ABC

Terbit Buku Puisi yang Lahir dari Tahanan Imigrasi Australia

Di suatu tempat di tengah setumpuk kertas di sudut kamarnya, Hani Abdile menemukan salinan buletin ‘C.C. Weekly’. Terpampang di berbagai halaman buletin adalah koreksi dari penjaga pusat detensi yang baik hati, yang membantu memperbaiki tata bahasa dan kesalahan ketik dalam draf Hani sebelum ia membagikan buletin itu ke rekan-rekannya sesama tahanan.

C.C. singkatan dari kamp konsentrasi. Hanya saja C.C., menurut Hani, adalah cara yang lebih halus untuk mengatakannya.

Dari Pusat Penahanan Imigrasi Pulau Christmas, Hani menulis.

Ia menulis untuk memperbaiki bahasa Inggrisnya.

Ia menulis untuk memberi tahu orang lain apa yang tersedia di kantin pada minggu tertentu.

Ia menulis untuk mengungkapkan semua yang ia rasakan selama 11 bulan tinggal di balik dinding.

Melarikan diri dari perang saudara dan kondisi kehidupan yang mengerikan di Somalia saat ia masih remaja, Hani melakukan perjalanan setengah keliling dunia untuk mencari suaka di Australia.

Hani Abdile baru saja menerbitkan buku perdananya yang berisi puisi dan prosa serta berjudul 'I Will Rise' (Aku Akan Bangkit).
Hani Abdile baru saja menerbitkan buku perdananya yang berisi puisi dan prosa serta berjudul 'I Will Rise' (Aku Akan Bangkit).

ABC: Lisa Clarke

"Saya datang dengan kapal. Saya naik kapal dari Malaysia ke Indonesia. Lalu dari Indonesia, saya naik kapal lain dan datang ke Australia."

Sejak kecil, Hani tahu tak ada banyak peluang baginya di tanah airnya. Terlahir dengan jenis kelamin yang salah adalah kesalahannya.

“Di Somalia, anak laki-laki memiliki lebih banyak kesempatan daripada anak perempuan,” ungkap Hani.

Badan PBB ‘UNDP’ mengatakan bahwa Somalia memiliki tingkat pemerkosaan, mutilasi alat kelamin perempuan dan perkawinan anak yang sangat tinggi, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan adalah hal biasa.

“Sebagai anak muda saya memiliki visi … untuk datang ke dunia yang lebih aman dan tempat di mana saya bisa mendapatkan pendidikan.”

Hani tahu ia berjudi dengan hidupnya, namun memiliki visi yang jelas tentang apa yang ia inginkan untuk masa depannya.

Hani tak tahu bagaimana ia mencapainya.

“Terserah kepada laut apakah ia akan membantu Anda atau tidak. Jika laut memutuskan untuk tidak membantu Anda, maka Anda tidak akan berhasil. Tapi jika laut memutuskan ‘iya, saya akan membantu Anda,’ maka Anda akan mencapainya.”

"Mengingat masa kelam itu, saya berpikir ‘Wah!ketika saya mengalami ini apakah saya gila? apa yang saya pikirkan?."

Sebagai seseorang yang tak bisa berenang, mudah untuk melihat mengapa ia memikirkan hal itu.

“Saya pikir Tuhan ada di sisi saya dan saya menghargai hal itu setiap hari,” kata Hani.

Selama 11 bulan, ia menunggu di pusat penahanan di Pulau Christmas untuk mendapatkan berita tentang kehidupan barunya.

“Dalam kehidupan, ada sisi buruk dan baik. Ini bagus, dan itu buruk. Itu buruk karena masa depan Anda tidak pasti dan Anda tidak tahu kapan Anda akan bebas. Anda terkunci secara mental dan fisik. Tapi ada juga hari-hari baik. Ada pula orang-orang baik di sana.”

Untuk melewatkan waktu, Hani mengambil pena untuk menulis.

Hani
Saat ditahan di Pulau Christmas, Hani menyempatkan menulis dan menerbitkan buletin mingguan bernama 'C.C. Weekly' yang ia distribusikan ke para pencari suaka lainnya dan staf di pusat detensi.

ABC: Lisa Clarke

“Saya mengemukakan gagasan bahwa saya akan memulai buletin saya sendiri yang bernama C.C Weekly,” tutur Hani.

“Saya akan menulis tentang isu-isu yang sedang terjadi di pusat penahanan. Ada sebuah topan dan kemudian masalah medis, dan makanan. Saya akan menulis kolom ‘Pengungsi Minggu Ini’ dan saya akan meminta petugas mewawancarai mereka.

Facebook juga menyediakan platform untuk pekerjaannya agar bisa dinikmati di luar tembok pusat penahanan. Di media sosial ini, Hani lebih banyak mengunggah pekerjaan pribadi, berbagi pemikiran dan perasaannya setiap hari yang ia lalui.

Pendiri organisasi ‘Writing Through Febces’, Janet Galbraith, mengirim pesan kepada Hani setelah melihat karyanya muncul di media sosial, dan bertanya apakah ia seorang penyair.

“Saya hanya mengatakan tidak, karena saya tidak tahu arti kata itu, dan saya tidak ingin terlihat bodoh,” kata Hani.

“Lima menit kemudian saya ingin mengetahui arti kata itu … jadi saya cari di google dan menemukan maknanya.”

"Ketika saya meninggalkan Pulau Christmas, saya sudah punya 70 puisi."

Kini Hani tinggal di Sydney, dan baru saja menerbitkan koleksi puisi dan prosa berjudul ‘I Will Rise’.

“Judulnya terinspirasi penyair dan aktivis hebat Maya Angelou.”

PHOTO 

Perempuan berusia 21 tahun ini merasa sangat bahagia. Bukunya berisi campuran puisi yang ia tulis dalam tahanan dan juga sejak tinggal di Australia.

Mimpi ke depan perempuan muda ambisius ini adalah menjadi jurnalis investigasi, untuk menjelaskan ketidakadilan terhadap perempuan muda lainnya.

Tapi pertama-tama, ia harus menyelesaikan sertifikat SMA-nya.

"Ketika saya datang ke Australia, saya ingat datang pertama kali ke resepsionis sekolah dan memberi tahunya bahwa saya ingin jadi jurnalis."

“Tata bahasa saya sangat buruk dan perempuan itu menatap saya dan berkata ‘Ok, tapi sebelum Anda menjadi seorang jurnalis saya pikir Anda harus pergi ke pusat bahasa Inggris intensif terlebih dahulu.'”

Hani mengikuti saran bijak itu, menyelesaikan satu tahun studi bahasa Inggris intensif, lalu diikuti dengan bersekolah kelas 1 SMA.

Kini Hani sudah duduk di bangku kelas 2 SMA dan sedang dalam perjalanan untuk mewujudkan mimpinya.

'I Will Rise' adalah buku perdana Hani Abdile.
'I Will Rise' adalah buku perdana Hani Abdile.

ABC: Lisa Clarke

Pekan Pengungsi 2017 berlangsung mulai 18-24 Juni, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan masalah yang memengaruhi pengungsi dan merayakan kontribusi positif yang diberikan para pengungsi di tengah masyarakat Australia.

Diterjemahkan Kamis (22/6/2017) oleh Nurina Savitri.