‘Susah Hidup Sebagai LGBT di Indonesia’: WNI yang Minta Perlindungan di Australia
Dhytia Surya yang kini berada di Melbourne, Australia, mengetahui orientasi seksualnya sebagai seorang lesbian tidak diterima di Indonesia.
Karenanya, hampir tiga tahun yang lalu, ia mengajukan Protection visa subclass 866 yang diperuntukkan bagi “orang yang sudah sampai di Australia dan mau mencari suaka”.
Ada sejumlah alasan untuk bisa mengajukan visa perlindungan di Australia, termasuk apabila pendaftar merasa takut dianiaya karena memiliki orientasi seksual yang tidak bisa diubah.
Itulah alasan yang dipakai Dhytia.
“Di negara saya [LGBT] tidak legal.”
Dhytia pertama kali mendengar visa perlindungan dari seorang teman yang pernah bekerja di Australia.
Kurang lebih satu bulan setelah mengajukan, ia mendapatkan ‘bridging visa’, yang menjadi izin tinggalnya hingga saat ini.
Satu setengah tahun kemudian, ia memenuhi permintaan pengadilan untuk menindaklanjuti pengajuan visanya, termasuk membuktikan klaim yang diajukannya.
“Saya dapat panggilan [dari pengadilan] karena ada banyak yang pakai alasan pura-pura,” kata Dhytia kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
“Dicek sama dokter apakah saya benar LGBT. Dan saya cuma bilang ‘lihat saja dari penampilan saya, laki begini’.”
Seiring berjalannya waktu, Dhytia melihat semakin banyaknya warga Indonesia di Australia mengajukan visa yang sama, namun dengan alasan yang berbeda.
Menurutnya, banyak juga di antara mereka yang diberi pilihan untuk mendaftar ‘Protection Visa’ oleh agen imigrasi, tapi tidak mengerti apa-apa.
“Banyak yang dibohongi kata-kata [alasan]nya,” kata Dhytia.
Penelusuran ABC Indonesia dari situs Departemen Dalam Negeri Australia menemukan dari November tahun lalu hingga Juni tahun ini, terdapat 505 pengajuan Protection visa dari Warga Negara Indonesia (WNI) sendiri.
Jumlah ini lebih banyak dibandingkan pengajuan dari WNI di masa anggaran Australia tahun 2018/2019, di mana terdapat 149 pengajuan, dan tahun 2017/2018 dengan 294 pengajuan.
Penolakan visa Protection visa meningkat tahun ini
Beni*, warga Indonesia di Australia, sempat terkejut ketika mendapat kabar jika pengajuan visa perlindungannya ditolak dan hanya diberikan waktu 35 hari untuk meninggalkan Australia.
Penolakan itu terjadi setelah ia mengirimkan bukti alasan pengajuan visanya, yaitu kekhawatiran atas ancaman pembunuhan oleh anggota keluarganya.
“Tapi saya sudah resubmit ke Tribunal dan mereka minta ke Imigrasi agar kasusnya diproses lagi … sekarang bridging visa saya sudah tidak ada expiry date nya lagi.”
Di balik alasan pengajuan tersebut, Beni sebenarnya juga memiliki alasan lain, yaitu demi “mendapatkan full work rights” atau hak kerja penuh di Australia.
Bila diterima, ia akan mendapatkan beberapa hak, yang salah satunya adalah untuk “hidup, bekerja, dan belajar secara permanen di Australia”.
Namun, berbeda dengan Dhytia yang mencari perlindungan karena identitas seksualnya tidak diakui di Indonesia, Beni sadar jika ia sebenarnya tidak memerlukan perlindungan yang sama.
“Karena kalau mau cari perlindungan, negara kita tidak kacau-kacau amat kan? Tidak harus meninggalkan Indonesia sebenarnya, bukan itu alasan utamanya,” kata Beni.
Sejak mendapatkan bridging visa pertengahan tahun lalu, Beni sudah menggunakan kesempatan kerja yang ada di Australia semaksimal mungkin.
Dari penelusuran ABC Indonesia, jumlah penolakan pengajuan Protection visa di Australia tahun ini lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.
Terdapat 46.356 penolakan secara umum menurut catatan bulan Desember 2019, sementara hingga bulan September tahun ini, sudah terdapat 53.142 pengajuan Protection visa yang ditolak dan akan dideportasi.
Departemen Dalam Negeri Australia tidak menjawab pertanyaan ABC Indonesia tentang alasan meningkatnya penolakan Protection visa tahun ini.
Sanksi di balik penggunaan informasi palsu
Menurut Beni, banyak warga Indonesia yang menggunakan alasan tidak benar ketika mengirim aplikasi visa tersebut.
“Rata-rata mereka memakai alasan bencana alam lah, atau minoritas,” katanya.
Sementara di dalam formulir aplikasi, Departemen Dalam Negeri Australia telah memperingatkan sanksi di balik penggunaan informasi palsu.
“Memberikan informasi menyesatkan adalah pelanggaran serius,” bunyi pernyataan departemen tersebut.
Dhytia yang menggunakan alasan apa adanya ketika mengajukan Protection visa tersebut menyayangkan tindakan warga Indonesia yang seringkali tidak tahu-menahu esensi dari visa yang mereka ajukan.
“Pengetahuan mereka kurang, tidak mempelajari terlebih dahulu. Yang penting kerja.”
Dhytia mengatakan akan tetap mempertahankan keberadaannya di Australia sebagai negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis.
“[Seandainya ditolak] saya akan mengajukan banding,” kata Dhytia.
*Beni bukan adalah nama sebenarnya dan merupakan narasumber yang telah berbicara kepada ABC Indonesia untuk membagikan pengalamannya ditolak saat mengajukan visa perlindungan
Ikuti perkembangan pandemi Australia dan komunitas Indonesia lainnya di ABC Indonesia.