ABC

Tentara penderita stress pasca trauma masih diabaikan

Komandan Pasukan Keamanan PBB sekaligus saksi  mata pembantaian etnis di Rwanda menilai pemerintah tidak melakukan cukup upaya untuk mengobati tentara yang menderita gangguan stres pasca-trauma (PTSD).

Jenderal asal Kanada Romeo Dallaire, dikenal sebagai sosok yang berjuang keras menjaga perdamaian ditengah genosida di Rwanda, namun pada tahun 1994 Romeo Dallaire  tidak berdaya untuk campur tangan menghentikan pembantaian lebih dari  1 juta orang oleh kelompok etnis yang saling bertikai.

Meskipun telah memohon sumber daya dan mandat untuk menghentikan pertumpahan darah, masyarakat internasional meninggalkan dia terdampar di kawasan itu.

Dallaire kemudian pulang ke negaranya dari tugas yang mengerikan tersebut dan menderita gangguan pasca trauma (PTSD) berat dan diminta untuk dibebastugaskan dari jabatannya.

Dia mengatakan ia beberapa kali berusaha bunuh diri.

"Saya tidak punya apa-apa lagi, saya berusaha untuk bunuh diri dan saya membuat misi dalam resiko bahaya,” ceritanya dalam program ABC Foreign Correspondent.

"Keputusan besar pertama yang harus saya hadapi adalah menyadari saya tidak bisa mengatasinya lagi dan saya diminta untuk dibebastugaskan,”

"Satu-satunya alasan saya tidak sukses adalah tekanan sekitar sangat ketat sehingga saya tidak mampu menyelesaikannya dan menyerah, tapi tidak berhasil

"Dan setelah mencoba ke-4 kalinya, saya berkata pada diri sendiri, “mungkin ada cara lain untuk mengatasi PTSD ini.” katanya.

Jenderal Dallaire saat ini menjadi senator di Parlemen Kanada dan mengatakan politisi, birokrat dan petinggi militer telah gagal menolong veteran dengan PTSD dan keluarganya.

Ia kini menjadi juru bicara bagi rekan sesama veteran yang mengalami PTSD, Ia menunjuk kurangnya pemahaman mengenai gangguan PTSD ini dikalangan petinggi senior di militer.

Dia mengatakan sangat penting bagi pejabat pemerintah dan para komandan militer untuk menyikapi PTSD secara serius mengingat ada ribuan personil pasukan internasional yang  kembali dari Afghanistan.

"Ketika saya melihat militer senior atau birokrasi dalam mengotak atik anggaran militer guna memotong anggaran untuk hal seperti ini, maka Anda tahu bahwa di dalam sistem, beberapa dari mereka tidak pernah benar-benar memahami kedalaman cedera ini," katanya.
 

"Sikap seperti itu berbatasan tipis dengan tindak criminal karena membiarkan orang bunuh diri.

"Kita tengah membicarakan  orang yang bunuh diri secara langsung karena kita membuat mereka melakukan itu,  dan kemudian memberikan tanggung jawab kita kepada mereka yang berseragam dan membiarkan warga sipil pergi dengan memotong itu, yang merupakan tingkatan  tertinggi dari sikap tidak bertanggung jawab. "

Trauma merusak otak

Dr. Bill Nash, psikiatri dan mantan dokter di AL AS mengatakan PTSD bukan kelemahan, tapi lebih merupakan kasus luka psikis.

"Dari pengalaman menghadapi penderita PTSD yang kebanyakan mariner dan pasukan lain, hal utama yang mampu menyembuhkan mereka adalah dengan menjelaskan kepada mereka kalau trauma itu bukan dipicu oleh diri mereka, tapi lebih karena kondisi di otak anda. Anda mengalami semacam putus sekering. Dan bukan dengan mengatakan semua yang meraka rasakan itu tidak nyata," tutur Nash.

Nash juga mengatakan  jalur di otak bisa rusak oleh trauma.

"Sama saja seperti syaraf yang terletak dibagian dalam telinga yang  bisa rusak karena terlalu banyak suara; atau seperti syaraf yang terdapat di retina mata yang bisa rusak karena terlalu banyak cahaya," katanya menggambarkan.

"Jadi bagian di otak ini bisa rusak karena tekanan atas pengalaman yang membingungkan, tapi hal ini tidak bisa hilang dengan hanya menutup mata.”

Jendral Dallaire mengatakan pihak militer juga gagal mengenali prajurit yang tewas karena PTSD.

"Kita telah kehilangan 158 orang di Afghanistan, dan mereka semua menerima tanda kehormatan ketika mereka kembali dan begitu seterusnya. Tapi, saya perkirakan saat ini ada sekitar 30 atau 40 orang yang melakukan bunuh diri ketika mereka kembali dari tugas karena menderita PTSD.

"Lalu bagaimana dengan nasib mereka? Kapan kita akan melihat nama mereka muncul?"