ABC

‘Seperti Perbukaan Modern’: Pemetik Buah Asing di Australia Dibayar Sangat Rendah

Sebuah serikat pekerja di Australia mengusulkan adanya perubahan aturan agar ‘pencurian upah’ tidak dialami lagi pekerja pemetik buah asing yang diketahui dibayar $3 perjam, atau sekitar Rp 30 ribu.

Bayaran Rendah Pemetik Buah

  • Serikat pekerja Australian Workers Union ingin pemetik buah mendapat bayaran Rp 250 ribu per jam
  • Serikat mengatakan ladang pertanian di Australia adalah ‘pusat eksploitasi’ bagi pekerja
  • Namun Federasi Petani Australia mempertahankan sistem upah ‘per buah yang dipetik’

Mereka hanya mendapat upah sekitar $60, atau sekitar Rp600 ribu per hari.

Hari ini (15/12), Serikat pekerja Australia Workers Union (AWU) membawa usulan ke Fair Work Commision (FWC) untuk memastikan upah pekerja pertanian dan perkebunan di Australia adalah sekitar Rp 240 ribu per jam.

Dalam aturan yang ada sekarang, pemilik ladang pertanian misalnya tidak harus membayar upah minimum per jam dan menggunakan metode pembayaran lain.

Mereka membayar dengan sistem ‘per buah yang dipetik’, sehingga total gaji berdasarkan berapa banyak buah atau sayur yang mereka petik dalam sehari, bukan berdasarkan berapa lama mereka bekerja.

Sebuah laporan yang dibuat ABC awal Desember lalu mengungkapkan beberapa pekerja muda yang bekerja memetik blueberi di Coffs Harbour, negara bagian New South Wales, ada yang mendapat bayaran sekitar $3 per jam.

Ini didasarkan penelitian yang dilakukan oleh McKell Institute atas permintaan serikat pekerja TWU, yang menemukan beberapa kontraktor di ladang pertanian berhasil meyakinkan para pekerja Working Holiday Visa (WHV) untuk menerima upah rendah sebagai bagian dari syarat perpanjangan visa mereka.

Sebagai bagian dari syarat untuk bisa mendapatkan visa WHV tahun kedua dan ketiga, pemilik visa WHV harus bekerja di kawasan regional selama 88 hari.

Ketentuan ini, menurut AWU, sering dijadikan para kontraktor dan pemilik lahan untuk menekan pemegang visa WHV.

Industri holtikultur, seperti buah-buahan, menarik sekitar tiga ribu pekerja asing setiap tahunnya.

Kawasan Coffs Harbour yang memproduksi sekitar 65 persen blueberi di Australia bisa menarik sekitar dua ribu pekerja WHV.

Peneliti dari McKell Institute Edward Cavanough menemukan beberapa pekerja asing ini ada yang dibayar hanya Rp50 ribu per jam.

“Bila mereka dibayar sesuai aturan, maka upahnya adalah Rp240 ribu per jam. Jarang sekali ada pekerja yang mendapat sebanyak itu,” kata Edward.

“Beberapa cerita yang kami dengar sangat menyedihkan. Banyak pemegang WHV ini mengalami hal buruk dengan para subkontraktor.

Para pekerja yang diwawancarai untuk laporan tersebut menceritakan adanya ‘tarif per buah’ yang berubah setiap hari dan majikan yang mengubah tarif tersebut sesuai dengan kehendak mereka sendiri dengan alasan mengikuti ‘harga pasar’.

‘Terasa seperti perbudakan modern’

ABC berbicara dengan tiga pekerja asing yang bekerja di ladang blueberi, yang mengatakan mereka mendapat perlakuan buruk dengan upah yang sangat rendah.

“Saya betul-betul terkejut. Saya tidak pernah membayangkan hal ini bisa terjadi di Australia. Saya membayangkan negeri ini sebagai negara yang adil dengan kondisi kerja dan upah,” kata Lautiro Wickmann, seorang pekerja asal Argentina.

“Tidak ada yang mengeluh, karena kami butuh pekerjaan. Mereka tahu bahwa kami perlu bukti bekerja.”

Isabel pemegang WHV dari Ekuador tidak bisa mendapatkan pekerjaan di Sydney selama pandemi dan kemudian bekerja memetik blueberi namun bayaran per kotak atau per buah tidak cukup utuk membiayai dirinya sendiri.

“Ketika saya mulai, mereka mengatakan akan dibayar per kotak. Sekitar Rp60 ribu sampai Rp80 ribu. Di minggu pertama, bayarannya rendah sekali dan saya hanya dibayar Rp1,2 juta seminggu,” kata Isabel.

Isabel mengatakan kepada ABC jika perilaku beberapa kontraktor demikian buruknya sehingga “terasa seperti perbudakan modern”.

tray of blueberries
Dengan sistem pembayaran 'per biji' pekerja dibayar sesuai dengan berapa banyak buah yang berhasil dikumpulkan.

Eliza Rogers

Para kontraktor adalah mereka yang menjadi perantara yang mempertemukan pemegang visa dengan pemilik lahan pertanian di Australia.

Sekretaris nasional Serikat Pekerja AWU, Daniel Walton mengatakan kepada ABC upah rendah akibat kuatnya pengaruh para kontraktor harus dihentikan dan perubahan aturan adalah salah satu caranya untuk mengatasinya.

“Industri ini sudah menjadi pusat eksploitasi di seluruh negeri. Banyak orang yang tahu bahwa industri buah dan sayuran adalah tempat dimana eksploitasi paling banyak terjadi,” kata Daniel Walton.

“Kami ingin industri ini memberikan tawaran pekerjaan yang layak. Namun kalau kita tidak membersihkan dan melakukan penerapan hukum di industri ini, maka cerita mengenai mereka yang dibayar Rp30 ribu per jam akan terus terjadi.”

Serikat Pekerja Australia (AWU) mengajukan masalah ini ke Fair Work Commision (FWC), sebuah lembaga independen yang dibentuk untuk menentukan antara lain upah minimum yang harus diterapkan.

Menteri Hubungan Perindustrian Australia, Christian Porter sudah mengusulkan hukuman dan denda yang lebih berat bagi mereka yang tidak membayar upah sesuai ketentuan.

Sementara Menteri Pertanian Australia, David Littleproud sebelumnya mengatakan tuduhan pembayaran upah yang rendah merupakan hal yang “memalukan” dan bila memang benar terjadi, berpotensi merusak citra sektor pertanian.

Federasi Petani Australia (NFF) yang mewakili para pemilik lahan pertanian membela kebijakan pembayaran ‘upah per buah’, namun mengatakan masih akan menunggu keputusan Fair Work Commision.

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dan lihat beritanya dalam bahasa Inggris di sini dan laporan berikut