ABC

Sudah Tinggal Setengah Abad Lebih di Australia Tapi Tetap Pegang Paspor RI

Di saat banyak orang ingin pindah kewarganegaraan tanpa banyak pertimbangan, ada pula yang memilih mempertahankan kewarganegaraannya meski sudah bertahun-tahun tinggal di luar negaranya.

Di Australia, ada sejumlah warga asal Indonesia yang sudah menetap puluhan tahun dan tetap bangga berkewarganegaraan Indonesia.

Salah satunya adalah Tiur Ratu boru Munthe, yang sudah tinggal di Sydney sejak tahun 1974 sebelum menetap di tahun 1981.

Kepada Sastra Wijaya dari ABC Indonesia, ibu dari dua anak dan nenek dari lima orang cucu ini tetap memegang paspor Indonesia.

Tiur yang bersuamikan pria keturunan Tionghoa mengatakan kecintaannya kepada Indonesia masih tetap mendalam, walau alasan kepindahannya ke Australia karena kondisi di Indonesia saat itu.

“Jadi untuk masa depan anak-anak ke depan agar bebas dari tekanan kami pindah,” tambah perempuan berdarah Tapanuli itu.

Tahun ini adalah tahun ke-46 Tiur Munthe dan keluarganya tinggal di Sydney.

“Setelah tiba di tahun 1974 kami sempat pulang pergi dan sesudah tahun 1981, karena anak-anak sudah mesti sekolah, kami menetap dan hanya pulang ke Indonesia untuk berlibur,” ujar perempuan berusia 69 tahun tersebut.

Alasan tak melepaskan kewarganegaraan Indonesia

Baik Tiur maupun keluarganya yang masih memegang paspor Indonesia mengaku tidak pernah mengalami masalah dalam urusan perpanjangan paspor.

“Saya tidak pernah bermasalah dengan KJRI Sydney, apalagi 12 tahun belakangan ini staf-staf KJRI dan Konjennya merakyat,” kata Tiur yang juga adalah ketua perkumpulan warga Batak Bonapasogit di Sydney.

Salah satu alasan warga Indonesia pindah warga negara biasanya agar memudahkan perjalanan ke negara lain, tapi Tiur merasa tak ada kendala dengan tetap memegang paspor Indonesia.

“Untuk mengurus perjalanan ke negara lain kami tidak mengalami masalah, karena semua syarat yang diminta sudah disiapkan. Jadi walau paspornya Indonesia, tapi karena kami sudah berstatus permanent resident (penduduk tetap) Australia, ini juga banyak menolong.” kata Tiur.

Alasan lain keluarga Tiur mempertahankan paspor Indonesia adalah karena mereka masih memiliki properti di Indonesia.

Meskipun telah hampir lima dasawarsa tinggal di Australia, Tiur mengaku masih terus berkontribusi bagi Indonesia dengan caranya sendiri.

Perempuan yang juga aktif dalam kegiatan masyarakat Indonesia di Sydney ini mengatakan ia sedang fokus mencari dana bagi pembangunan sekolah di lembah gunung di karekan Nduku di Sumba Barat.

Kebanggaan diri sebagai orang Indonesia

Pra Kromodimoeljo bersama istri Lorraine Rae dalam salah satu kunjungan ke Indonesia.
Pra Kromodimoeljo bersama istri Lorraine Rae dalam salah satu kunjungan ke Indonesia.

Foto: Sotya Dewati

Pra Kromodimoeljo sudah enam puluh tahun tinggal di Australia, lebih lama daripada Tiur.

Pria yang bermukim di Melbourne ini tiba sebagai mahasiswa saat ia berusia 17 tahun pada tahun 1960 untuk menempuh pendidikan di RMIT Melbourne, sampai akhirnya menikah dengan warga Australia Lorraine Rae di tahun 1965 dan menetap di Australia.

Sepanjang hidupnya di Australia, Pra sempat berpikir untuk pindah kewarganegaraan, ketika Australia memberlakukan kebijakan White Australia Policy, dimana Australia hanya menerima imigran kulit putih dari Eropa di tahun 1970-an.

Namun, setelah mempertimbangkan latar belakang pengalaman diri dan keluarganya, dia memutuskan tetap menjadi WNI.

Ia malah merasa memiliki keuntungan sebagai orang Indonesia karena melihat perkembangan ekonomi Indonesia sebagai negara terbesar keempat di dunia.

Pra yang sebelumnya belajar Metalurgi di RMIT dan kemudian bekerja di Lab Metalurgi di salah satu perusahaan Australia Caterpillar mengatakan masih terus memiliki hubungan erat dengan Indonesia.

“Rata-rata selama 60 tahun ini, saya dan istri saya mengunjungi Indonesia setiap dua tahun sekali,” kata pria kelahiran tahun 1942 ini.

Mereka juga pernah ke Indonesia di tahun 1968 untuk menjajaki kemungkinan menetap di sana, namun melihat situasi dalam negeri di awal Orde Baru saat itu, Pra akhirnya memutuskan untuk kembali dan menetap di Melbourne.

Subagio masih aktif bekerja di usia 88 tahun

Tomik Subagio bekerja sebagai penerjemah bahasa Indonesia-Inggris dan sebaliknya di Adelaide untuk urusan pengadilan maupun di tempat lain.
Tomik Subagio bekerja sebagai penerjemah bahasa Indonesia-Inggris dan sebaliknya di Adelaide untuk urusan pengadilan maupun di tempat lain.

Foto: Supplied

Tomik Subagio yang berusia 88 tahun sudah lebih lama lagi tinggal di Australia dan masih memegang paspor Indonesia.

Pria yang kini bermukim di Adelaide, Australia Selatan, pertama kali menjejakkan kaki di Australia pada tahun 1955.

Ia pertama kali datang untuk belajar di bidang teknik di Adelaide University selama tahun 1955 sampai 1963, lalu melanjutkan karirnya sebagai insinyur mesin.

Kesempatannya belajar ke Adelaide menurut Tomik tak lepas karena kemerdekaan Indonesia dan jasa para pahlawannya.

“Sebelum berangkat ke Australia, di Istana Merdeka Jakarta, kami disalami oleh Presiden Sukarno (Bung Karno), beliau mengucapkan selamat dan mengharapkan kami kembali ke Indonesia dengan dua tangan kanan,” cerita Tomik.

Setelah menyelesaikan sekolah di tahun 1963, ia sempat pulang ke Indonesia namun kemudian kembali ke Adelaide untuk menetap sejak tahun 1968.

Sekembalinya ke Adelaide, Subagio bekerja di Departemen Teknik dan Pasokan Air (Department of Engineering and Water Supply) sampai pensiun tahun pada 1992.

Ketika bekerja, Subagio menciptakan sebuah katup kupu-kupu (butterfly valve) untuk mengatur aliran air dan menjadikannya salah seorang pegawai yang memiliki hak paten katup kupu-kupu tersebut.

Setelah pensiun, Tomik tetap aktif bekerja sebagai penerjemah bahasa Inggris-Indonesia dan sebaliknya.

Tomik sering bertugas di pengadilan ataupun di rumah sakit yang memerlukan penerjemah bahasa.

Tomik mengaku sama sekali tidak pernah mempertimbangkan untuk pindah kewarganegaraa meski dia menikahi seorang perempuan Australia.

“Saya merasa berutang budi kepada para pejuang kemerdekaan Indonesia termasuk paman-paman dan kakak saya sendiri,” ujarnya.

Dalam kontak dengan ABC Indonesia hari Rabu, Tomik mengatakan ia berstatus ‘stateless’, atau tidak memiliki warga negara, karena paspornya kedaluwarsa sejak tiga tahun yang lalu.

Sementara untuk memperpanjang paspor, Tomik merasa mengalami beberapa kendala dengan pihak KJRI Sydney yang membawahi Australia Selatan.

Namun setelah ABC Indonesia mengonfirmasikan hal ini kepada KJRI Sydney, beberapa jam kemudian masalah Tomik terpecahkan.

“Wita dari KJRI akan menyelesaikan masalah paspor saya,” kata Tomik Subagio.

“Hari ini, Eni Mosel [dari komunitas Indopeduli Adelaide] akan membantu saya mengirimkan paspor yang sudah kedaluwarsa sejak tahun 2017 ke KBRI Sydney,” ujarnya.