ABC

Suka Duka Peserta Beasiswa Dikti Taufiq Amir di Perth

Pengiriman uang yang terlambat, jumlah yang tak sesuai, terhambatnya komunikasi, semua pernah dilalui M. Taufiq Amir sebagai penerima beasiswa Dikti. Ia merasakan betul perjuangan mahasiswa yang menggantungkan hidup pada dana beasiswa. Namun Taufiq berusaha menyikapi hal ini dari segi positif.

Taufiq tiba di kota Perth, Australia, pada tahun 2009, untuk menempuh pendidikan jenjang S3 di bidang manajemen pada ‘Edith Cowan University’. 

Ia tergolong penerima beasiswa Dikti (Pendidikan Tinggi) angkatan awal, yang kala itu ramai-ramai memburu gelar doktoral di luar negeri karena terdorong target pemerintah untuk mengirim 1000 dosen per tahun.

“Saya itu angkatan ketiga, Dikti itu mulai tahun 2008, tapi waktu itu satu tahun ada dua angkatan saking banyaknya peminat. Saya berangkat 2009 bulan Juli, dan ada sekitar 800an orang di angkatan saya kalau tidak salah,” tuturnya kepada Nurina Savitri dari ABC Internasional.

Taufiq Amir di depan kampus 'Mount Lawley', Edith Cowan University. (Foto: Taufiq Amir)

Taufiq bekerja sebagai staf pengajar atau dosen di Universitas Bakrie, Jakarta. Walau mendapat beasiswa Dikti, ia berangkat ke Australia dengan berbekal pinjaman awal dari kampus asalnya tersebut.

“Juli saya harus berangkat karena ada orientasi, tapi sampai saya berangkat belum juga ada apa-apa. Saya memang diberi guarantee letter, yang menyatakan bahwa saya penerima beasiswa dan ini pasti – dan saya kira ini masih dipakai sampai sekarang. Jadi waktu saya berangkat ya saya dipinjamin kampus sini” ungkapnya.

Ia lantas menuturkan, uang semester pertamanya itu akhirnya baru ia terima 3-4 bulan setelah kedatangannya ke Perth.

“Karena memang ini kan hal yang baru dan orang-orang yang mengurus belum berpengalaman, jadi saya berusaha mengerti, meski tetap heran karena setahu saya ada tim utama yang sudah ahli. Tim ini terdiri dari dosen-dosen yang pernah sekolah di luar negeri, jadi seharusnya mereka tahu persis bagaimana susahnya mahasiswa di luar negeri,” tuturnya.

Tak hanya soal keterlambatan pengiriman uang beasiswa, Taufiq juga menyebut sejumlah permasalahan lain yang ia alami selama studi di Australia.

“Mulai soal tanggal transfer, soal jumlahnya, itu kadang-kadang ada yang tidak sesuai, kalau telat itu sudah pasti, karena prosesnya lama, apalagi kalau kampus asalnya swasta seperti saya,” jelasnya.

Taufiq berada di tengah-tengah taman kota Perth. (Foto: Taufiq Amir)

Taufiq kemudian berusaha memaklumi bagaimana keterlambatan itu bisa bermula dan masih terjadi pada semester-semester berikutnya.

“Seperti saya dari Bakrie, semua urusan dimulai dari Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta). Kalau negeri kan dari kampusnya sendiri. Seperti misalnya untuk pencairan tahun berikutnya, itu harus ada laporan dulu, kita harus memastikan itu semua masuk ke Kopertis, masuk ke kampus kita, masuk ke DIKTI, dan kita mesti memastikan orang kampus kita mengecek, dan bahkan kita harus terima tanda terima untuk memastikan itu semua,” rincinya.

Karena itu, menurut Taufiq, hal yang sangat membantu apabila unit-unit terkait yang ada di kampus asal sangat mendukung staf akademisi yang tengah belajar di luar negeri. Bukan tidak mungkin, untuk mencairkan dana beasiswa di tahun berikutnya, mahasiswa yang merasa telah melengkapi dokumen laporan-pun bisa masuk ke kategori ‘tak lengkap’.

Ia menuturkan, dari 6 syarat yang diajukan dan berusaha dipenuhi oleh sekian banyak mahasiswa Indonesia di seluruh dunia, selalu tertera pemberitahuan mahasiswa mana yang sudah lolos berkas admin dan karenanya berhak mendapat pencairan, dan mana yang masih belum lengkap dokumen pendukungnya.

Kasus yang sering terjadi, menurut Taufiq – dan yang pernah ia alami sendiri, tiba-tiba namanya atau nama mahasiswa itu muncul di kategori ‘tak lengkap’ padahal mereka sudah sangat berhati-hati.

“Padahal teman saya sudah cek di Dikti, dan ketika hal itu terjadi, kita tidak bisa komunikasi. Seinget saya dulu mereka belum ada fasilitas ‘upload’ online, itu baru ada 2011. Akhirnya waktu itu saya kirim email ke alamat-alamat yang saya punya, ke Kopertis, ke Dikti, intinya memastikan bagaimana nasib dokumen saya dan apa yang saya harus lakukan,” ceritanya.

Ia meneruskan, “Kebayang nggak kita di sana waktu hal itu terjadi, ya cemas lah, soal living cost dan yang paling memberatkan ya soal tuition fee, tapi kalau kita didukung kampus asal, mereka bisa kirim surat yang menyatakan kalau kita ada sponsor.”

Taufiq tak membantah, keadaan bisa menjadi rumit manakala mahasiswa penerima beasiswa mendaftar di kampus tempat studi atas nama pribadi.

“Masalahnya ada juga teman-teman yang datang dan mendaftar di kampus sana sebagai pribadi, bukan atas sponsor, akhirnya kalau hal seperti itu terjadi kampus sana minta jaminan,” utaranya.

Selama 3,5 tahun menempuh pendidikan doktoral di Perth, Taufiq merasakan betul perjuangan seorang mahasiswa yang menggantungkan hidup pada dana beasiswa.

Tapi ia mengaku sangat bersyukur dengan dukungan kampus asal yang diterimanya. Ia mengaku, tiap kali ada keterlambatan dari pihak Dikti, kampus asalnya selalu pasang badan.

“Saya praktis nggak mengalami kepusingan yang luar biasa, seperti yang dialami teman-teman, tapi ya memang pencairan beasiswa bergeser 3-4 bulan, begitu pula di tahun-tahun berikutnya” sebutnya kepada ABC.

Ia pun menambahkan, “Menurut saya, kampus asal harusnya merasa aman untuk mendukung tiap mahasiswanya yang mendapat beasiswa Dikti dengan adanya guarantee letter yang diberikan, kan itu ditanggung negara.”

Belum lagi, menurut Taufiq, peluang bekerja sampingan di Australia cukup besar.

“Apalagi kalau soal living cost, seharusnya tidak menjadi masalah, karena mahasiswa di sana bisa bekerja. Kalau doktoral bisa sampai 40 jam per minggu seingat saya. Itu setidaknya bisa menutup sementara,” jelasnya.

Ketika ditanya apakah ia pernah diminta menandatangani cek kosong seperti yang santer diberitakan, Taufiq pun menjawabnya dengan gelengan kepala.

“Kalau itu pernah terjadi, mungkin pada waktu mahasiswa hendak kembali ke tanah air dan meminta jatah tiket pulang, tapi saya sendiri tidak pernah mengalami seperti itu,” ungkapnya.