ABC

Sukron Ma’mun Mengagumi Sejarah Islam Indonesia

Sukron Ma’mun, pengajar Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri  (STAIN) Salatiga di Jawa Tengah, dibesarkan di keluarga pesantren, namun waktu muda justru lebih tertarik pada sejarah. Saat akhirnya mendalami Islam pun, prosesnya kental akan elemen sejarah dan sosial budaya.

Salah satu partisipan program Australia-Indonesia Young Muslim Leaders Exchange 2014, atau Pertukaran Pemimpin Muslim Muda Australia-Indonesia ini setuju dengan pendapat Presiden pertama Indonesia, Soekarno, “jangan sekali-kali melupakan sejarah.”

“Saya lebih suka memahami perkembangan Islam dalam sudut pandang sejarah. Mungkin saya lebih bisa memahami mengapa Islam seperti itu karena berangkat dari sejarah yang seperti itu dan berbenturan dengan persoalan sosial kebudayaan, dan sebagainya,” jelas Sukron.

Saat ini, menurut pemimpin redaksi media mingguan ASWAJA NU di Salatiga tersebut, banyak anak muda di Indonesia tidak tertarik pada sejarah, termasuk sejarah Islam di Indonesia, padahal Islam yang khas Indonesia memiliki banyak sisi baik yang bisa dipetik.  

“Kita tak pernah menengok atau mengambil teladan dari sejarah yang kita miliki. Peradaban Islam yang pernah kita miliki. Bagaimana itu kemudian pernah jaya, pernah mengalami masa-masa yang baik .. sehingga kita kemudian kita mencoba mengkopi dari berbagai macam kebudayaan yang lain,” ucapnya.

Sukron yang pernah menimba ilmu sosiologi dan sejarah di Universitas Islam Negara, Jakarta, dan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta saat ini selain mengajar sejarah klasik Islam juga  mengetuai program studi baru tentang sejarah kebudayaan Islam, dimana Ia bisa berfokus pada sejarah Islam di Indonesia yang tampaknya dia kagumi.

Bahkan, menurutnya, sejarah Islam di Australia pun melibatkan umat Islam dari Indonesia. “Sejauh buku yang saya baca, Islam di sini berasal dari indonesia meskipun dari negara lain juga. Tapi kita sedikit bangga bahwa islam yang dari indonesia itu berbeda dari tempat-tempat lain.”

Pengetahuan tentang peran Islam dari Indonesia di Australia tersebut merupakan salah satu alasan dia mengikuti program Australia-Indonesia Young Muslim Leaders Exchange.

Namun, Ia juga ingin memperkaya pengetahuannya tentang berbagai hal lain, seperti pluralisme, kehidupan umat Islam di Australia, dan, sebaliknya, Sukron juga ingin menjelaskan tentang umat Islam Indonesia ke masyarakat Australia.

Sukron mengaku cukup terkejut melihat bagaimana masyarakat Australia cukup sekuler dan tidak terlalu peduli pada agama. Selain itu, dia tak menduga saat berkunjung ke salah satu sekolah, ada siswa kelas 12 yang bertanya masalah teroris.

“Kita menyampaikan bahwa itu bukan ajaran Islam. Itu sesuatu yang common [umum] menjadi dugaan orang-orang asing, tapi yang membikin kita takjub, mereka tanya tentang itu meskipun di bangku sekolah,” ceritanya.

Di sisi lain, Sukron bercerita bahwa Ia bisa melihat dari pertemuan-pertemuan dengan berbagai kelompok, seperti Kelompok Asosiasi Yahudi, Muslim dan Kristen, bahwa sebenarnya banyak orang Australia yang ingin memahami Islam.

“Mereka ingin tahu Islam sebagai agama- apa yang kita lakukan, bagaimana ajaran kita. bagaimana Al Quran atau ajaran-ajaran Islam membimbing untuk hidup, kemudian bertanya tentang Islam di Indonesia,” ucap Sukron.

Dengan memberi penjelasan ke kelompok-kelompok tersebut, dia berharap agar masyarakat Australia tidak menganggap Islam di Indonesia tidak menghargai keberagaman.

Sukron juga ingin membawa ‘oleh-oleh’ dari Australia ke masyarakat Indonesia, terutama mahasiswa dan orang-orang di lingkungannya, yaitu pengetahuan bahwa ada kehidupan beragama yang saling  menghormati di Australia.

Selain itu, tentu saja dia ingin membawa pengetahuan sejarah Islam, sesuai dengan minatnya.