Tiga Dekade Kasus Pembunuhan Marsinah: Buruh Masih Berjuang Sendiri?
Di malam sebelum ia hilang, Marsinah naik pitam.
"
"Aku akan menuntut Kodim dengan bantuan saudaraku yang ada di Surabaya," kata Marsinah seperti yang ditulis ELSAM dalam laporannya.
"
Lalu ia pergi bak ditelan bumi, baru ditemukan memasuki hari keempat setelah tak ada kabarnya.
Marsinah ditemukan dalam keadaan membeku dengan sejumlah bekas kekerasan di sekujur tubuhnya, di sebuah gubuk di Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Hasil otopsi menyebutkan ia meninggal sehari sebelumnya, 8 Mei 1993, tepat hari ini, tiga puluh tahun yang lalu.
Memperingati kepergiannya tiga dasawarsa lalu, kami kembalikan sosok Marsinah dalam bentuk tulisan, apa yang diperjuangkannya, termasuk yang membuatnya naik pitam semalam sebelum ia pergi.
Serta refleksi terhadap kasus pembunuhannya yang misterius, karena perjuangannya masih relevan dengan kondisi banyak buruh dan pekerja di Indonesia saat ini.
Siapa Marsinah?
Marsinah, lahir di Nganjuk pada tanggal 10 April 1969, adalah salah satu buruh PT Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur.
Ia dikenal sebagai perempuan yang cerdas, karena sering menduduki peringkat pertama di kelasnya. Tapi ia tidak bisa meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi karena tak punya biaya.
Di tempatnya bekerja, Marsinah juga aktif dalam organisasi buruh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) unit kerja PT CPS.
SPSI saat itu merupakan satu-satunya organisasi buruh di Indonesia, karena pemerintah masa orde baru saat itu menerapkan aturan wadah tunggal organisasi. Artinya hanya boleh ada satu organisasi saja untuk setiap organisasi profesi atau pekerja.
Pada pertengahan Maret 1993, gubernur Jawa Timur Soelarso mengeluarkan surat edaran yang mengimbau seluruh pengusaha di Jawa Timur untuk menaikkan upah buruh sebesar 20 persen dari gaji pokok, menggerakkan sejumlah buruh menuntut realisasi dari surat edaran ini, bahkan banyak di antaranya yang mogok kerja.
Marsinah adalah salah satu buruh yang vokal dalam tuntutan buruh di tempat kerjanya, termasuk memelopori penolakan perusahaan yang menyuruh buruh kembali bekerja saat mogok.
Ia termasuk dari 15 orang perwakilan buruh yang berunding dengan perusahaan dan Departemen Tenaga Kerja di Sidoarjo.
Dua belas tuntutan Marsinah
Karena kebuntuan negosiasi tanggal 3 dan 4 Mei 1993, seluruh karyawan PT CPS mogok dan berunjuk rasa menuntut kenaikan upah dari Rp1.700 menjadi Rp2.250.
Ini sesuai dengan Keputusan Menteri No. 50/1992 yang di dalamnya mencantumkan upah minimum regional di Jawa Timur saat itu.
Namun dalam laporan penelitiannya berjudul "Ke Arah Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Kajian Kasus-kasus Penyiksaan Belum Terselesaikan", Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat ada 12 tuntutan yang disodorkan oleh Marsinah dan rekan-rekan buruh lainnya.
Campur tangan militer
Di bawah rezim militeristik yang dipimpinnya pada masa Orde Baru, presiden Soeharto memastikan adanya payung hukum untuk mengawasi dan mengatur protes buruh, di antaranya Surat Keputusan Bakorstanas No.02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342/Men/1986.
Di sana tertulis, jika terjadi perselisihan antara buruh dengan pengusaha, militer berhak jadi mediator atau penengah.
Merekalah yang kemudian dihadapi Marsinah dan rekan-rekan buruh yang mogok dan melangsungkan protes.
Saat aksi mogok hari pertama, Yudo Prakoso, koordinator aksi, ditangkap dan dibawa ke Kantor Koramil 0816/04 Porong.
Dia diinterogasi dan dituduh melakukan protes dengan cara yang mirip aksi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Saat ia memenuhi panggilan aparat militer, Marsinah kemudian yang memegang kendali memimpin protes buruh.
Keesokan harinya, pada 4 Mei 1993, aksi mogok kembali berlangsung. Namun pihak PT CPS bernegosiasi dengan 15 orang perwakilan buruh, termasuk Marsinah, Departemen Tenaga Kerja, petugas Kecamatan Siring, serta perwakilan polisi dan Koramil.
Semua tuntutan dikabulkan, kecuali membubarkan SPSI di tingkat pabrik karena dianggap menjadi kewenangan internal SPSI.
Meski demikian, pada hari yang sama Yudo diminta datang ke kantor Kodim 0816 Sidoarjo. Ia diminta untuk mencatat nama-nama buruh yang terlibat dalam perencanaan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja.
Kemarahan Marsinah
5 Mei, Yudo dan 12 orang buruh lainnya dikumpulkan di Kodim Sidoarjo oleh seorang Perwira Seksi Intel Kodim bernama Kamadi. Mereka diminta mengundurkan diri dari PT CPS dengan alasan tenaga mereka sudah tak dibutuhkan lagi oleh perusahaan.
Dua perwira Kodim, Kamadi dan Kapten Sugeng juga telah menyiapkan surat pengunduran diri yang menyatakan 13 buruh itu telah melakukan rapat ilegal untuk merencanakan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja.
Berada dalam tekanan, akhirnya 13 buruh itu menandatangani surat pengunduran diri yang dibuat Kodim.
Inilah yang membuat Marsinah naik pitam.
Ia meminta salinan surat pengunduran diri tersebut dan surat kesepakatan dengan manajemen PT CPS, yang menyepakati larangan memutasi, mengintimidasi, dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) setelah aksi mogok kerja.
Peringatan: tulisan di bawah ini memuat hasil otopsi jenazah Marsinah yang bisa membuat Anda tidak nyaman
Siapa pelakunya: Kesaksian ahli forensik
Setelah ditemukan tewas, jasad Marsinah dua kali diotopsi.
"
Menurut hasil visum kedua oleh tim Dr Soetomo Surabaya, tulang panggul bagian depan hancur. Tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping, tulang kemaluan kanan patah, tulang usus kanan patah sampai terpisah. Tulang selangkangan kanan patah seluruhnya. Labia minora kiri robek dan ada serpihan tulang. Ada luka di bagian dalam alat kelamin sepanjang 3 sentimeter, juga pendarahan di dalam rongga perut.
"
Abdul Mun'im Idries, seorang ahli forensik mengatakan penyebab kematian Marsinah bukan karena sodokan balok tumpul, melainkan senjata api yang ditembakkan ke rongga kemaluan, hingga menghancurkan tulang di sekelilingnya, seperti yang dikutip dari Tirto.id.
Itu berarti, menurutnya, pelaku merupakan seorang yang memiliki akses terhadap senjata api di masa Orde Baru.
Ini juga sejalan dengan kesaksian sembilan orang terdakwa, pemilik dan petugas keamanan PT CPS yang mengaku dipaksa mengaku oleh aparat militer di bawah siksaan dan penganiayaan.
Kesembilannya dibebaskan oleh keputusam Mahkamah Agung karena dinilai tidak terbukti membunuh Marsinah.
Sementara Amnesty Internasional dalam laporannya mengatakan "persidangan dimaksudkan untuk mengaburkan tanggung jawab militer atas pembunuhan tersebut".
Tiga puluh tahun berlalu, pembunuh Marsinah tak pernah diungkap pengadilan.
'Buruh seperti berjuang sendiri'
Selain ELSAM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada tahun 1995 juga menyusun buku putih berjudul "Kekerasan Penyidikan Dalam Kasus Marsinah".
Ketua YLBHI, Muhamad Isnur mengatakan, setidaknya ada tiga catatan yang perlu menjadi refleksi untuk semua kalangan, baik pemerintah Indonesia, buruh, dan masyarakat sipil dalam peringatan 30 tahun kasus Marsinah.
Ketiga hal tersebut meliputi keterlibatan aparat dan impunitas pelaku.
"Temuan kami, sekarang di masa reformasi, pola-pola yang lama dilakukan kembali, misalnya pada May Day kemarin, buruh dihadapi dengan represif dan brutal, polisi dan tentara hadir di pusat-pusat aksi buruh."
"Soal impunitas pelaku, tidak pernah diungkap secara terbuka, tidak pernah diberikan sanksi oleh negara, … pelakunya melenggang meski kejahatannya sesadis itu."
Poin yang ketiga adalah soal kesadaran untuk mengevaluasi kebijakan dan pengawasan.
"Bukannya memperbaiki kebijakan, dalam semangat perlindungan buruh malah stagnant dan cenderung mundur terus … ini nyata sekali dengan UU Cipta Kerja, bukannya membaik malah memburuk untuk buruh."
"
"Buruh seperti berjuang sendiri, buruh bertarung sendiri," tutur Isnur.
"
Isnur menilai semangat yang dibawa oleh Marsinah dalam memperjuangkan hak buruh perlu dijaga naik oleh serikat buruh maupun jejaringnya.
"Tantangannya sekarang banyak sekali serikat buruh, jadi sulit untuk satu suara … tapi gerakan-gerakan buruh dengan basis pabrik atau akar rumput seperti Marsinah perlu dijaga untuk menyatukan buruh."
"Untuk LBH dan YLBHI, ini juga refleksi apakah kami melakukan kaderisasi dengan serius … menjadi bagian dari ekosistem gerakan yang memperkuat demokrasi dan menjadi aktor yang memperbesar gerakan, termasuk serikat buruh, atau hanya lawyering saja?" pungkas Isnur.