Sudah 30 Tahun Dapur Ini Beri Makan Gelandangan Kota Sydney
Tepat Pukul 10:00 pagi, di sebuah ruang dapur kecil di daerah Kings Cross, Sydney, puluhan voluntir dengan apron di badan dan bahan makanan sumbangan dermawan, mulai sibuk menyiapkan makan siang bagi 130 orang.
Bukan pekerjaan ringan. Namun bagi para voluntir di dapur St Canice’s Kitchen yang sudah 30 tahun beroperasi, resepnya tak asing lagi.
“Saya tidak menyangka ada tempat seperti ini,” ujar Michael Coleman, gelandangan yang tengah menyantap ayam panggang, nasi goreng, ham dan salada. Dia juga mendapatkan kue sebagai makanan penutup.
“Makanan yang mereka sajikan kira-kira berharga $ 20 atau $ 30 jika Anda beli di restoran,” ujarnya.
“Saya sangat senang karena mereka melakukan semua ini,” tambah Micahel.
Meskipun terikat dengan Gereja Katolik St Canice, namun dapur ini terbuka bagi kaum gelandangan dari latar belakang agama apa pun.
Tujuh hari seminggu para voluntir yang terdiri atas pensiunan dokter, petani dan jamaah gereja, menyiapkan makan siang antara Pukul 11:00 siang hingga 12:30 malam.
“Kami berharap dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat,” ujar Suster Sheelah Mary, yang sudah jadi voluntir selama 18 tahun.
“Jumlahnya semakin bertambah. Jumlah wanita sekarang lebih banyak daripada biasanya,” jelasnya.
Gelandangan pria yang datang ke sana, katanya, tetap lebih banyak dibanding yang perempuan.
Tunawisma meningkat
Data Biro Statistik Australia (ABS) pada Maret lalu menunjukkan meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi di Australia, namun jumlah tunawisma terus meningkat.
Secara nasional, pertumbuhan gelandangan menjadi 14 persen sejak 2011.
Negara bagian NSW tercatat memiliki populasi tunawisma terbesar dengan pertumbuhan 27 persen.
Meskipun mayoritas tunawisma adalah pria yaitu sekitar 60 persen di semua negara bagian kecuali Australia Utara, namun Coleman yakin jumlah gelandangan perempuan di Sydney kian meningkat.
“Saya pikir (gelandangan) perempuan kian banyak. Namun banyak layanan. Sydney sangat dermawan,” katanya.
Dengan sajian makan seperti gulai, kari, kue-kue kering, dan jus segar, tentu saja dapur ini menjadi daya tarik bagi banyak orang di kota itu.
“Saya datang ke sini empat hari seminggu,” ujar Trent Nathan yang mengaku datang dari daerah Croydon yang agak jauh dari sana.
“Saya naik bus malam, sekitar Pukul 3:30, 4:00,” jelasnya.
Dia mengaku mengalami kesulitan hidup saat ini dengan harga-harga yang kian mahal. “Itulah mengapa saya datang ke sini,” kata Trent.
Menurut dia, jika tak ada tempat seperti dapur St. Canice ini, dia pasti bingun mau kemana lagi minta pertolongan.
Trent mengatakan selain datang untuk mencari makan, dia juga merasa senang bertemu orang di sana dan berbagi cerita.
Hal itu juga diakui Coleman. “Saya bertemu banyak orang di sini, ada peluang bersosialisasi,” katanya.
Bahkan pengurus gereja, katanya, juga membagikan handuk, selimut, peralatan mandi, dan bahkan sepatu.
Terbangunannya hubungan sosial juga dirasakan para voluntir di sana.
“Kami satu-satunya (badan amal) yang tidak mengubah menu makanan yang dibagikan,” kata John Giblin, yang bertanggung jawab di dapur setiap hari Rabu.
“Orang datang ke sini dan hal itu memberi mereka rasa kebersamaan sebagai warga masyarakat,” ujar John yang sudah jadi voluntir sejak 2006.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.