Tinggalkan Australia Demi Cinta Dan Peluang Kerja
Dua perempuan Indonesia ini sama-sama berkarir di bidang arsitektur-interior di Sydney. Bertahun-tahun mengadu nasib di Australia dan menjadi penduduk tetap, keduanya akhirnya memutuskan untuk kembali ke Indonesia mencoba peruntungan yang lebih baik.
Gagap budaya turut mewarnai perjalanan keduanya ketika kembali pulang. Indonesia dan Australia memberi mereka pengalaman profesional yang berbeda.
Baru setahun Carla Novia kembali ke Indonesia, setelah menjalani karir di Sydney sebagai desainer interior selama kurang lebih 4 tahun.
Sebelum kembali ke Indonesia, Carla menetap di Australia selama 8 tahun, dan telah menyandang status penduduk tetap atau permanent resident (PR) sejak tahun 2001.
Serupa dengan Carla, Vanessa Intan juga berkarir di bidang arsitektur-interior.
Sudah hampir dua tahun ia kembali ke Indonesia. Vanessa juga berstatus PR Australia dan telah menetap di negara itu selama 10 tahun.
Nurina Savitri dari ABC berbincang dengan keduanya tentang alasan di balik kepulangan mereka dan ekspektasi yang mereka bawa ketika pulang ke Indonesia.
Data terbaru dari Biro Statistik Australia menunjukkan bahwa di tahun 2017 hampir 85.000 orang meninggalkan Australia, jumlah ini 9.000 lebih banyak dibandingkan periode yang sama tahun 2016.
Apa alasan kepulangan kalian ke Indonesia?
Carla (C): Saya mau coba opportunity di Jakarta, di Indonesia itu seperti apa. Soalnya kalau di Aussie sih, ini saya bilang secara umum ya, the career will be stable, will be good but then you wouldn’t reach the top (karir akan stabil, bagus, tapi tidak akan sampai puncak).
Selain itu, saya kembali untuk menikah (tersenyum). Sebelum menikah-pun sebenarnya saya sudah bilang ke calon saya kalau saya ingin mencoba kesempatan baru di Jakarta.
Di lingkungan kerabat dan pertemanan saya sendiri, 80 persen dari keluarga dan teman-teman saya di Australia sudah kembali ke Indonesia meski saudara kandung saya masih di sana.
Vanessa (V): Kemarin waktu balik ke Indonesia tujuan awalnya untuk bantu mama bangun sekolah. Banyak orang kembali untuk mencari peluang di sini, untuk mengikuti pasangannya, setidaknya teman-teman saya begitu.
Saya kembali untuk sebuah proyek yang sekarang sudah selesai. Kebetulan saya juga mau explore tempat lain. Tapi jadinya sekarang, tiap kali balik Aussie, saya merasa di sana lebih seperti rumah, mungkin karena semua saudara kandung saya ada di Aussie, sementara yang di sini cuma ibu saya.
Mungkin itu juga kenapa banyak orang kembali ke Indonesia karena keluarga mereka di sini.
Sekarang apa kegiatan kalian di sini?
C: Saya masih berkarir di bidang yang sama, arsitektur-interior, tapi sekarang saya bekerja sendiri.
V: Setelah proyek sekolah selesai saya membuat website. Saya sadar sourcing untuk supplier di bidang saya susah, jadi saya mulai membuat website tapi susah jalannya karena tidak ada partner dan fundingnya belum mulai.
Jadi akhirnya saya balik ke proyek interior-arsitektur, jalan sendiri dan mulai ambil proyek.
Sempat terkaget-kaget ketika mulai bekerja di Indonesia?
C: Saya memang sudah memperkirakan ada perbedaan, I saw it coming. Seperti dari budaya kerja, dan gaji tentunya.
Saya rasa di Jakarta itu kita harus kenal banyak orang dan punya koneksi yang baik untuk bertahan.
V: Di Indonesia, saya lebih banyak bekerja di lapangan dan bertemu dengan para pekerja bangunan. Saya seringkali bertanya: ‘kapan selesainya?’, mereka jawab ‘oh besok..besok’.
Intinya ya saya harus terus mengejar janji mereka. Ada banyak ketidakprofesionalan dan ketidakjujuran, ada barang yang dicuri misalnya.
Tapi adaptasi sesungguhnya adalah dengan orang-orangnya. Selain itu soal lalu-lintas. Sebelumnya waktu tinggal di Indonesia, saya di Pontianak bukan di Jakarta.
Makanya waktu tinggal di Jakarta sempat kaget waktu tahu kalau nggak pernah jelas butuh berapa lama untuk mencapai satu destinasi.
Dulunya (di Australia) bisa pergi ke meeting 30 menit dan menjalani 3-4 meeting sehari, di sini 1,5-2 jam untuk meeting dan saya cuma bisa menjalani satu meeting, sangat tidak efisien.
Selain itu suasana apa lagi yang kalian temukan berbeda dari ketika tinggal Australia?
C: Di sana work life balance (keseimbangan kerja-kehidupan pribadi) itu bagus sekali. Sangat stabil tapi agak membosankan juga.
Tapi untuk orang-orang yang suka yang mungkin oke. Jadi kaya kakak-kakak saya kan sudah lama seklai di sana, jadi mereka ada yang SMA di sana, tapi mereka memang lebih suka kehidupan yang stabil, mungkin lebih less stressful (kurang membuat stres).
Sementara di sini (Indonesia) tuh saya berasanya, jika kita mau sesuatu kita bisa mendapatkannya dari mana saja, tapi kita harus fokus memang.
Di sini lebih banyak cara yang bisa kita explore. Sementara di Sydney, kita sudah tahu ini bagian kita dan kemana ini akan mengarah, tapi kalau di sini…kanan-kiri masih bisa dilakukan kalau cara yang satu nggak berhasil.
V: Jujur saja, saya mengalami tantangan beradaptasi kembali di sini. Mungkin sebagian besar karena pekerjaan yang saya lakukan, dan orang-orang yang saya temui setiap hari, karena kalau di Aussie saya merasa semua orang tahu apa yang mereka kerjakan, memang SDM-nya lebih tinggi aja, dan kalau mereka bilang mereka akan mengerjakannya, mereka ya mengerjakannya.
Baik Carla dan Vanessa mendapatkan status PR Australia dari orang tua mereka yang mendapatkan kesempatan kerja dan bisnis di sana.
Keduanya-pun sama-sama berencana untuk kembali menetap di Australia suatu hari nanti.