ABC

Teknologi Cetak Tulang 3D di Australia Bisa Merevolusi Kedokteran Gigi

Sebuah studi baru yang menggunakan pencetakan 3 Dimensi (3D) untuk membuat jaringan dan tulang bisa merevolusi kedokteran gigi dan memberikan manfaat bagi kesehatan gigi bagi masyarakat terpencil.

Periodontis (dokter gigi spesialis gusi dan struktur lain yang mengelilingi gigi) Profesor Saso Ivanovski, dari Institut Menzies di Universitas Griffith, telah merintis kerja yang berencana untuk menggunakan "bio-printer" untuk menumbuhkan tulang dan jaringan yang hilang dari sel pasien sendiri.

Teknologi baru ini akan menjadi peningkatan yang signifikan pada metode tradisional, di mana tulang dan jaringan diambil dari bagian lain dari tubuh seperti pinggul dan kadang-kadang tengkorak, jelas Profesor Saso.

"Prosedur ini sering dikaitkan dengan nyeri yang signifikan, kerusakan saraf dan bengkak pasca operasi," sebutnya.

Jika penelitian ini berhasil, pasien akan bisa mengirim CT scan dari wilayah yang rusak ke ‘bio-printer’ (mesin pencetak) 3D untuk memproduksi bagian pengganti.

Ini berarti bahwa pasien jarak jauh bisa melakukan CT scan di kota-kota besar daerah yang kemudian bisa dikirim ke bagian pencetakan, ketimbang mengunjungi rumah sakit besar untuk prosedur ini.

"Sel-sel, matriks ekstraselular dan komponen lainnya yang membentuk jaringan tulang dan gusi, tersebut semuanya termasuk dalam pertumbuhan dan bisa diproduksi dengan tepat sesuai dengan tulang dan gusi yang pada individu tertentu," terang Profesor Saso.

Hasil cetakan baru tak bisa dibedakan dengan yang lama

Menggunakan struktur yang ditumbuhkan dari sel-sel pasien juga mengurangi resiko penolakan dan memungkinkan struktur baru tumbuh ke dalam jaringan sekitarnya.

"Pada akhir dari keseluruhan proses, Anda tak akan mampu mengidentifikasi mana tulang lama dan mana yang baru," kata sang Profesor.

Teknologi ini adalah pertama kalinya di Australia dan mengikuti terobosan sejenis dalam pencetakan jaringan manusia hidup yang dilakukan pencetakan 3D di luar negeri kanguru.

Studi berdurasi tiga tahun ini telah mendapat hibah senilai 650.000 dolar (atau setara Rp 6,5 miliar) dari Dewan Penelitian Kesehatan dan Medis Nasional Australia, dan para penelitinya bertujuan untuk mengadakan uji pra-klinis pada tahun depan.

"Pada akhir tahun, kami ingin mulai mengimplan beberapa konstruksi di beberapa proses yang lebih mudah," ujar Profesor Saso.