ABC

Tantangan dan Kesempatan Bagi Seniman Asia di Australia

Dua tahun yang lalu, Faisal Rusdi, pelukis difabel asal Jawa Barat sedang mempersiapkan pengajuan visa untuk menemani istrinya, yang juga harus menggunakan kursi roda, kuliah di Adelaide, Australia Selatan.

Ia diminta untuk membuat proposal untuk menunjukkan apa yang akan ia lakukan selama berada di Australia.

“Saya adalah difabel, dan saya tidak boleh membawa asisten pribadi karena saat itu ia masih berada di bawah umur,” ujar Faisal yang dilahirkan dengan kondisi cerebral palsy.

Dalam proposalnya, Faisal berjanji untuk berkontribusi bagi Australia dengan menggunakan bakat dan kemampuan seninya. Faisal pun berhasil membuktikannya.

November lalu, Faisal menggelar pameran pertamanya, ‘The Colour of Journey’ di West Torrens Audiotorium Gallery di Adelaide.

Faisal melukis dengan mulutnya, ditemani dengan istirnya, Cucu Saidah..
Faisal melukis dengan mulutnya, ditemani dengan istirnya, Cucu Saidah.

Facebook: Faisal Rusdi

Pameran tersebut menampilkan lebih dari 20 lukisan Faisal, kebanyakan menceritakan pengalamannya sebagai warga difabel di Australia. Menggelar pameran tunggal juga menjadikan impiannya terwujud.

“Saya sudah bermimpi membuat pameran tunggal sejak di Indonesia,” ujar Faisal.

Tapi keberuntungan menjadi miliknya, setelah ia bertemu dengan pemilik rumah yang ia sewa. Kebetulan pemiliknya adalah seniman yang pernah menggelar pameran tunggal.

“Langsung saja saya tanya dia bagaimana cara menggelar pameran tunggal. Ia bilang ia kenal seseorang di West Torrens Auditorium Gallery di Adelaide,” ujarnya.

“Tidak lama, pihak galeri mengontak saya, menerima proposal, menyetujuinya. Mereka menyediakan ruang di galeri, menyiapkan katalog, bahkan publikasinya, semua tanpa pungutan bayaran.”

Kebanyakan lukisan untuk pameran tunggalnya menceritakan pengalaman Faisal di Australia.
Kebanyakan lukisan untuk pameran tunggalnya menceritakan pengalaman Faisal di Australia.

Supplied

Tapi, Faisal hanya memiliki kurang dari empat bulan untuk menyiapkan pameran tunggal perdanannya. Ia harus melukis hampir setiap hari, dari pagi hingga malam, dengan istirahat sebentar untuk makan dan shalat.

“Saat itu musim dingin di Adelaide, saya harus membungkus tubuh saya dengan selimut dengan sikut menopang tubuh saya,” ujarnya.

Pameran ini berjalan sukses dengan lebih dari setengah lukisannya terjual, dan sebagai hasilnya, Faisal mengatakan kerja keras dan kemampuan bersungguh-sungguh menjadi hal paling penting untuk membuka banyak kesempatan.

Faisal dan istrinya, Cucu Saidah akan kembali ke Indonesia di akhir tahun 2017 setelah menyelesaikan kuliahnya. Mereka akan terus mengadvokasi hak-hak warga difabel dan memperdayakan seniman-seniman difabel di Indonesia.

Mindy Meng Wang, Musisi Guzheng

Mindy Meng bermain alat musik guzheng untuk penampilan Cocoon.
Mindy Meng bermain alat musik guzheng untuk penampilan Cocoon.

Supplied: Mindy Meng Wang

Mindy Meng Wang lahir dari keluarga intelektual di Lanzhou, sebuah kota di China barat. Sejak usia enam tahun ia sudah belajar alat musik tradisional China, ‘guzheng’.

Di usianya yang ke 27 tahun, setelah ia belajar musik selama bertahun-tahun di Inggris, Mindy pindah ke Melbourne untuk menjadi musisi. Sayangnya, tidak banyak lapangan kerja sebagai pemain guzheng.

Di China, guzheng adalah alat musik tradisional terkenal yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Tapi tentunya masih sangat asing di Australia ataupun di negara barat lainnya.

“Hanya ada lima nada dalam satu oktaf di musik klasik China, sementara dalam musik barat ada 12 nada.”

“Jadi ada kesulitan saat guzheng berkolaborasi dengan dengan musik lokal.”

Skip YouTube Video

FireFox NVDA users – To access the following content, press ‘M’ to enter the iFrame.

Jadi agar sesuai dengan musik barat, Mindy harus menyesuaikan alat musik guzheng dengan menjadikannya 12 nada, yang ternyata malah membuat sebuah kolaborasi unik dengan alat musik modern.

Sejak itu, Mindy bermitra dengan band rock Australia, ‘Regurgitator’, dimana mereka mengganti gitar dengan alat musik guzheng. Tapi di China, banyak musisi tradisional tidak terlalu menyukai kolaborasi ini.

Sebagai bagian dari proyek barunya, Mindy bermitra dengan Australian Arts Orchestra untuk menyiapkan sebuah pertunjukan yang menampilkan komposisi miliknya, berjudul ‘Cocoon’.

Mindy menjelaskan komposisi ‘Cocoon’ memiliki dasar dari teori musik barat dengan menampilkan guzheng, perkusi tradisional China, musik oriental Buddha, jazz, dan diiringi orkestra.

Skip YouTube Video

FireFox NVDA users – To access the following content, press ‘M’ to enter the iFrame.

“‘Cocoon’ adalah komposisi pertama saya sebagai bagian dari ‘Silk Road Trilogy’, yang mewakili permulaan dan pertemuan,” ujarnya.

Mindy merasa cukup mengerti jika orang-orang di Australia masih belum mengenal budaya oriental, belum lagi jika ada penolakan dari sesuatu yang dianggap berbeda atau asing.

Cocoon akan ditampilkan sebagai bagian dari acara Mapping Melbourne tanggal 16 Desember mendatang di Hamer Hall.

Rani Pramesti, Produser Pertunjukan Lintas Budaya dan Advokat Seni Budaya

Rani Pramesti, seniman Indonesia berdarah China yang berkiprah di Australia.
Rani Pramesti, seniman Indonesia berdarah China yang berkiprah di Australia.

Facebook: Rani Pramesti

Saat demonstrasi berakhir dengan kerusuhan di Jakarta, bulan Mei 1998, banyak warga Indonesia keturunan China yang menjadi sasaran. Beberapa diantara mereka yang merasa tidak aman melarikan diri ke Australia.

“Orang tua saya mengirimkan saya dan saudara laki-laki saya ke Perth di tahun 1999 saat kerusuhan berlangsung,” ujar Rani Pramesti, seniman berdarah China yang dibesarkan di Australia.

Tetapi sesampainya di Australia, Rani mengatakan pernah ada keresahan soal identitas saat ia pernah terlibat dalam sebuah pertunjukan teater di sekolahnya, yang seluruh murid adalah perempuan.

Dengan pengalaman pribadinya sebagai seorang migran, memiliki perbedaan di negara baru, dan kadang merasa ada diskriminasi, Rani memulai mengumpulkan cerita-cerita, termasuk dari perempuan Indonesia berdarah China yang juga memiliki pengalaman sama. Hasilnya adalah ia membuat pertunjukan ‘Chinese Whispers’.

Skip YouTube Video

FireFox NVDA users – To access the following content, press ‘M’ to enter the iFrame.

Pertunjukan yang pertama kali dibuatnya ini sukses dan mengantarkan dirinya mendapat banyak penghargaan, termasuk tawaran untuk bekerja di sejumlah lembaga seni di Melbourne.

Di tahun 2016, Rani memproduksi pertunjukan lainnya, berjudul Sedih // Sunno, yang artinya Sedih // Dengarkan, yang juga ditampilkan di sejumlah festival seni di kota-kota besar di Australia.

Ia menambahkan meski semakin munculnya kesadaran soal bagaimana ada dominasi kulit putih di panggung seni Australia, khususnya di tingkat manajerial, dirinya merasa komunitas seniman dari beragam budaya dan latar belakang telah membantu membukanya jalan menuju kesuksesan.

“Saya sangat bersyukur dengan seniman-seniman dan komunitas yang memprioritaskan kesempatan bagi orang-orang seperti saya di dunia yang biasanya didominasi kulit putih.”

Foto dari salah satu adegan dalam pertunjukan Rani berjudul Sedih // Sunno
Foto dari salah satu adegan dalam pertunjukan Rani berjudul Sedih // Sunno

Supplied: Rani Pramesti

Tahun 2018 akan menjadi tahun yang kembali bersinar bagi Rani. Untuk memperingati 20 tahun peristiwa kerusuhan Mei 1998, ia sedang menyiapkan sebuah adaptasi dari pertunjukan ‘Chinese Whispers’ ke dalam bentuk digital grafis.

“Tantangannya saat ini sebenarnya adalah masalah pendanaan untuk melanjutkan apa yang saya lakukan sebagai seniman independen.”

“Saat ini kita sedang menggelar crowdfunding untuk adaptasi Chinese Whispers, sehingga orang-orang bisa mendukungnya.”

Proyek besar lainnya adalah pertunjukan ‘Surat-surat’, sebuah cerita yang terinspirasi oleh ratusan surat cinta milik kakek-neneknya. Pertunjukan ini akan melibatkan seniman dari Australia, Indonesia, dan Singapura.

Kim Ho, Penulis Cerita Pertunjukkan

Kim Ho saat sedang berlatih untuk penamilannya berjudul 'Mirror's Edge'.
Kim Ho saat sedang berlatih untuk penamilannya berjudul 'Mirror's Edge'.

Supplied: Bede McKenna

Kim Ho lahir dan dibesarkan di keluarga lintas budaya di Wahroonga, Sydney. Ibunya keturunan Inggris, sementara ayahnya adalah warga Selandia Baru dengan keturunan Melayu-China.

Di tahun 2013, saat berusia 17 tahun, nama Kim mendunia setelah ia menulis pertunjukan pertamanya, ‘The Language of Love’ yang disutradarai Laura Scrivano dan mendapat komentar mulai dari aktor Inggris Stephen Fry hingga artis Australia Danni Minogue.

Meski ia menjadi terkenal di dunia internasional sejak usia muda, Kim pada awalnya meragukan dirinya sendiri karena identitas keturunan darahnya.

Kim belajar menulis dan pertunjukan di University of Melbourne dan menurutnya ia merasa kesulitan untuk menggembangkan karirnya sebagai seniman, bukan karena ia seniman Asia-Australia.

Skip YouTube Video

FireFox NVDA users – To access the following content, press ‘M’ to enter the iFrame.

Kim merasa masih ada tekanan-tekanan bagi penulis dari latar belakang lain untuk sesuai dengan harapan, dari etnis mereka.

Belum lama ini, ia pernah mendengar sebuah progam radio yang membahas kedatangan turis China membantu perekonomian kawasan pedalaman di negara bagian Victoria, lewat keindahan perairan dan langit di Lake Tyrrell.

Kim Ho, adalah penulis pertunjukan dan seniman berdarah China yang lahir di Sydney.
Kim Ho, adalah penulis pertunjukan dan seniman berdarah China yang lahir di Sydney.

Supplied: Bede McKenna

Pembahasan tersebut menarik perhatiannya. Ia kemudian menulis sebuah pertunjukan berdasarkan fenomena turis China, dengan judul ‘Mirror’s Edge’.

Dalam pertunjukkan tersebut, Kim berharap dapat menangkap sejumlah pesan: reaksi yang bertentangan soal kedatangan turis China, keindahan alami Australia, serta bagaimana kurangnya warga Australia untuk memahami sejarah sendiri soal diskriminasi ras.

Kim pada awalnya takjub dengan betapa kayanya sejarah Australia, khususnya setelah ia melihat kehidupan dan cerita-cerita migran dan orang-orang yang kisahnya tak pernah terdengar.

“Sejarah kita selalu benderang dan penuh warna,” ujar Kim.

Di tengah kekhawatirannya soal keragaman budaya yang terwakili di atas panggung Australia, Kim merasa beruntuk dalam beberapa tahun terakhir, karena perusahaan produksi pertunjukan dalam beberapa tahun terakhir terus memperluas cakrawala mereka dan fokus untuk membuat diversifikasi, termasuk untuk cerita mereka.

“Mata semua orang di Asia akan tertuju ke Australia dalam abad yang akan datang, dan saya percaya para seniman keturunan Asia akan mendapat tempat secara unik untuk memfasilitasi hubungan lintas budaya antara masa depan kita dengan negara tetangga.”

Skip YouTube Video

FireFox NVDA users – To access the following content, press ‘M’ to enter the iFrame.

Anda juga bisa menyimak artikel ini dalam bahasa Inggris disini.