‘Temanku, Teroris?’ dari Indonesia Lewat Australia ke Frankfurt Book Fair
Indonesia akan menjadi tamu kehormatan di pameran buku terbesar di dunia Frankfurt Book Fair 2015. Buku Temanku, Teroris? karya Noor Huda Ismail, yang kini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh mahasiswa Monash University, merupakan salah satu buku yang akan ditampilkan. Berikut catatan Noor Huda mengenai buku tersebut.
Saya baru punya satu karya buku, ‘Temanku, Teroris?’. Buku ini diterbitkan oleh Mizan tahun 2010.
Waktu itu, penerbit meminta saya untuk menuliskan memoir pribadi saya. Bagi mereka, pengalaman saya tinggal satu kamar dengan Fadlullah Hasan, salah satu pelaku bom Bali tahun 2002 ketika nyantri di pondok pesantren Al Mukmin Ngruki itu menarik.
Buku ini saya tulis untuk menjelaskan bagaimana saya dan Hasan yang ‘satu guru dan satu ilmu satu’ tapi kok kemudian memilih jalan yang berbeda: Saya menjadi special correspondent untuk koran Amerika, The Washington Post yang meliput peledakan bom dahsyat di Bali yang menewaskan tidak kurang 202 korban di antaranya 88 orang Australia. Sedangkan Hasan justru terlibat di dalamnya.
Noor Huda Ismail bersama dengan Courtney Reid yang membantu menterjemahkan ‘TemankuTeroris’ ke dalam bahasa Inggris.
Dengan gaya penulisan laporan investigatif jurnalistik yang saya tulis seperti karya fiksi, membuat para pembaca sering menyebut buku saya itu sebuah novel.
Padahal buku saya berisi semua kisah nyata hasil wawancara dengan para pelaku, korban, teman-teman saya ketika di pesantren dan bahkan dengan anak perempuan ustad pondok yang sempat saya ‘pacari’ waktu itu.
Ketika draft awal sudah selesai, saya minta para narasumber membaca ulang tulisan saya dan meminta mereka mengoreksinya jika ada yang kurang pas.
Bedah buku dilakukan di dalam penjara dengan para terpidana teroris. Sehingga buku inipun menimbulkan dampak pro dan kontra di kalangan publik.
Yang pro mengatakan bahwa buku saya ini mengajak pembaca memasuki dunia terorisme dengan tanpa menghakimi. Sedangkan yang kontra menuduh saya menjadi juru bicara para teroris itu.
Singkatnya, buku itu lebih sebagai buku ‘aktifis’ dan bukan karya sastra.
Oleh karena itu, saya tidak pernah membayangkan mendapatkan undangan dari sastrawan sekaliber Goenawan Muhammad, pendiri majalah Tempo dan selaku ketua panitia delegasi Indonesia pada Frankfurt Book Fair (FBF) 2015, untuk terlibat dalam pameran buku terbesar di dunia itu.
Penunjukan ini jelas telah memaksa saya untuk duduk dengan para penulis top Indonesia seperti Laksmi Pamuntjak, Andrea Hirata, Ahmad Tohari, Ahmad Fuadi atau Ayu Utami dan yang lainnya dalam forum bersejarah bagi dunia literasi Indonesia di ajang internasional.
Setelah penunjukkan ini, saya terlibat dalam proses penerjamahan dengan Courtney Reid (22), mahasiswa “Master of Translation“ dari Monash University.
Saya bertemu dengan mahasiswi yang murah senyum ini berkat rekomendasi teman dari Indonesia yang juga sedang menyelesaikan PhD di Monash University.
Kalau bukan karena FBF ini, saya tidak tahu kalau ternyata di kampusku ada jurasan menarik dan strategis ini. Courtney mendapatkan bukuku juga dari perpustakaan kampus yang secara rajin mengoleksi secara rapi dan terstruktur ribuan buku, jurnal, tabloid, koran dan majalah berbahasa Indonesia.
Mahasiswi beramput pirang ini belajar bahasa Indonesia sejak berusia 12 tahun di sekolahnya.
Ia merasa bahasa Indonesia itu relatif mudah di pelajari. Iapun sadar bahwa Indonesia adalah tetangga terdekat Australia namun masih belum banyak karya-karya penulis Indonesia diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Maka ia meneruskan kuliah Bahasa Indonesia di Monash University.
Kemudian mahasiswi beramput pirang ini mendalami bahasa Indonesia lagi di UGM dan tinggal beberapa saat di Bekasi.
Meskipun sudah belajar dan tinggal di Indonesia, Courtney harus berjuang mencari padanan kata bahasa Indonesia yang saya pakai dalam buku ini ke dalam bahasa Inggris.
Misalnya suatu hari kita berdiskusi apa sih terjemahan kata yang tepat untuk kata: ‘jimat’, ‘kecengan’, ‘kacung kampret’, ‘cungkring’ dan lain-lain. Meskipun susah, ia terus bersemangat. “
Ini kerja penting karena hanya dengan terjemahanlah, terutama dengan bahasa Inggris, karya-karya penulis di Indonesia bisa dikenal di dunia internasional. Terjemahan adalah jembatan untuk saling memahami dua budaya yang berbeda. Kita bertetangga itu kan tidak bisa memilih.
Tapi kita bisa memilih menjadi tetangga yang baik dengan saling memahami budaya yang berbeda lewat karya-karya literasi ini” paparnya.
Selama bekerja dengan Courtney dalam waktu yang sangat mepet ini, saya tersengat dengan realita menyedihkan bahwa bangsa kita yang berpenduduk 250 jutaan jiwa ini masihlah sangat miskin penulis jika dibandingkan dengan negara tetangga kita seperti Singapura, Filipina atau Australia.
Jika ada buku yang terbit dari para penulis itupun masih “jago kandang” karena masih berbahasa Indonesia.
Buku saya ini beruntung terpilih dalam FBF sehingga negara kita mengeluarkan dana untuk proses terjemahannya.
Oleh karena itu, saya berharap penerjemahan literasi penulis Indonesia ke dalam bahasa Inggris dan juga karya penulis Australia dalam bahasa Indonesi itu perlu digalakkan lagi. Ini penting untuk bisa dijadikan sebagai media diplomasi alternatif hubungan“people to people” antar dua negara yang sering naik turun ini.
Apalagi jika kita melihat langgam pemerintahan Jokowi yang sangatlah jauh berbeda dengan SBY yang faham betul dengan konstalalasi diplomasi global.
Popularitas Jokowi meroket itu juga bukan karena sosok dia yang cerdas dan canggih seperti SBY. Jokowi sukses menyihir massa karena kemampuannya dalam membangun hubungan “people to people”.
Bisa jadi, pemerintahan Jokowi juga akan menggandalkan pola hubungan informal sebagai ukuran keberhasilan diplomasi kedua negara ini. Tak ayal lagi, para diplomat kita harus terus mencari cara jitu membangun diplomasi yang berpola:“people to people” ini.
FBF ini bisa juga dijadikan sebagai momentum untuk membangun kesadaran baru bagi para pekerja kreatif, termasuk di dalamnya adalah para kaum akademis untuk keluar dari dunia nyaman kampus yang elitis dan bahkan sering kali menjadi mesin birokrasi yang malah mematikan api kreatifitas menulis buku yang berfungsi sebagai jendela dunia itu.
* Noor Huda Ismail adalah penerima beasiswa Australian Award 2014 untuk menyelesaikan PhD Politik dan Hubungan Internasional di Monash University. Dia dapat dihubungi di noorhuda2911@gmail.com.