Sexting Tidak Harus Selalu Dikriminalkan
Aparat penegak hukum di Queensland dinilai perlu mempertimbangkan kembali penuntutan terhadap anak remaja di bawah 16 tahun dalam kasus berkirim pesan atau gambar berbau pornografi atau sexting jika remaja yang terlibat berada dalam hubungan konsensual.
Masukan tersebut merupakan bagian dari 31 butir rekomendasi yang disampaikan Komite Kekerasan Seksual dan Penganiayaan Anak Remaja kepada Pemerintah Queensland dalam laporan akhir mereka terkait pornografi anak.
Dalam laporan akhirnya yang diserahkan hari Selasa (1/8/2018) ke Pemerintah Queensland, komisi itu menyatakan bahwa sexting di kalangan remaja tidak harus selalu diberi label sebagai pornografi anak.
Laporan ini mencatat terjadinya peningkatan hampir empat kali lipat jumlah pelanggar muda dalam kasus pelanggaran terkait pornografi anak yang dilaporkan di Queensland dari tahun 2011-2012 hingga 2015-2016.
Penulis laporan, pensiunan hakim Mahkamah Agung Stanley Jones, mengatakan peningkatan itu “tidak diragukan lagi berkaitan erat dengan kemajuan teknologi dan tindakan berbagi gambar eksplisit melalui ponsel dan online”.
Hakim Stanley Jones mengatakan ada ketidaksambungan antara hukum saat ini yang dapat mengkriminalisasi remaja karena terlibat dalam sexting, yang menjadi bagian normal dari hubungan seksual yang sehat.
Dia merekomendasikan diperkenalkannya sebuah panduan untuk membantu polisi menentukan kapan pantas atau tidak pantas untuk memberikan tuduhan terhadap seorang remaja atas pelanggaran terkait dengan sexting dan berbagi atau menerima gambar seksual eksplisit.
"Tujuan dari pedoman ini adalah untuk memastikan kaum muda dilindungi, sambil menyeimbangkan kebutuhan untuk mencegah kriminalisasi yang tidak perlu," katanya.
Pedoman bagi polisi
Di Macleod dari Pusat Kekerasan Seksual Gold Coast mengatakan dia setuju dengan pengenalan pedoman yang mendukung polisi untuk membuat keputusan yang baik seputar upaya menyeimbangkan perlindungan dan kriminalisasi.
Namun dia mengatakan dinamika gender perlu dipertimbangkan jika berkaitan dengan upaya menetapkan pedoman tentang sexting.
“Kami melihat lebih banyak anak remaja laki-laki berbagi gambar secara lebih luas,” kata Di Macleod.
“Apa yang kami dengar adalah, remaja puteri juga berbagi gambar seksual ekplisit secara konsensual, tetapi sering juga kita mendengar bagaimana mereka dipaksa untuk berbagi gambar-gambar itu, atau merasa terancam, atau khawatir dengan konsekuensi jika mereka tidak berbagi gambar-gambar itu?
“Bagi seorang remaja puteri di tahun 2018 seperti sekarang ini, mereka akan terpojok jika melakukan dan akan terpojok juga jika tidak melakukan.”
Di McLeod mengatakan gadis-gadis muda yang mengirim foto seksual eksplisit bisa berakhir menghadapi tuntutan pidana.
“Kami telah melihat contoh di mana tindakan [sexting] telah menjadi perhatian polisi dan mereka berbicara kepada para remaja perempuan itu sebagai pelanggar daripada melihat mereka sebagai korban yang telah ditempatkan di posisi itu dengan paksaan.”
Laporan yang ditemukan dari 2008-2009 hingga 2015-2016 menunjukan ada antara 2.300 dan 2.600 korban pelanggaran seksual muda yang dilaporkan ke polisi setiap tahun.
Laporan itu mengatakan angka sesungguhnya kemungkinan akan jauh lebih besar jika tindakan yang tidak dilaporkan juga turut diperhitungkan.
Laporan ini membuat 31 rekomendasi, termasuk respon keseluruhan pemerintah terhadap kekerasan seksual dan pelecehan remaja, dilakukan pengumpulan data lebih lanjut dan membuat program orientasi hubungan yang saling menghormati wajib di sekolah dasar dan menengah.
“Yang dapat kami lakukan sebagai masyarakat adalah memastikan mereka terdidik mengenai risiko dan etika tentang terlibat dalam hal ini,” kata Hakim Jones.