung orang asli di sekolah dan memaksakan wajib hadir.

Dia mengatakan sebuah pusat khusus untuk anak-anak aborijin untuk melakukan pekerjaan rumah, dan kelompok bermain di mana orang dapat berinteraksi dengan orang yang lebih tua, dapat membuat perbedaan nyata.

orang tua Aunty Val
orang tua Aunty Val Ida Amatto dan Reginald Russell pada tahun 1930.

Supplied: Aunty Val

Sementara Bibi Val menganjurkan lebih banyak dukungan untuk anak-anak aborijin, dia percaya bahwa tekad pribadi adalah kunci.

“Anda harus pergi ke sekolah dan mendapatkan pendidikan. Mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan jika mereka tidak bisa membaca dan menulis dan itulah yang kami temukan di sini, dan di semua wilayah kondisinya sama,” katanya.

"Orang Aborigin harus bertekad kuat… bertanggung jawab untuk diri kita sendiri, dan kehidupan kita yang lebih baik, dan katakan kepada anak-anak, ‘Kamu harus pergi ke sekolah’."

Bibi Val mengatakan dia percaya bahwa kesehatan mental Pribumi dan tingkat bunuh diri yang lebih tinggi adalah masalah lain yang terabaikan.

“Itu sudah berlangsung di sana selama bertahun-tahun,” katanya.

“Orang Aborigin tidak punya pekerjaan, mereka tidak punya rumah atau perumahan yang terjangkau. Mereka sudah ketinggalan delapan bola sepanjang waktu.”

Kemalangan mewariskan kemalangan lebih lanjut

Yayasan Literacy for Life mengatakan sistem pendidikan meninggalkan siswa yang kurang beruntung, yang memicu ketidakberuntungan generasi.

“Bukti membuktikan bahwa Anda tidak mendapatkan anak-anak terpelajar tanpa ibu yang bisa membaca,” kata Beetson.

"Intinya adalah Anda membutuhkan ibu yang bisa membaca."

Yayasan ini dimulai pada tahun 2012 dan sekarang beroperasi di seluruh NSW di Wilcannia, Walgett, Bourke dan Brewarrina hingga perbatasan Queensland.

Yayasan ini bertekad akan memperluas program dalam waktu dekat di selatan Sydney dan dekat Alice Springs.

“Kami ingin menggulirkannya secara nasional dan itu adalah sebuah keharusan. Kami pasti ingin turun ke daerah Shoalhaven, Illawarra, dan Dataran Tinggi Selatan,” kata Beetson.

Literacy for Life
Yayasan Literacy For Life adalah lembaga amal yang dikelola warga Aborijin yang berusaha meningkatkan literasi di kalangan warga dewasa di komunitas pribumi Australia.

Supplied: Literacy for Life Foundation

Jack Beetson mengatakan ada kekhawatiran buta huruf warga Australia terputus dari layanan dasar.

“Setiap hari orang dengan tingkat melek huruf rendah menjadi semakin terpinggirkan oleh tugas sehari-hari,” katanya.

“Mereka masuk ke departemen pemerintah dan hal pertama yang mereka dapatkan adalah, ‘Pergi online dan isi formulir ini’.

“Bagaimana Anda melakukannya jika Anda tidak dapat membaca dan menulis? Orang-orang itu pergi begitu saja. Ini mengerikan.”

Lihat beritanya dalam Bahasa Inggris disini.