ABC

Tenaga Kesehatan di Indonesia Berjuang Antara Selamatkan Pasien dan Keluarga Sendiri

Sudah tiga bulan dokter muda Nadhira Anindita Ralena dikarantina di salah satu tower di kawasan Wisma Atlet Kemayoran Jakarta.

Dr Dita mengatakan sehari-hari ia bisa merawat sekitar 150 pasien yang dirawat di rumah sakit darurat di wisma tersebut.

“Sebelum tahun baru, Tower 6 dan 7 Wisma Atlet menampung sekiranya 1.000-an pasien. Lepas tahun baru, 2.500 pasien hampir terlampaui,” kata dr Dita.

“Peningkatan penumpukan pasien COVID itu nyata sekali di rumah sakit dan itu membuat tenaga kesehatan kelelahan.”

“Sejawat saya mulai kelelahan, bahkan ada yang jatuh sakit. Jumlah pasien terus meningkat dengan jumlah tenaga kesehatan yang malah berkurang. Kami benar-benar jungkir balik dua minggu ini.” katanya lagi.

Dr Nadhira Anindita Ralena menjalani karantina di kompleks Wisma Atlet Kemayoran karena pekerjaannya.
Dr Nadhira Anindita Ralena menjalani karantina di Rumah Sakit Darurat COVID Wisma Atlet Kemayoran selama tiga bulan di tengah pekerjaannya di sana.

Koleksi pribadi

Dr Dita, yang menamatkan sarjana kedokterannya dari University of Melbourne mengimbau agar masyarakat Indonesia menanggapi COVID-19 dengan serius.

“Di rumah sakit, dampak COVID itu tidak ke pasien saja, tapi juga orang-orang yang bekerja untuk pasiennya,” kata Dita kepada ABC Indonesia.

“Masyarakat perlu menyadari bahwa COVID-19 itu nyata dan dampaknya sangat besar, khususnya pada garda-garda terdepan seperti tenaga kesehatan,” jelasnya.

Tim Mitigasi dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mencatat jumlah tenaga kesehatan yang meninggal akibat COVID-19 telah mencapai 647 orang, paling banyak adalah dokter sebanyak 289 orang dan 221 orang adalah perawat.

Sementara Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Profesor Abdul Kadir mengatakan tempat tidur pasien yang sudah digunakan di rumah sakit setelah liburan akhir tahun mencapai 70 hingga 75 persen.

“Ini menyebabkan kita berada pada titik kritis, jika kenaikan kasus tidak dibarengi peningkatan jumlah tempat tidur, maka akan banyak pasien yang tidak bisa mendapat pelayanan di rumah sakit,” ujarnya dalam pemaparan di YouTube, Kamis kemarin.

Dokter tak Bisa pulang ke rumah

Dr Dita Ralena bersama kedua orang tuanya, Irvandi Ferizal dan ibunya Ayu Puspita Lena.
Dr Dita Ralena bersama kedua orang tuanya, Irvandi Ferizal dan ibunya Ayu Puspita Lena.

Koleksi pribadi

Akibat risiko tinggi tertular virus corona, dr Dita tidak bisa pulang ke rumah orangtuanya.

Sebuah keputusan yang disambut oleh keluarganya, termasuk ayahnya, Irvandi Ferizal yang selalu merasa khawatir dengan putrinya.

“Sebagai rumah sakit khusus COVID, tentu saya khawatir bahwa dia bekerja di sana.”

“Namun sejauh ini, menurut saya pengaturan dari rumah sakit cukup baik,” kata Irvandi kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.

“Juga ada pasokan makanan dan vitamin yang baik, sehingga kami percaya dengan keamanan dia ketika bekerja,” jelasnya.

Di bulan Februari mendatang, Irvandi mengatakan keluarganya harus menyesuaikan kembali, karena putrinya akan pindah lokasi kerja, yakni ke sebuah Puskesmas sebagai dokter umum dengan risiko yang lebih tinggi.

“Kita masih tidak akan hidup normal seperti keluarga biasa. Untung rumah kami ada beberapa lantai sehingga Dita akan tinggal di lantai atas.”

“Dia sudah bilang nanti walau di rumah, masih tidak bisa saling berpeluk melepas rindu, di rumah harus menggunakan masker jadi semua protokol kesehatan tetap dijalankan.” kata Irvandi yang sehari-hari bekerja sebagai salah seorang direktur di sebuah bank swasta di Jakarta.

Ajakan untuk perhatikan gejala tidak enak badan

Di Solo, Jawa Tengah, Dedi Widiyanto seorang perawat anestesi di Rumah Sakit Jiwa Daerah dinyatakan positif COVID-19, tertular dari istrinya yang bekerja sebagai perawat di Unit Perawatan Intensif di RS Moewardi.

“Rumah sakit tempat istri saya bekerja RS Moewardi adalah salah satu rumah sakit rujukan lini pertama di Jawa Tengah,” kata Dedi kepada ABC Indonesia.

“Saya terkonfirmasi 7 November 2020, dirawat selama 16 hari di ruang isolasi RS dan selanjutnya isolasi mandiri di rumah sampai hari ke 52, dengan 6 kali test pcr evaluasi setiap 7 hari.”

Dedi Widiyanto perawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr Soedjarwadi di Solo Jawa Tengah.
Dedi Widiyanto perawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr Soedjarwadi di Solo Jawa Tengah.

Koleksi pribadi

Menurut Dedi pada awalnya dia tidak merasa curiga terkena COVID-19, walau sempat mengalami gejala demam, pusing, seperti masuk angin, kemudian minum obat dan semua gejala mereda.

“Tetapi demam timbul kembali, sampai hari keenam saya merasakan kehilangan pembau dan kehilangan selera makan, aktivitas saya terganggu dan mual, pusing batuk semakin hebat,” kata Dedi.

Dedi mengaku ia bisa mengerti jika masih banyak warga Indonesia yang merasa tidak enak badan namun menganggapnya bukan gejala COVID-19.

“Tidak percaya itu adalah hal yang wajar apalagi ini adalah virus baru dan di dunia medis masih berupaya untuk menanggulangi ini.”

“Tetapi dengan melihat kondisi seperti ini tentunya masyarakat bisa bisa belajar berapa banyak korban yang telah meninggal, berapa banyak tenaga kesehatan yang gugur,” ujar Dedi.

Berdasarkan pengalaman dirinya, Dedi mengajak masyarakat luas untuk memperhatikan gejala yang mereka alami dengan serius.

“Saran saya bagi yang sudah mempunyai gejala mengarah ke COVID, minimal tiga gejala demam, batuk dan kehilangan pembau dan perasa, segeralah melapor kepada satuan tugas setempat, atau pusat kesehatan masyarakat.”

Indonesia seharunya menyatakan keadaan darurat COVID-19

Dr Sri Aminah spesialis dokter anak-anak di Yogyakarta yang juga membantu usaha penanggulangan COVID-19.
Dr Sri Aminah spesialis dokter anak-anak di Yogyakarta yang juga membantu usaha penanggulangan COVID-19.

Koleksi pribadi

Di Yogyakarta, Dr Sri Aminah, berusia 61 tahun, adalah dokter spesialis anak yang pernah menjadi Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Yogyakarta.

Dr Sri mengatakan suaminya yang juga seorang dokter di bidang telinga, hidung, dan tenggorokan, serta dua sopir keluarnya pernah dinyatakan positif COVID-19.

“Saya dan anak saya dokter yang sedang mengambil spesialis kardiologi di RSUP Dr Sardjito yang sejauh ini negatif,” katanya dalam perbincangan dengan Sastra Wijaya dari ABC Indonesia.

“Suami saya masih praktek di rumah sakit, dan tiap hari masih keluar rumah untuk belajar dan diskusi selama beberapa jam,” katanya.

Sementara dirinya masih melakukan praktek dari rumah dan selalu berhati-hati dengan protokol kesehatan.

“Saya punya keyakinan bahwa suatu saat akan terjangkit COVID, karena kurang disiplin dengan protokol kesehatan dan juga berinteraksi dengan komunitas yang tidak taat protokol kesehatan.” tambah Dr Aminah lagi.

Dr Aminah yang berpengalaman menangani masalah kesehatan di medan konflik di luar negeri menegaskan Indonesia sudah seharusnya menyatakan negara dalam keadaan darurat COVID-19, sehingga protokol kesehatan lebih diperketat.

“Banyak sekali hambatan untuk menerapkan protokol kesehatan. Pengawasan yang tidak ketat,” katanya

“Orang banyak yang melakukan kegiatan seperti biasa, berkerumun. Harusnya ada hukuman yang tegas bagi mereka yang tidak mematuhi.” katanya.

Dr Aminah mengatakan kampanye 5 M, yakni mencuci tangan, menggunakan masker, menjaga jarak, menjauhi kerumuman, dan membatasi mobilisasi harus betul-betul serius dilakukan.

Melihat hampir ambruknya sistem layanan kesehatan di berbagai rumah sakit di Indonesia, Dr Sri Aminah mengatakan dia bersama dengan kelompok relawan yang ada di Yogyakarta sedang berusaha membuat tempat isolasi mandiri yang bisa digunakan oleh pasien COVID yang tidak tertampung di rumah sakit.

“Hari ini saya akan rapat dengan beberapa teman relawan. Saya akan mencari kasur, karena kami sudah memiliki tempat namun masih perlu berbagai peralatan,” katanya dalam percakapan dengan ABC Indonesia, Kamis kemarin.

“Kita harus bergotong royong untuk membantu sejauh yang kita bisa lakukan. Saya sebagai dokter akan membantu dengan daftar alat-alat kesehatan apa yang diperlukan.”