ABC

Sitti Maesuri Patahuddin Menyebarkan Pengajaran Matematika dari Canberra

Dalam seminar di KBRI Canberra, Dr Sitti Maesuri Patahuddin, wanita asal Sulawesi Selatan, disebut sebagai contoh Kartini modern Indonesia. Doktor pendidikan yang kini bekerja di Universitas Canberra ini banyak membantu peningkatan pengajaran matematika di Indonesia. Ia juga memberi perhatian besar bagi kaum perempuan.

Sitti Maesuri menamatkan pendidikan doktoralnya di Universitas Queensland (Brisbane) dan sekarang bekerja di Pusat Pendidikan Fakultas Sains, Teknologi, Pendidikan dan Matematika (STEM) di University of Canberra, terlibat dalam berbagai proyek baik di Indonesia dan Australia.

Sebelumnya, Sitti yang berasal dari Pangkajene, Sulawesi Selatan tersebut, pernah juga bekerja sebagai peneliti post doctoral di Charles Sturt University di Wagga Wagga (NSW) dan juga post doctoral di University of the Witwatersrand, South Africa selama 1 tahun.

"Saya saat ini saya sedang memimpin satu proyek pendidikan matematika untuk propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) berjudul “Promoting mathematics engagement and learning opportunities for disadvantaged communities in West Nusa Tenggara," tutur Sitti dalam perbincangannya dengan wartawan ABC Australia Plus Indonesia, L. Sastra Wijaya hari Rabu (20/4/2016).

Proyek ini adalah bagaimana meningkatkan keterlibatan masyarakat daerah tertinggal di NTB untuk belajar matematika, untuk membuka kesempatan belajar lebih luas.

Proyek ini dibiayai oleh Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia, bernilai $2 juta (sekitar Rp 20 miliar) selama empat tahun.

"Saya juga terlibat dalam proyek ujicoba tes online oleh ACARA, sebuah badan yang bertanggung jawab atas kurikulum pengajaran di Australia dari Taman Kanak-Kanak sampai Kelas 12," jelasnya.

"Dalam hal ini melakukan wawancara pada siswa tentang proses berpikirnya selama mengerjakan tes online. Apakah rancangan tes online itu tidak merugikan siswa. Ini penting utk pengembangan kualitas NAPLAN (ujian nasional yang diselenggarakan untuk kelas tertentu setiap tahunnya) di Australia," tambah Sitti.

Dr Sitti Maesuri Patahuddin (berjilbab merah) dalam seminar mengenai Kartini di Canberra baru-baru ini. (Foto: KBRI Canberra)
Dr Sitti Maesuri Patahuddin (berjilbab merah) dalam seminar mengenai Kartini di Canberra baru-baru ini. (Foto: KBRI Canberra)

Sitti yang menamatkan pendidikan S1 Pendidikan Matematika di Universitas Negeri Makassar dan S2 di Universitas Negeri Surabaya memang sejak awal sudah senang dengan pelajaran matematika.

"Saya memang suka dengan pelajaran matematika, dan juga saya ingin menjadi guru. Kemudian saya meyakini dan ini didukung oleh banyak riset bahwa pengaruh guru terhadap kualitas pembelajaran siswa sangat besar. Nah bagaimana cara membantu guru menjadi profesional inilah yang terus saya lakukan sekarang ini." katanya lagi.

Sebagai seorang perempuan Indonesia, Sitti Patahuddin mengatakan bahwa dia saat ini melanjutkan perjuangan Kartini dalam rangka mencerdaskan bangsa Indonesia walau dia tinggal di luar negeri.

"Kiprah saya termasuk untuk membuka wawasan berpikir para perempuan. Khususnya karena pikiran saya dulu tentang perempuan sangat sempit tapi setelah sekolah hingga level Doktor  saya jadi jauh lebih paham tentang peran perempuan yang sesungguhnya."

"Jadi saya simpulkan kita bisa menjadi Ibu rumah tangga dan pada saat yang sama kita bisa berkiprah sangat luas untuk masyarakat luas. Sekarang sy juga lebih paham makna dari “mendidik satu orang perempuan berarti mendidik lebih dari satu orang”. kata Sitti lagi.

Jadi sekafrang apa yang diihatnya sebagai masalah bagi pendidikan di Indonesia saat ini, terutama pendidikan untuk anak perempuan?

"Berdasarkan data BPS, dari segi jumlah sangat menggembirakan. Perbedaan antara banyak laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda. Bahkan data BPS di tahun 2014, lebih banyak perempuan yang berijazah SD dan perguruan tinggi. Saat saya mengajar di Universitas Negeri Surabaya, selalu lebih banyak mahasiswa perempuan dari pada laki-laki." kata Sitti lagi.

"Permasalahan adalah kualitas perempuan. Saya khawatir dengan melihat fenomena banyak anak sekolah yang perempuan, yang saya lihat melalui Facebook dengan karakter menyedihkan, termasuk yang tampak di video kekerasan yang tersebar melalui Facebook."

"Akses ke teknologi mudah bagi mereka tapi banyak yang tidak memanfaatkan secara optimal, bahkan menggunakan secara negatif. Mereka juga kebanyakan sibuk mempersiapkan untuk ujian seakan-akan titik berat sekolah itu adalah lulus. Yang utama adalah jawaban benar. Ini bahaya sekali karena mereka tidak menyadari bahwa lulus bukan menjadi jaminan kecemerlangan masa depan mereka." tambah ibu dari dua anak yang sudah remaja tersebut.

"Satu hal jika kita mau melanjutkannya perjuangan Kartini, bukan lagi supaya bagaimana perempuan bisa membaca tapi bagaimana mereka bisa membaca secara kritis dan membangun argumennya secara berdasar, berfikir reflektif, tahu apa yang dilakukan dan mengapa melakukannya, sadar akan segala konsekwensi tindakannya." kata Sitti lagi.

Suasana seminar mengenai Kartini di KBRI Canberra yang dihadiri oleh lebih 100 perempuan Indonesia termasuk Sitti Patahuddin. (Foto: KBRI Canberra)
Suasana seminar mengenai Kartini di KBRI Canberra yang dihadiri oleh lebih 100 perempuan Indonesia termasuk Sitti Patahuddin. (Foto: KBRI Canberra)

Bagaimana Sitti Patahuddin melihat pendidikan di Indonesia dengan negara lain?

"Saya lebih baik membandingkannya dengan  Australia karena disamping saya pernah melakukan studi ethnography di kelas-kelas di Australia dan dua putri saya sudah mengalami sekolah di Australia baik di Brisbane, Wagga Wagga dan Canberra." kata Sitti.

Menurutnya, perbedaan yang mendasar adalah siswa Australia belajar secara bermakna. Mereka diberikan tugas-tugas yang menuntut mereka berpikir kritis dan kreatif, menuntut mereka untuk banyak membaca dan mengelola informasi dan menyajikan dengan kalimat sendiri. Sejak SD, mereka sudah dikenalkan bahaya plagiat dan sudah dibangun keterampilan mereka dalam membaca dan menulis

"Yang saya amati dalam 2 tahun terakhir ini, anak-anak Indonesia banyak sibuk dengan persiapan-persiapan ujian, sedangkan anak saya sangat sibuk dengan tugas-tugas yang kompleks misalnya mengerjakan proyek, melakukan eksperimen dan menulis laporan, menulis esai," jelasnya.

"Ujian mereka banyak yang berbeda dengan ujian yang dialaminya di kelas. Misalnya setelah mereka menyelesaikan tugas rumah yang lumayan banyak dan kompleks, mereka ada tes singkat yang ingin mengecek bahwa siswa itu memang paham dengan apa yang baru saja dikerjakan dalam tugas tersebut." kata Sitti.

Dicontohkan juga misalnya dalam tugas menulis esai, ada ujiannya namun guru sudah menugaskan murid untuk melakukan riset tentang tugas tersebut.

"Semua tugas anak sekolah diberi feedback tertulis jadi siswa tahu mana yang sudah betul dan mana yang perlu diperbaiki." tambahnya.

Contoh lain yang dilihat Sitti bagus dilakukan di Australia adalah bahwa murid-murid seolah sudah diberikan waktu untuk mempraktekkan apa yang mereka pelajari.

"Misal anak saya yang SMP beberapa kali ke SD untuk menjadi pendamping adik-adik kelas. Jadi kepemimpinan mereka sudah dilatih. Anak saya yang SMA sudah  beberapa kali ke rumah sakit untuk menjadi pengamat, mengamati bagaimana dokter melakukan tugas dan berinteraksi dengan pasien dan selanjutnya membuat laporan." katanya lagi.

Oleh karena itu menurut Sitti banyak hal yang bisa dipelajari dari Australia.

"Karena itu, salah satu program proyek pendidikan matematika saya di NTB adalah membawa para guru matematika ke Canberra selama 1 bulan agar terbuka wawasan mereka."

"Sebanyak 22 guru matematika NTB datang di Canberra bulan Februari 2016 dan saya amati sangat banyak yang mereka pelajari selama satu bulan. Mereka menuliskannya di Grup Facebook dan berbagi hal-hal yang bermanfaat mereka terapkan. Intinya wawasan mereka jadi terbuka." demikian kata Sitti Maesuri Patahuddin.