Sosok Perempuan Indonesia Wujudkan Mimpi Kartini di Australia
Memperingati Hari Kartini, ABC Australia menemui empat perempuan asal Indonesia yang berkiprah di Australia. Keempatnya memiliki tantangan tersendiri untuk bekerja di lingkungan dengan kultur yang jauh berbeda dengan di Indonesia.
Belum lagi ditambah dengan peran mereka sebagai seorang istri dan ibu, yang juga ingin tetap memegang teguh nilai-nilai Indonesia bagi anak-anaknya.
Mereka merasa apa yang sudah dilakukan dan dicapainya sejalan dengan cita-cita Kartini, yakni kesetaraan hak perempuan.
Anda bisa menonton profil keempat perempuan ini disini.
Farida Simanjuntak
Sudah sejak dua tahun lalu, Farida mendidikan sekolah Buida Driving School di kota Melbourne, Australia.
Ia membaca peluang menjanjikan untuk menjadi instruktur mengemudi setelah mendengar cerita dari beberapa perempuan Indonesia di Australia yang merasa risih saat berada dalam satu mobil dengan pria untuk belajar menyetir.
Farida mengaku jika pekerjaannya bukan hanya mengajar menyetir, tapi juga mendengar cerita dan masalah murid-muridnya, sehingga ia bisa berbagi pengalaman dan memberikan nasihat.
“Menurut saya, Kartini menginginkan kesetaraan tapi tidak melupakan kodratnya sebagai perempuan, kita bisa pergi kerja atau apa saja, tapi tetap tidak lupa bahwa kita seorang ibu dan mengambil bagian peran sebagai istri.”
Reni Rusliani
Saat pindah ke Australia mengikuti suaminya di tahun 2007, Reni yang pernah berkarir konsultan di bidang teknik memilih bekecimpung di bidang pendidikan, karena alasan sudah memiliki anak.
“Saya mengambil pendidikan enam bulan di bidang early childhood, yang dilanjutkan dengan diploma,” ujar Reni yang pernah bekerja di sebuah sekolah Islam untuk mengajarkan Quran dan Kajian Islam kepada anak-anak.
Kini selain membuka penitipan anak di rumahnya, atau istilahnya Family Day Care, Reni juga kini disibukkan sebagai guru mengajarkan baca Quran di Madania Foundation. Salah satu kelasnya di Surau Kita, masjid komunitas Indonesia di kawasan Coburg, Melbourne.
Salah satu sosok yang telah menginspirasinya terjun ke dunia pendidikan adalah Kartini.
Lily Susanty
Tujuan awal Lily pergi ke Australia di tahun 1996 adalah untuk mengambil gelar Master of Business Administration (MBA) di Monash University, Melbourne. Tapi setelah lulus ia langsung mendapatkan tawaran kerja di perusahaan konsultan migrasi, yang kemudian dinikmatinya.
“Kita bisa membantu orang memberikan nasihat lewat riset, keahlian, dan pengalaman kita dan berharap bisa mewujudkan mimpi mereka,” ujar Lily yang akhirnya memutuskan membuka kantor sendiri bernama Sola Gracia Migration.
Ia mengatakan klien yang ditanganinya bukan lagi sebatas mahasiswa-mahasiswa asal Indonesia, tapi juga ada warga negara lain, termasuk kalangan profesional yang ingin menetap secara permanen di Australia.
Tak heran hari-harinya banyak disibukkan di kantornya, tapi ia merasa tetap harus ada keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga.
Marlina Pattiasina Tangkesalu
Perempuan yang akrab dipanggil Ina ini sudah menjadi pendeta di Australia selama 14 tahun, setelah pernah menjadi pendeta di Indonesia selama sekitar enam tahun.
Lewat kiprahnya sebagai pendeta, ia membuat program Women Impact Nations yang selama tiga kali dalam setahun mengumpulkan perempuan-perempuan dari berbagai gereja untuk mendalami agamanya.
“Saya melihat perlunya membangkitkan perempuan-perempuan karena mereka juga perlu mengenal jati diri mereka dalam Tuhan,” ujar Pendeta Ina.
Menurutnya soal emansipasi perempuan, seperti yang diperjuangkan Kartini, perempuan-perempuan Indonesia perlu menyesuaikan diri dengan budaya emansipasi barat seperti di Australia.