ABC

Terkait Industri Gula di Australia, Wilmar International Disoroti Soal Pekerjanya di Indonesia

Perusahaan raksasa gula Wilmar International terus mengalami tekanan di Canberra, Australia, untuk mencapai kesepakatan adil dengan industri gula di Queensland, sementara Amnesty International menyoroti rekor HAM perusahaan tersebut.

Laporan Amnesty International bertajuk, “The great palm oil scandal: Labour abuses behind big brand names”, menyelidiki perkebunan yang dimiliki oleh dan dikontrak untuk menyuplai ke Wilmar, yang merupakan produsen gula dan kelapa sawit terbesar dunia.

Para penyelidik dari kelompok HAM tersebut mengunjungi sejumlah perkebunan di Sumatra dan Kalimantan dan menanyai 120 pekerja perkebunan yang dimiliki anak perusahaan Wilmar atau dikontrak untuk menyulai Wilmar.

Penyelidik senior Amnesty International Meghna Abraham menjelaskan, timnya mendapatkan bukti-bukti adanya pekerja anak, pekerja perempuan yang dibayar di bawah ketentuan UMR serta dieksploitasi, serta pekerja yang “cedera berat” karena kondisi kerja yang buruk.

Wilmar secara terbuka berkomitmen tidak melakukan deforestasi dan tidak melakukan eksploitasi dalam operasionalnya, yang menurut Meghna Abraham kebijakan bagus itu hanya di atas kertas.

“Kami mendengar dari kalangan industri kelapa sawit bahwa mereka telah memperbaiki langkah-langkah dengan mengadopsi kebijakan yang memastikan bahwa kelapa sawit ini berkelanjutan dan bebas dari eksploitasi. Namun investigasi kami menunjukkan realita yang sangat berbeda,” katanya.

Laporan tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai kebenaran tanda “Sustainable Palm Oil” yang dipasang di produk-produk konsumen Wilmar.

Minyak kelapa sawit diperkirakan dipergunakan dalam separuh dari seluruh produk mulai dari pasta gigi hingga mie.

Menyusul kecaman atas masalah lingkungan dan pelanggaran HAM di kalangan industri kelapa sawit, perusahaan multinasional seperti Colgate-Palmolive, Kellogg’s dan Nestle berkomitmen mengakhiri eksploitasi di industri ini, dan mengenakan label yang bisa dilihat konsumen bahwa minyak sawit yang dipakai diproduksi secara etis.

“Penyelidikan kami menunjukkan dengan jelas bahwa adanya label kepala sawit berkelanjutan pada produk tidaklah menjamin bahwa produk tersebut bebas dari eksploitasi,” kata Abraham.

“Pelanggaran yang ditemukan dalam operasional kepala sawit Wilmar bukanlah insiden terpisah melainkan sistemik dan merupakan hasil yang diprediksi dari cara Wilmar melakukan bisnisnya,” tambah dia.

Wilmar menanggapi hal ini dengan menyatakan menyambut laporan Amnesty tersebut.

“Wilmar melakukan banyak upaya dan menerapkan sistem dalam menangani masalah tenaga kerja dan masalah sosial dalam operasional kami dan matarantai pasokan,” demikian dinyatakan perusahaan itu.

“Kami akui adanya masalah ketenagakerjaan yang masih terjadi di industri kelapa sawit, dan masalah ini dapat mempengaruhi setiap perusahaan sawit yang beroperasi di Indonesia,” tambahnya.

“Fokus kepada Wilmar, sebagai prosesor dan merchandiser minyak sawit dan minyak laurat terbesar di seluruh dunia, sering digunakan demi menarik perhatian pada problem dalam industri kepala sawit yang lebih luas,” kata pernyataan Wilmar itu.

Wilmar bertemu Menteri Barnaby Joyce

Laporan Amnesty itu muncul disaat operasional Wilmar di Australia mendapat pengawasan dari Menteri Pertanian, serta para anggota DPR dari Queensland meminta perusahaan itu untuk “berbaik-baik” dengan para petani tebu.

Wilmar, yang membeli perusahaan CSR Sugar enam tahun lalu, sedang bersengketa dengan sebagian besar industri gula Queensland, dan banyak petani menuduh perusahaan ini coba memeras mata pencaharian para petani .

Sengketa itu berkisar pada ketidaktercapaian perjanjian pasokan dengan Queensland Sugar Limited (QSL), dan petani tebu mengklaim perjanjian pasokan pabrik “tidak adil”.

Kontrak individual yang ditawarkan Wilmar kepada petani dan negosiasinya dengan QSL, saat ini sedang diselidiki oleh Australian Competition and Consumer Commission (ACCC).

Selasa kemarin, Wilmar bertemu dengan pemimpin Partai Nasional sekaligus Menteri Pertanian Barnaby Joyce yang sebelumnya telah mengancam konglomerat berbasis di Singapura itu bahwa pemerintah Australia akan melakukan intervensi. Kecuali bisa mencapai kesepakatan damai dengan petani.

Anggota DPR dari Partai Nasional Michelle Landry dan George Christensen mengatakan pertemuan tersebut konstruktif namun banyak hal masih perlu dilakukan.

“Sekarang waktunya bagi Wilmar untuk berhenti menyandera petani tebu lokal dan mengakhiri krisis kontrak gula tersebut,” kata Landry.

“Kami menginginkan mereka menjalankan persyaratan dan berkomitmen untuk perjanjian pasokan yang adil dengan petani tebu lokal,” tambahnya.

“Wilmar meyakinkan kami bahwa mereka mengarah pada perjanjian dengan QSL, yang dibuktikan dengan terobosan terbaru dalam proses negosiasi,” kata Christensen menambahkan.

Wilmar menyatakan pertemuan tersebut “konstruktif dan damai” dan bahwa Wakil Perdana Menteri Joyce “mendapatkan penjelaskan mengenai kemajuan negosiasi dengan QSL.”

Diterbitkan Pukul 14:30 AEST 30 November 2016 oleh Farid M. Ibrahim dari artikel berbahasa Inggris di sini.