ABC

Tantangan Cinta Pasangan Berbeda Budaya

Ada ungkapan mengatakan cinta sejati jalannya tidak pernah mulus. Di Hari Valentine ini, mari bertemu dengan pasangan yang berusaha keras menaklukan perbedaan budaya dan geografis hanya untuk membuktikan bahwa cinta benar-benar menaklukkan semua!

Bella Pham dan Jagraj

Bella and Jagra at their Indian wedding.
Bella dan Jagra di pernikahan cara India.

Supplied.

Bella Pham berasal dari Vietnam ketika pertama kali bertemu dengan suaminya yang berasal dari India di Kota Mildura, Victoria ketika mereka sama-sama bekerja di perkebunan anggur pada liburan musim panas.

Kami berdua berasal dari negara yang berbeda kebudayaan dan juga bahasa dari Australia. kami mengkonsumsi makanan yang berbeda  dan keyakinan agama kami juga berbeda,” tuturnya. 

“Kita tidak tahu banyak tentang kebudayaan satu sama lain sebelum kami bertemu. Kami tidak pernah mengira bagaimana menjalin hubungan dengan orang asing!”.

Sekarang ini, pasangan ini tinggal di Australia, dimana mereka umumnya biasa berbicara Bahasa Inggris satu sama lain, tapi mereka juga berusaha untuk belajar Bahasa Punjabi atau Bahasa Vietnam. 

“Kami juga berusaha untuk belajar memasak makanan tradisional satu sama lain bersama.

Kami meluangkan waktu tiga hari untuk makanan Vietnam, tiga hari makanan India dan satu hari kami pergi keluar mencicipi hal yang baru.

Bella mengatakan kalau keseimbangan dan  kompromi sangat penting dalan hubungan multi budaya.“Jika Anda jatuh cinta dengan seseorang yang berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda, awalnya akan selalu sulit tapi kemudian ketika kedua pihak bisa saling bersatu, itu akan menjadi pengalaman yang sempurna dalam hidup Anda,”

“Biarkan hatimu menunjukan jalannya,”

 Dewi dan Phil

Dewi and Phil at their Indonesian wedding.
Dewi dan Phil di pesta pernikahan mereka.

Supplied.

Dewi dan Phil bertemu di Bandara Melbourne pada tahun 2008. Dia berada di bandara untuk mengantarkan teman pulang ke Indonesia.

“Bagi saya, itu adalah cinta pada pandangan pertama, Dewi mengatakan. “Saya tahu dia adalah cinta saya, ketika kami saling berpandangan mata untuk pertama kalinya. Setelah pertemuan itu kami berkawan di Facebook dan sekitar satu tahun kemudian mengajak saya minum kopi dan kemudian cerita berlanjut,”

Meski Dewi warga Indonesia, Dia sudah tinggal di Australia dan memiliki status penduduk tetap (permanent residency) ketika bertemu dengan Phil. Dia mengaku status tersebut mempermudah hubungan mereka.

Kami tidak perlu melakukan hubungan jarak jauh seperti yang banyak dilalui orang untuk dapat bersatu,“katanya.

“Kami berpacaran selama 3 tahun sebelum akhirnya menikah dan kami memutuskan untuk memberi waktu untuk saling mengenal satu sama lain, untuk bisa menerima dan merangkul kepribadian unik dari diri kami masing-masing terlebih dahulu,”

Meski mereka tidak pernah memiliki masalah besar, Dewi mengatakan komunikasi dan selera humor yang baik selalu menjadi kunci hubungan mereka.

“Tertawa adalah hal yang positif dan itu menjaga hubungan kami tetap sehat,”

“Saya kira sejumlah tantangan dialami oleh orang tua saya yang tidak berbahasa Inggris. Mereka sangat ingin mengenal Phil tapi mereka tidak tahu bagaimana berkomunikasi dengan dia. Jadi saya menjadi penterjemah ketika Phill bertemu dengan mereka.”

Pasangan ini kemudia menggelar upacara pernikahan dua kali, satu di Melbourne dan satu di Indonesia agar masing-masing keluarga bisa menghadiri pernikahan mereka.

“Pernikahan di Indonesia sangat istimewa karena kami menghabiskan waktu lama di kota kecil di Jawa Barat dan pernikahan kami dihadiri oleh ribuan orang,” cerita Dewi. “Itu pesta pernikahan yang besar,”

“Kami ingin anak kami dapat menghormati dan memeluk kedua kebudayaan. Kebudayaan Indonesia merupakan bagian dari warisan leluhur mereka; dan menjadi bagian dari identitas mereka dan yang terpenting kami akan mengajarkan kepada anak kami kalau tidak masalah menjadi berbeda dan cinta tidak melihat perbedaan warna,”

Amy dan Jack

Amy and Jack with their children.
Amy dan Jack dengan anak-anak mereka.

Supplied.

Amy dan Jack sebelumnya hanya berteman sebelum kemudian menjalani hubungan asmara, dan perjalanan itu tidaklah mudah.

“Menikah dengan seseorang dari latar belakang budaya berbeda sangat sulit pada awalya.” kata Amy.

“Komunikasi jadi masalah paling berat.”

“Sampai sekarang saya masih menghadapi masalah kadang-kadang karena perbedaan budaya kami, khususnya sekarang setelah kami memiliki anak. Bahkan hal sederhana seperti makanan yang kami santap kami harus kompromi.”

Namun selain adanya berbagai tantangan tersebugt, Amy mengatakan dia banyak belajar dari Jack.

“Dia sebelumnya adalah pengungsi sebelum tiba di Australia, tidak pernah merasa menjadi warga satu negara karena latar belakang etnisnya.”

Jack berasal dari suku Karen, suku minoritas dari kawasan di perbatasan Thailand-Birma.

“Karena itu, dia selalu memiliki keinginan kuat untuk membantu mereka yang mengungsi. Karenanya kemudian mempengaruhi saya juga, dan kami kemudian berusaha membantu orang-orang di sekitar kami.”

Dia berharap bisa mewariskan nilai-nilai ini kepada anak-anak mereka.

"Harapan kami adalah anak-anak tumbuh dengan penguasaan dua bahasa. Tidak saja untuk berkomunikasi dengan keluarga dan teman-teman, namun juga agar bahasa itu tidak terlupakan." 

“Agama juga bagian penting dalam hidup kami. dan kami akan terus mengajarkan itu dalam kehidupan anak-anak kami. Selain itu, keprihatinan terbesar kami dalah agar anak-anak menghormati orang lain, tidak masalah seberapa besar perbedaan mereka.”

Pisey dan  Matthew

Pisey and Matthew at Angkor Wat.
Pisey dan Matthew di Angkor Wat.

Supplied.

Pisey adalah warga negara Kamboja dan dia mengaku tidak pernah berharap akan menjalin hubungan dengan pria yang berbeda kebudayaan – dia mengira akan terlalu sulit berhubungan dengan selain orang Kamboja.

Tapi kemudian dia bertemu dengan seorang pria warga Australia bernama Matthew.

“Saya percaya kalau semakin lama kami berpacaran, semakin banyak persamaan  yang tumbuh diantara kami berdua.”

“Saya mengira akan sulit untuk menyatukan perbedaan kami, seperti makanan, agama dan keyakinan. Tapi sulit dimengerti, semakin lama kami bersama, semakin banyak yang bisa kita saling menyesuaikan segalanya. Saya tidak keberatan pergi bermain footy sesekali bersamanya karena saya mencintai perbedaan. Kami juga terkadang menyantap makanan Kamboja pilihan saya.”

Hubungan kami sangat kuat karena kami rela saling berusaha atau mencoba.

“Misalnya, meskipun Matthew beragama Kristen, dia bersedia secara aktif terlibat dalam upacara keluarga Budha warga Kamboja untuk menghormati saya, orang tua dan keluarga besar Saya. Dia juga masih menggunakan tali merah di lengan yang merupakan symbol penerimaan dan restu dari bersatunya kami yang diberikan oleh orang tua dan kakek nenek saya ketika kami berada di Kamboja.”

Tapi masaih ada sejumlah tantanagan. “Kami punya masalah utama dalam mengucapkan nama akhir kami masing-masing,” katanya.

“Lucu juga, ternyata Matthew setelah dua tahun bersama masih belum juga bisa mengucapkan ‘Ngeth’. ‘Ng’ bukan bunyi yang umum didalam Bahasa Inggris.

Dia khawatir berbicara pada upacara pernikahan kami mendatang jika dia harus mengucapkan nama lengkap saya didepan ratusan tamu. 

“Dan saya juga selalu salah menyebutkan nama keluarga Mathew. “

Zachary dan Pilar

Zachary and Pilar on their travels.
Zachary dan Pilar ketika sedang berlibur.

Supplied.

Valentine’s Day memiliki arti khusus bagi Zachary dan Pilar, yang bertemu kebetulan lewat teman di Sydney 14 Februari 2015.

Pilar sedang berkunjung dari Kolombia, dan dia merasa langsung dekat dengan Zachary seorang psikolog asal Iran.

“Penilaian pertama saya soal Zach adalah bahwa dia menarik dan modis, dan juga gentleman. Dia tahu persis bagaimana membuat percakapan jadi enak.” kata Pilar.

Zachary merasakan hal yang sama, dan mereka menemukan kesamaan pandangan soal keluarga, Tuhan dan karir.

Pilar membuat keputusan sulit untuk berpisah dari keluarganya di Kolombia dan tinggal di Australia secara permanen bersama Zachary.

Tidak semuanya kemudian menjadi mudah dalam hubungan mereka, dengan perbedaan dalam penguasaan bahasa kadang menjadi sumber pertengkaran.

“Kadang perbedaan ini bisa menimbulkan salah pengertian, dan situasi kikuk. Ini hal yang tidak ada pemenang dan yang kalah. Sesuatu yang harus kami terima seperti apa adanya.” kata Pilar.

“Ini lebih berkenaan dengan keterbatasan bahasa termasuk perbedaan gerak tubuh.” kata Zachary.

"Kami berkomunikasi dalam bahasa Inggris, meski saya mulai bisa beberapa kata Spanyol dan Pilar belajar sedikit bahasa Persia. "

Pasangan ini merayakan dua tahun perjumpaan mereka tahun ini dengan menyantap makanan dari Persia, Kolombia dan Thailand, yang diakhiri dengan anggur dari Australia.

Candice dan Gideon

Candice and Gideon at their African wedding ceremony.
Candice dan Gideon dalam upaya pernikahan cara Afrika.

Supplied.

Candice bertemu dengan Gideon ketika dia mulai menghadiri acara di sebuah gereja. Dia tengah menjadi relawan di Afrika ketika itu, dan dia mendengar cerita mengenai Gideon dari temannya yang juga menyarankan mereka harus bertemu.”

“Teman saya menjadi satu-satunya orang yang mengira kami akan menjadi pasangan yang hebat dan kasihan sekali Gideon harus mendengarkan cerita-cerita mengenai saya, Candice yang gila!,” tuturnya.

“Jadi ketika saya kembali dari Afrika,  teman satu rumah saya mengundang Gideon dan semua berawal dari pertemuan itu.” 

Gideon adalah anggota dari Suku Nuer di Sudan Selatan dan Ethiopia, dan sudah tinggal di Australia selama 12 tahun.

“Saya kira itu juga yang membuat hubungan kami jauh lebih mudah,” kata Candice. “tapi saya masih berusaha untuk mempelajari bahasa sukunya,”

"Sebelum Gideon dan Saya menikah, kami sempat berbicara banyak mengenai perbedaan kebudayaan kamu dan keluarga seperti apa yang kami inginkan,” 

Saya kira itu menjadi hal yang penting dalam hubungan apapun, dan khususnya bagi pasangan yang berbeda latar belakang budaya.”

Mereka melakukan dua kali perayaan pernikahan, satu pernikahaan untuk menghormati latar belakang masing-masing.

“Pernikahan tradisional Suku Nuer meliputi pertukaran mas kawin dan kami mendapat restu dari keluarga yang mau belajar dan menghormati budaya yang berbeda, “kata Candice. 

“Saya diberi mas kawain senilai 32 ekor sapi, cukup baik, meskipun jika ayah ingin meminta lebih, dia mungkin akan mendapat lebih banyak mas kawin.”

Tony dan Yuni

Tony and his family dressed for the Australia Day cultural parade.
Tony dan keluarganya ikut dalam parade budaya Australia Day di Adelaide.

Supplied.

Tony Becker dari Adelaide, Australia Selatan bertemu dengan isterinya Yuni melalui teman ketika berkunjung ke Indonesia pada tahun 2003.

“Saya jatuh cinta dengan Indonesia dan seorang warga Indonesia yang kemudian menjadi isteri saya selama 12 tahun terakhir,” tuturnya.

“Awal kami bertemua banyak sekali tantangan kebudayaan yang dihadapi karena berasal dari negara yang berbeda.” 

"Saya tidak bisa berbahasa Indonesia dan isteri saya juga baru saja belajar Bahasa Inggris. Tapi karena saya langsung jatuh cinta kepadanya maka saya segera membeli buku kamus/frasa dan segera belajar Bahasa Indoensia,” katanya.

Yuni pindah ke Australia tahun 2006 dan keduanya sekarang sudah fasih masing-masing bahasa dan keduanya juga aktif dikomunitas masyarakat Indonesia di Adelaide. 

Tony mengatakan penting bagi mereka untuk mengajarkan anak mereka Michael, 11, dan Aaron,9, mengenai kebudayaan dan tradisi Indonesia.

“Salah satu cara utama mengajarkan tradisi dan kebudayaan itu adalah melalui masakan  isteri saya, sekarang kedua anak saya suka pedas!,” katanya.

“Kami juga mengajarkan mereka mengenai orang Indonesia dan sebagai keluarga kami melakukan puasa Ramadhan dan juga merayakan Idul Fitri setiap tahun,”

*Artikel ini sudah diperbaiki dari artikel yang pertama kali diterbitkan oleh ABC Australia Plus di tahun 2016