ABC

Setelah 17 April, Demokrasi Indonesia Disebut Seperti Tari Poco-Poco

Pemilu 17 April 2019 adalah keempat kalinya masyarakat Indonesia memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Dalam 15 tahun terakhir, suksesi kepemimpinan di Indonesia juga dinilai berlangsung damai. Meski demikian, kehidupan berdemokrasi di Indonesia masih dianggap naik turun dan memiliki pekerjaan rumah yang panjang.

Pemungutan suara serentak dalam bentuk Pemilihan Umum atau Pemilu adalah praktek demokrasi yang telah dijalankan Indonesia sejak keran reformasi terbuka di tahun 1998.

Sejak saat itu, tiap 5 tahun sekali, warga negara Indonesia bebas memilih wakil rakyat dan pemimpin pilihan mereka tanpa tekanan.

Selama 21 tahun terakhir, demokrasi Indoensia berjalan naik turun. Bahkan belakangan, kemajuan demokrasi di negara ini terkadang dianggap mengalami kemunduran dan stagnasi.

Peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga mantan Deputi Bidang Politik Sekretariat Wakil Presiden RI, Dewi Fortuna Anwar, sepakat dengan hipotesa tersebut.

“Jawaban singkatnya kemajuan (demokrasi) itu sedang diupayakan. Seperti tari poco-poco saja, maju ke depan, mundur ke belakang, ke samping dan begitu seterusnya,” jelas Kepala Institut Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Habibie Center ini.

Dewi mencontohkan salah satu bentuk kemunduran dari praktek demokrasi di Indonesia bisa dilihat dari meningkatnya dinasti politik, meningkatnya oligarki politik, hingga meningkatnya praktek politik identitas.

Praktek demokrasi menghadapi tantangan. Namun di sisi lain, kata Dewi, Indonesia tetap harus menentukan arah kemajuannya.

“Di saat kita merayakan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, ke mana negara ini menuju? Apakah akan terjebak di pusaran ekonomi menengah? Atau negara demokrasi menengah?.”

“Itu adalah pertanyaan serius yang harus diajukan,” ujar profesor lulusan Monash University ini.

Ilmuwan perempuan ini menyampaikan bahwa sebenarnya mayoritas rakyat Indonesia memercayai demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik dan satu-satunya yang bisa diterima saat ini.

“Mungkin ada yang kritis soal democrazy, bagaimana kebablasannya konsep ini dan sebagainya. Tapi intinya adalah gagasan demokrasi itu sendiri.”

“Gagasan tentang masyarakat yang bisa memilih pemimpinnya sendiri, dan gagasan bahwa semua orang bisa memenangi Pemilu. Itu penting,” paparnya dalam diksusi tentang arah demokrasi Indonesia di Jakarta (15/4/2019).

Diskusi tentang arah demokrasi Indonesia di Jakarta (15/4/2019)
Diskusi tentang arah demokrasi Indonesia di Jakarta (15/4/2019) yang menghadirkan Marcus Mietzner (pojok kiri), Philips Vermonte (kedua dari kiri), dan Dewi Fortuna Anwar (kedua dari kanan).

ABC; Nurina Savitri

Dengan kemunculan sosok sipil sebagai pemimpin, konsep demokrasi di Indonesia makin berkembang dan tertanam di benak masyarakat Indonesia.

“Meski mereka (pemimpin) punya kecenderungan untuk berpikiran sempit, mereka mungkin ingin menggunakan kekuasaan untuk melakukan cara-cara yang tidak demokratis, tapi konsep demokrasi sangat melekat di tengah masyarakat.”

“Jadi tak hanya soal hak untuk memilih, tapi anda tak harus terkait dengan elit militer di Jakarta untuk bisa menang,” kata Dewi.

Ia menilai hal itu adalah sesuatu yang berharga dan masyarakat Indonesia tak akan mau kehilangannya begitu saja.

Menyoal tren konservatisme dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, publik harus melihat kecenderungan lain yang muncul satu tahun sesudahnya, yakni ketika Pilkada serentak dilaksanakan di mayoritas daerah di Indonesia.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), Philips J.Vermonte, mengatakan setidaknya para pemilih di 4 provinsi Indonesia yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, di mana lebih dari 60 persen pemilih Indonesia berdiam diri, memiliki kecenderungan untuk memilih kandidat yang menunjukkan kualitas kepemimpinan urban.

“Gaya kepemimpinan teknokratik.”

Ia menjabarkan, dengan adanya desentralisasi maka hal yang masuk akal jika Indonesia memiliki pemimpin yang muncul dari daerah.

“Jokowi adalah angkatan pertama dari contoh itu,” ujar peraih gelar master dari University of Adelaide ini.

Apa yang menarik, kata Philips, para Gubernur di sejumlah daerah mengumumkan secara terbuka bahwa mereka mendukung Presiden Jokowi di Pemilu 2019.

“Alasannya kenapa? karena mereka tak mau melihat kandidat petahana di Pemilu 2024 karena mereka mau menjaga kans ketika berlaga di 2024 jika tak ada petahana.”

“Jadi para Gubernur ini akan langsung meramaikan bursa pemimpin jika Presiden Jokowi terpilih kembali,” ulasnya.

Akan muncul pemimpin baru dari luar Jakarta dan dari luar lingkungan elit politik.
Pengamat memprediksi maraknya calon pemimpin nasional baru dari luar Jakarta dan dari luar lingkungan elit politik.

ABC; Nurina Savitri

Dinamika demokrasi yang menarik dan pudarnya pertanyaan seputar hubungan agama dan negara bisa saja terjadi. Apa yang berlangsung kemudian adalah para Gubernur itu bekerja keras untuk mencapai sesuatu di provinsinya untuk diangkat dalam kampanye Pemilu 2024.

“Jadi kita akan melihat para pemimpin daerah ini, termasuk Gubernur DKI Jakarta perkiraan saya, berkompetisi di 2024.”

“Tapi memang akan ada tantangan konstitusional mengingat mereka bukan anggota partai.”

Menanggapi optimisme mengenai bangkitnya para pemimpin daerah di Indonesia di Pemilu berikutnya, peneliti dari Universitas Nasional Australia (ANU), Marcus Mietzner, mengatakan kebangkitan itu sudah berjalan dengan Jokowi sebagai contoh pertama.

“Apakah Jokowi akan dinilai sukses, itu perkara lain,” sebut pakar politik ini kepada ABC seusai diskusi arah demokrasi Indonesia (15/4/2019).

Di sisi lain, Marcus -yang memprediksi Jokowi akan kembali menang di 17 April -menerangkan, segala kemungkinan bisa saja terjadi dalam kontestasi politik.

“Karena ketika kita melihat betapa frustasinya pemilih Indonesia dengan SBY setelah 10 tahun dan kemudian beralih ke pilihan yang berkebalikan dari Yudhoyono, dan itu adalah Jokowi.”

“Kita tak pernah tahu 5 tahun ke depan seperti apa. Tapi mungkin saja ada kejengahan terhadap gaya politik ala Jokowi dan kemudian ada kecenderungan yang berkebalikan dari itu,” kata Marcus.

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.