ABC

Sibarani Sofian Terinspirasi Rancang Ibu Kota Baru RI dari Kecantikan Sydney

Sibarani Sofian, bersama sembilan orang dalam tim-nya telah memenangkan sayembara rancangan kawasan Ibu Kota Indonesia yang baru di Kalimantan Timur. Sejumlah idenya datang dari kota-kota di Australia.

Sibrani mendapat gelar Master of Urban Development and Design dari University of New South Wales di Sydney tahun 1999.

Ia sempat berkarir di Singapura dan Hong Kong, sebelum memutuskan kembali ke Indonesia di tahun 2011.

Dalam perbincangan khusus dengan ABC Indonesia akhir pekan lalu, alumnus Institut Teknologi Bandung ini bercerita mengenai visi dalam rancangannya, yang juga diharapkan dapat ramah lingkungan.

Sibarani Sofian
Sibarani adalah alumnus ITB yang menyelesaikan program S-2 di Sydney, Australia.

Koleksi pribadi

Konsep dan ide apa di balik Nagara Rimba Nusa?

Nagara itu mewakili Pemerintah. Rimba itu mewakili hutan, sesuatu yang sangat khas di Kalimantan. Dekat lokasi Ibu Kota baru nantinya banyak hutannya. Sementara, Nusa itu representasi dari kepulauan dan bisa dijadikan identitas bersama kita sebagai suatu bangsa, karena kita adalah negara kepulauan terbesar.

Rimba dan nusa itu sebenarnya terinspirasi dari dua kata yang sederhana, tapi mungkin menjadi sangat inspiratif, karena dari hutan kita banyak bisa belajar bagaimana menyelaraskan kota, hutan, dan manusia.

Alam bisa hidup sendiri tanpa manusia, tapi dengan adanya manusia, kadang-kadang tidak selalu bisa selaras dengan alam. Nah, bagaimana kita bisa mengembalikan suatu konsep baru, tapi dari awal sudah menyelaraskan diri dengan alam.

Sejumlah aktivis lingkungan telah mengecam pembangunan Ibu Kota karena resiko pengerusakan alam, bagaimana bisa memastikan gedung dan pengembangannya ramah lingkungan?

Harapannya bangunan-bangunan di sana bisa hijau ya, ‘green building’, berkinerja tinggi, mengurangi konsumsi energi, mengurangi panas. Belajar dari hutan tropis, kami sengaja ada satu konsep yang membuat membuat kenyamanan di jalan dengan angin.

Kesulitan di Kalimantan adalah cuacanya panas dan lembab, jadi harus ada usaha agar angin yang membantu menurunkan temperatur, dengan angin yang datang dari sisi hutan dan kebun raya.

Kami membuat kebun raya yang sangat besar, hampir 500-600 hektar, berlokasi tepat di jantung Ibu Kota baru kita.

Rencana Ibu Kota Baru di Kalimantan
Rancangan Nagara Rimba Nusa akan tetap mempertahankan hutan dengan taman besar di jantung kotanya.

Foto: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI

Elemen penting apa saja yang ada dalam rancangan anda untuk Ibu Kota baru?

Kita punya dua sumbu utama. Pertama adalah sumbu antara manusia, alam dan Tuhan, seperti yang kita lihat di Yogyakarta, Jawa, Bali, dan kota-kota lainnya.

Jadi bagaimana kita meciptakan keselarasan hubungan antara hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan Tuhan, itu menjadi sumbu utama kita dalam membuat ‘masterplan’. Titik nolnya adalah istana, lalu turun ke Danau Pancasila, yang menjadi sumbu kebangsaan kita dengan memperlihatkan hubungan antara manusia, alam dan Tuhan.

Kemudian ada axis yang melintang, yakni pemerintahan, dengan trias politika ya, ada ekselutif, legislatif dan yudikatif. Jadi kami sebar tiga fungsi di tiga titik berbeda. Satu ada ditengah-tengah, yakni istana sebagai lembaga eksekutif. Lembaga legislatif di sebelah kanan, kemudian yudikatif sebelah kiri. Sementara kantor kementerian berada di antara ketiganya.

Apa saja tantangan dalam merancang Ibu Kota baru ini?

Lokasinya masih cukup jauh, dari kota Balikpapan masih 30-40 kilometer, sehingga butuh akses untuk bisa menuju kesana. Kedua, kondisi temperatur yang tinggi. Ketiga, ada banyak ekosistem atau lingkungan yang sensitif. Jadi, kita harus hati-hati, tidak merambah daerah yang alami, yang terproteksi, atau jika ada spesies bekantan. Kita harus hati-hati dan benar-benar memilih lokasi yang aman.

Monyet Bekantan
Bekantan, monyet berhidung panjang yang menjadi maskot fauna Kalimantan Selatan kini sudah terancam.

Foto: Flickr CC, Imtiaz Ahmed

Berapa biaya yang dibutuhkan untuk mewujdukan konsep Nagara Rimba Nusa?

Belum diperhitungkan sejauh itu ya, karena ini masih baru diumumkan, jadi belum ada perhitungan pasti seperti apa.

Anda menerima beasiswa dari pemerintah Australia di tahun 1998, lewat ‘Australian Development Scholarship’, kemudian belajar di Sydney selama setahun. Apa yang anda pelajari dari kota-kota di Australia?

Sydney adalah kota kosmopolitan pertama yang saya pernah tinggali, bukan hanya sebagai turis. Sebagai residen di Sydney, kebetulan mahasiswa dengan uang yang terbatas, tapi saya masih bisa menikmati kotanya.

Sydney dan Melbourne itu sangat kosmopolitan dan menarik, juga sangat kaya, bukan dalam arti uang tapi karakternya. Meski saya enggak punya uang banyak, masih bisa tetap jalan di kotanya yang nyaman dengan transportasi publik berjalan baik.

Saya melihat Darling Harbour, Circular Quay, naik kapal ke Sydney Olympic, benar-benar membuka mata saya dan sangat mempengaruhi harapan saya, ‘kalau bisa merancang kota, minimal seperti inilah’.

Yachts and boats gather at Farm Cove in Sydney Harbour ahead of the New Years Eve fireworks.
Opera House dan Harbour Bridge menjadi dua lambang kota Sydney.

AAP: Mich Tsikas

Jadi apa saja yang harus dimiliki sebuah kota untuk layak ditinggali?

Menurut saya, memberikan rasa aman dan nyaman untuk warganya bergerak, tanpa harus berkendaraan atau tanpa harus memiliki modal uang, itu saja.

Di Jakarta, contohnya, kalau kita mau berjalan kaki, fasilitas jalan kaki hanya ada di daerah tertentu. Kalau mau merasa aman, lalu kita memilih naik mobil.

Jika kota-kota rancangannya sudah baik, kecenderungan untuk menggunakan kendaraan pribadi bisa berkurang, ini yang saya jadikan indikator.

Selain itu juga ada aspek cantik, seperti di Sydney, kalau kita berjalan dari Circular Quay menuju Opera House pemandangannya luar biasa. Kita lihat Sydney Harbour Bridge dan di ujung lainnya ada Opera House. Itu kecantikan yang harus dirancang dan diberikan di ruang kota.

Ekonomi kotanya juga harus bergerak dan, satu lagi, indikatornya adalah ‘smart’. Jadi tak hanya apa yang kita lihat, tapi juga menyedikan informasi berupa teknologi yang mendukung kotanya supaya lebih ‘smart’. Misalnya, transportasi umum yang mengunakan aplikasi untuk bisa memprediksi kapan bus datang tepat waktu.

Anda juga pernah berkarir belasan tahun di negeri orang, lalu kenapa memutuskan pulang ke Indonesia dan bekerja dengan lembaga pemerintahan?

Saya melihat ada transformasi dan reformasi di Indonesia. Dulu profesi seperti saya seperti sekarang ini, waktu sebelum lulus, mungkin bukanlah profesi yang terlalu transparan dibutuhkan oleh kota.

Permintaan profesi untuk orang-orang seperti kami waktu dulu belum tinggi, karena kotanya sendiri belum mau berubah, pimpinan daerahnya belum terlalu tereformasi.

Sejak ada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo, kita mulai bergerak ke arah yang menjanjikan, sehingga pada saat saya pulang ke Indonesia, saya merasa bisa dimanfaatkan, ilmu bisa diterapkan, meski tantangannya masih banyak.