ABC

Sidang Pertama Sengketa Pilpres: Tuntut Kemenangan Jokowi Dibatalkan

Dalam sidang perdana gugatan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi sebagai pihak pemohon mengajukan 15 tuntutan kepada 9 hakim konstitusi. Salah satu tuntutan itu adalah membatalkan kemenangan Jokowi-Amin dalam Pilpres.

Poin Utama Sidang MK

Poin utama:

  • Tim BPN memohon hakim konstitusi untuk membatalkan penetapan hasil Pemilu 2019 terkait dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
  • Tuduhan yang disampaikan tim BPN dalam sidang perdana di MK dipertanyakan
  • Sidang lanjutan dengan agenda pemaparan bukti pemohon yang sedianya dilakukan 17 Juni 2019 akhirnya ditunda 18 Juni

Pada salah satu tuntutan atau petitum yang dibacakan di Mahkamah Konstitusi atau MK (14/6/2019), BPN memohon hakim konstitusi untuk membatalkan penetapan hasil Pemilu 2019 terkait dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta menyatakan pasangan Jokowi-Amin terbukti secara sah melakukan pelanggaran dan kecurangan Pilpres 2019.

“Menyatakan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 1 yaitu H.Ir.Joko Widodo dan Prof.Dr (HC) KH. Ma’ruf Amin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan kecurangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019 melalui penggelembungan dan pencurian suara secara terstruktur, sistematis dan massif,” ujar Ketua Tim Kuasa Hukum Paslon nomor urut 02 Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto (BW).

“Menyatakan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02, H.Prabowo Subianto dengan H. Sandiaga Salahudin Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024,”

BW kemudian melanjutkan pernyataan tim BPN yang meminta agar Prabowo-Sandi dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2019.

“Memerintahkan kepada termohon seketika untuk mengeluarkan keputusan penetapan H.Prabowo Subianto dan H.Sandiaga Salahudin Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024.”

Dalam tuntutannya pula, BPN menuntut dilakukannya pemilihan ulang di 12 provinsi di Indonesia, yang merupakan daerah kemenangan Jokowi-Amin.

“Kami memohon MK memerintahkan termohon untuk melaksanakan pemungutan suara ulang secara jujur dan adil di sebagian provinsi di Indonesia,” ujar tim hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta, Jumat (14/6/2019).

Menanggapi tuntutan BPN, salah satu anggota tim hukum Jokowi-Amin, yakni I Wayan Sudiarta, mengatakan pihak pemohon tidak menyampaikan data faktual.

“Masa mereka enggak ngerti situng? Situng itu alat transparansi untuk masyarakat saja, yang akan dipakai adalah hitungan manual.”

Wayan menilai tim BPN kesulitan untuk menyodorkan bukti atas tuduhan yang mereka sampaikan ke MK dan publik.

“Mereka sangat gelisah sekarang membuktikan dalil permohonannya. Buktinya, janganlah pembuktian itu dibebankan kepada termohon sendiri. Lah itu di hukum acara pidana, PTUN, hukum perdata, semua mewajibkan pemohon harus membuktikan dalil-dalilnya. Mereka menolak sekali kewajibannya untuk membuktikan. Berarti kan mereka enggak mampu membuktikan,” kata Wayan dalam salah satu wawancara di TV nasional selepas sidang (14/6/2019).

Sidang lanjutan dengan agenda pemaparan bukti pemohon yang sedianya dilakukan 17 Juni 2019 akhirnya ditunda keesokan harinya, 18 Juni, setelah ada keberatan dari pihak termohon, yakni Komisi Pemilihan Umum KPU.

Kuasa Hukum KPU, Ali Nurdin, mempermasalahkan permohonan mana yang seharusnya menjadi acuan.

Diketahui bahwa tim BPN pertama kali mengajukan permohonan di tanggal 24 Mei 2019, namun kemudian memasukkan pembaruan di tanggal 10 Juni 2019.

Ketua KPU, Arief Budiman (kiri), bersama kuasa hukum KPU, Ali Nurdin (kanan).
Ketua KPU, Arief Budiman (kiri), bersama kuasa hukum KPU, Ali Nurdin (kanan).

metrotvnews.com

Atas pembaruan itu, termohon atau KPU meminta waktu lebih untuk menyiapkan jawaban.

Ali Nurdin juga mempertanyakan materi dalam permohonan BPN dan dampaknya terhadap tuduhan yang dilayangkan.

“Dalam permohonan yang pertama itu, pemohon sama sekali tidak mempersoalkan sama sekali kesalahan perolehan suara dan sama sekali tidak mendalilkan hasil perhitungan yang benar menurut pemohon.”

“Karena itu artinya apa, pemohon mengakui dong apa yang sudah dilakukan oleh KPU.”

Dalam sebuah wawancara televisi, ia menyampaikan bahwa, dengan kata lain, BPN mengakui hasil penghitungan yang dilakukan oleh KPU.

“Artinya apa? Tidak benar dong berkembang di luar bahwa KPU curang, melakukan perubahan data,” sebutnya.

Pembuktian akan menempuh jalan berliku

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, justru mempertanyakan tuduhan yang disampaikan tim BPN dalam sidang perdana di MK.

“Bagaimana kemudian mereka mengkonstruksikan, menghubungkan antara DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang diduga siluman lalu kemudian DPTb, DPK, DPT, penggelembungan sehingga menghasilkan pengurangan

22 juta suara bagi 01 tapi suara mereka tidak berkurang?,” papar Titi dalam sebuah dialog di Kompas TV (14/6/2019).

Menurut Titi, penetapan DPT merupakan proses yang sangat berjenjang, sangat terbuka dan sangat transparan.

“Semua juga bisa mengikuti prosesnya. Dan mereka juga menyetujui DPT yang ditetapkan oleh KPU.”

Ketua MK, Anwar Usman, saat memimpin sidang pertama gugatan Pilpres 2019.
Ketua MK, Anwar Usman, saat memimpin sidang pertama gugatan Pilpres 2019.

kompas.tv

Tetapi saya melihat, perjalanan proses pembuktian akan lebih banyak fokus ke dalil soal TSM-nya itu. Kualitatifnya itu. Karena kalau kuantitatif, dengan segala bukti dan dokumen yang dimiliki KPU, mudah dibantah.”

Terkait tuntutan Pemilu ulang yang diajukan tim BPN, mantan Ketua KPU yang juga guru besar ilmu politik di Universitas Airlangga Surabaya, Ramlan Surbakti, mengatakan, hal itu sebenarnya harus diputuskan oleh Bawaslu.

“Kan kita lihat kemarin ada sekitar 2000 TPS (tempat pemungutan suara lebih yang melakukan pemungutan suara ulang, jadi sebenarnya pemungutan suara ulang itu sudah dilakukan.”

“Nah ini kalau MK yang memutuskan, pasti dalam rangka TSM itu. Tapi membuktikan TSM itu, sekali lagi tidak mudah tapi kalau (dilakukan) pemungutan suara ulang di seluruh Indonesia, saya kira enggak mungkin,” jelasnya dalam dialog yang sama.

Ramlan menuturkan, tidak semua TPS memuat pelanggaran.

“Berapa TPS yang bisa dibuktikan bahwa itu melakukan pelanggaran? Jangan-jangan yang diajukan itu sudah dilakukan pemungutan suara ulang?,” tanyanya.

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.