ABC

“Terharu Bisa Yasinan di Makam”, Kisah Muslim Indonesia Ibadah di China

Beribadah di negeri orang terkadang menjadi sebuah tantangan bagi sebagian Muslim Indonesia. Susahnya mencari masjid atau ruangan sholat hingga tidak tersedianya makanan halal berada di antara tantangan itu.

Poin Utama Muslim di China

Poin utama:

* Mahasiswa Muslim Indonesia di China mengaku bisa beribadah di masjid, yang tak sukar ditemui

* Identitas etnis di China dianggap lebih penting ketimbang identitas agama

* Islam di China, menurut mahasiswa Muslim Indonesia, tak berkarakter tunggal

Tapi rupanya, kondisi itu tak dirasakan Prima Nurahmi, peneliti Muslim yang baru kembali dari studi di China.

“Ya Allah…bisa yasinan di China, di makam Islam, itu rasanya…terharu banget,” ujar Prima dalam sebuah diskusi buku tentang Muslim Indonesia dan China di Jakarta, pekan lalu.

Buku yang terbit April 2019 itu sendiri membahas kehidupan Muslim di China dan dinamika hubungan China-Indonesia, utamanya terkait isu Islam dan kebebasan beribadah Muslim.

Kepada ABC, perempuan berhijab itu lantas menceritakan kisahnya mengunjungi makam murid Nabi (Muhammad SAW) di kota Quanzhou, Fujian, tak jauh dari tempatnya belajar.

Apa yang dilakukannya saat itu adalah bagian dari aktivitas ziarah makam bersama teman-temannya.

“Seingat saya, cuma izin masuk buat ziarah ke pengelola kompleks makam Islam di Quanzhou.”

“Lokasi kompleksnya kan luas banget. Dan enggak mengganggu masyarakat,” tutur penerima beasiswa One Belt One Road untuk pegawai negeri sipil ini.

Pengalaman beribadah lain yang pernah dirasakan Prima di China adalah menggelar peringatan Maulid Nabi atau diba’an di komplek kampusnya.

Ahmad Zuhri di depan Masjid Jiang An di kota Wuhan, China.
Ahmad Zuhri di depan Masjid Jiang An di kota Wuhan, China.

Supplied

Meski dibolehkan, Prima mengatakan ia dan teman-temannya tetap harus meminta izin kepada pihak terkait.

“Kampus kami, Huaqiao University, Xiamen, kampus negeri.”

“Pengurus pengajian tetap minta izin ke kampus. Bilangnya memang bukan acara keagamaan tapi acara perkumpulan mahasiswa.”

“Tapi kami baca diba’an cukup keras juga enggak masalah kok, kan acaranya pas kampus udah sepi,” kisahnya.

Menurut penuturan Imron Rosyadi Hamid atau akrab disapa Kyai Imron, Rois Syuriyah PCINU (Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama) di China, walau kegiatan ibadah diizinkan, semua kegiatan di negeri tirai bambu itu -pada prinsipnya -memang diawasi.

Tak terkecuali untuk kegiatan komunitas Muslim dari berbagai benua seperti dari Afrika, Asia Selatan dan Timur Tengah.

Beberapa dari komunitas Muslim itu memiliki masjid komunitas, seperti Masjid Somali di Changcun yang dibangun oleh komunitas Muslim Afrika.

“Mereka memilki izin. Persoalan pengawasan, semua aktivitas pasti diawasi, tetapi sepanjang tidak ada yang menyimpang, ibadah jalan terus.”

“Saya sendiri sering ikut shalat di Masjid komunitas Muslim Afrika,” kata mahasiswa doktoral Hubungan Internasional di Jilin University ini kepada ABC.

Diakui Imron, selama di China ia bisa beribadah dan mencari makanan halal dengan mudah.

Bahkan, sebutnya, semua penganut agama disediakan tempat ibadah khusus oleh Pemerintah di sebuah lokasi di luar kampus.

Pengakuan serupa juga dilontarkan Prima. Ia mengatakan di dua universitas tujuan mayoritas mahasiswa Indonesia di Xiamen, yakni Huaqiao University dan Xiamen University, tersedia kantin halal.

“Di Xiamen sendiri, mencari produk-produk makanan halal tidak terlalu susah.”

“Biskuit-biskuit halal dari Malaysia, Vietnam, Indonesia tersedia di minimarket dan supermarket.”

Susu halal dengan label halal dari China atau Qing Zhen juga banyak ditemukan di minimarket.

Imron, yang mengambil studi Hubungan Internasional, berpendapat perkembangan agama di China pasca Deng Xiaoping berkuasa, atau sejak tahun 1978, cukup bagus.

Kebijakan ‘open door’ dan reformasi ekonomi yang diterapkan memberikan dampak positif bagi kehidupan umat beragama di sana.

Imron turut menyumbangkan pemikirannya di buku ‘Muslim Indonesia dan China’.

“Sejak 1981, tren tempat ibadah (di China) terus meningkat,” sebutnya.

Oleh karena itu, pemberitaan mengenai Pemerintah China yang dituding menindas komunitas Muslim dianggapnya tak sahih.

Ahmad Syaifuddin Zuhri, editor buku ‘Islam Indonesia dan China’ mengungkapkan, dari pengalamannya studi di China, ia juga tak pernah merasakan tudingan penindasan tersebut.

Kandidat Phd di Central China Normal University ini menuturkan ia masih leluasa beribadah, termasuk ibadah yang memotong jam kerja atau kuliah.

“Kami ada kelas di hari Jumat, teman-teman Muslim diberi waktu untuk berangkat sholat Jumat dan kelasnya bisa dimundurkan jamnya,” ujar Zuhri.

“Tiap hari raya besar, yang itu sholatnya pagi di jam kerja, mahasiswa Muslim diberi hak libur sehari penuh,” imbuhnya.

Saiful Hakam saat belajar bahasa Mandarin di China.
Saiful Hakam (berkacamata, kedua dari kanan) saat belajar bahasa Mandarin di China.

Supplied

Walau mayoritas masyarakat China atheis atau tak memercayai Tuhan, Zuhri menilai mereka sangat menghormati keyakinan orang lain.

Ia menyebut prinsip filosofi yang sudah turun temurun diajarkan, bahwa hidup haruslah harmonis dan damai atau Hexing , berperan besar dalam hal itu.

Buku yang ia sunting sebenarnya ingin menyampaikan bahwa Islam di Indonesia dan Islam di China itu kurang lebih sama.

Di sisi lain, Zuhri mengaku sedih jika melihat perkembangan kehidupan beragama di Indonesia, yang ditudingnya mulai rasis.

“Padahal mayoritas di satu tempat bisa menjadi minoritas di tempat lain.”

“Orang-orang yang suka sewenang-wenang terhadap minoritas ini memang kurang piknik. Dunia tidak hanya milik mereka,” utaranya kepada ABC.

Mengenal Muslim China

Kyai Imron bersama rekan-rekan Muslim Pakistan di depan Masjid Changcun Jilin, China.
Kyai Imron (tengah) bersama rekan-rekan Muslim Pakistan di depan Masjid Changcun Jilin, China.

Supplied

Dari 55 etnis minoritas yang terdapat di China, 10 di antaranya beragama Islam.

Populasi minoritas Muslim itu terkonsentrasi pada etnis Hui dan Xinjiang.

Antropolog agama dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Saiful Hakam, mengatakan identitas etnis dipandang lebih penting dan signifikan ketimbang identitas agama di China.

“Etnis Hui itu dari sisi jasmani dan sisi budaya mirip dengan etnis mayoritas Han.”

“Etnis hui jarang ada masalah dengan etnis Han dan identitas nasional China,” jelas peneliti antropologi yang juga pernah belajar di China selama setahun ini.

Berbeda dengan Hui, etnis Uyghur di Xinjiang, sebut Hakam, tak berbagi sentimen yang sama.

“Sama sama Muslim dengan Hui tapi jasmani mereka lebih mirip orang Turki. Makanan, pakaian, bahasa sangat sangat berbeda,” katanya.

Simak informasi terkait komunitas Indonesia di Australia lainnya hanya di ABC Indonesia dan bergabunglah dengan komunitas kami di Facebook.