ABC

Tak Berdayanya Pekerja Asing di Australia

Kim Toonders sebenarnya menyadari bahwa dia ditipu saat bekerja di perkebunan stroberi di Queensland, Australia, namun dia pikir tak ada yang bisa dilakukannya.

“Saya tahu bahwa kondisinya sangat menyedihkan dan kami benar-benar dibayar murah tapi saya memerlukan visa,” ucapnya.

Kim mencoba memulai hidup baru di Australia setelah pindah dari Kanada dan perlu melaksanakan kerja wajib tiga bulan di pedalaman Australia sebagai persyaratan visanya.

Dia siap untuk bekerja namun tidak siap dengan kondisinya. Terutama masalah gaji.

“Ada hari-hari dimana kita bekerja delapan jam dan kita bisa pulang hanya dibayar $ 50,” katanya.

Teman-teman Kim juga mengalami eksploitasi.

“Mereka tinggal di akomodasi backpacker dengan membayar $ 150 sewa per minggu dan setelah bekerja satu minggu mereka hanya menghasilkan $ 70,” katanya.

“Tapi jika Anda melakukannya demi visa, Anda memerlukan visa itu,” tambahnya kepada Radio Triple J ABC.

Krisis pencurian upah

Kisah Kim biasa terjadi di kalangan mahasiswa dan backpacker internasional di Australia.

Satu dari tiga orang dibayar setengah dari upah minimum legal di Australia, demikian menurut penelitian Universitas New South Wales (UNSW) dan University of Technology Sydney (UTS).

Para peneliti mensurvei lebih dari 4.000 orang yang telah bekerja di Australia dengan visa sementara.

Meskipun kisah mengerikan dari pekerja bukanlah hal baru, namun penelitian ini mengungkapkan terjadinya tingkat pencurian upah di seluruh wilayah.

Pengajar hukum di UTS, Dr Laurie Berg, yang menulis laporan penelitian ini menjelaskan untuk pertama kalinya pencurian upah tidak terbatas pada kewarganegaraan atau wilayah kerja tertentu.

“Sebenarnya ada kelas pekerja sementara yang tidak terlihat di negara ini dan mereka terdiri dari mahasiswa internasional dan backpacker yang dibayar jauh di bawah upah minimum,” katanya.

Backpackers filling fruit harvest gap
Seorang pekerja di pengepakan buah di Mourquong, New South Wales.

Clint Jasper

“Mayoritas di antaranya percaya bahwa orang lain dengan visa yang sama juga berpenghasilan kurang dari upah minimum sehingga mereka tidak melihat peluang untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji lebih baik,” kata Dr Berg.

Tak berdaya

Penelitian tersebut mengungkapkan seperempat dari semua mahasiswa internasional yang bekerja dibayar hanya $ 12 per jam atau kurang. Selain itu, mahasiswa pekerja dari negara Asia dibayar lebih rendah daripada mahasiswa asal Amerika, Irlandia dan Inggris.

Pekerjaan di sektor pertanian adalah industri dengan upah terburuk sebab sepertiga dari pemetik buah dan sayuran berpenghasilan hanya $ 10 per jam atau kurang.

“Mereka merasa tidak boleh mengeluh karena akan kehilangan pekerjaan dan mereka tidak dapat menemukan yang lebih baik,” katanya.

91 responden mengatakan bahwa paspor mereka ditahan oleh majikan, sementara lebih dari 100 orang mengatakan bahwa mereka diminta untuk membayar kembali setelah menerima upah mereka.

Selalu menerima pekerjaan ini

Dr Berg mengatakan bahwa pencurian upah seperti ini jelas bersifat endemik dialami pemegang visa sementara dan perlu segera diatasi.

“Setiap orang pada suatu waktu menikmati makanan atau pelayanan yang melibatkan mahasiswa internasional yang dibayar sangat murah,” katanya.

“Entah itu di kafe, supermarket lokal atau saat Anda mengisi bahan bakar mobil,” katanya.

“Ini melanggar hak mereka menurut hukum Australia. (Padahal) tingkat upah minimum federal berlaku untuk semua orang yang bekerja di Australia,” tambahnya.

Kim Toonders sendiri mengatakan pekerjaan memetik stroberi di Queensland telah menodai pengalamannya di Australia. Dia tidak melihat bahwa situasi pekerja asing akan membaik dalam waktu dekat.

“Orang akan selalu menerima pekerjaan ini karena mereka membutuhkan visa. Selama ada orang yang bersedia melakukan pekerjaan dengan bayaran murah, akan selalu ada pula orang yang memanfaatkannya,” tuturnya.

Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.