ABC

“Seperti Ditabrak Truk Jam 4 Subuh’: Penyembuhan Dari COVID-19 Bisa Berbulan-bulan Walau Gejala Ringan

Sebagai seorang ahli penyakit menular dan penderita COVID-19, Paul Garner dari Sekolah Kedokteran Penyakit Tropis di Liverpool di Inggris paham sekali seberapa tidak nyamannya hidup dengan penyakit apapun.

  • Banyak pasien yang terkena COVID-19 merasakan dampaknya selama berminggu-minggu
  • Beberapa dari pasien tersebut merasa sangat lelah
  • RS St Vincent’s di Sydney sedang melakukan penelitian berdurasi satu tahun mengenai dampak virus tersebut

“[COVID-19] adalah penyakit terburuk yang pernah saya alami,” kata Paul kepada ABC.

Paul yang sedang menjalani masa perawatan setelah didiagnosa terjangkit virus corona 59 hari yang lalu tersebut mengatakan penyakit ini datang di saat yang paling tidak terduga.

“Saya merasa enak badan, tapi tiba-tiba di siang hari penyakit ini seolah menghantam kepala saya dengan tongkat bisbol,” katanya.

“Durasi penyakit ini benar-benar melumpuhkan saya. Saya hanya bisa berdoa suatu saat penyakit ini akan pergi dengan sendirinya.”

Professor Paul mengatakan penyakit tersebut menimbulkan gejala yang mirip dengan sindrom kelelahan kronis, namun belum yakin 100 persen.

“Kalau yang sudah pernah mengalami, pasti mengerti maksud sindrom kelelahan karena COVID,” kata dia.

“Sekarang saya mengerti perasaan orang-orang yang mengalami sindrom kelelahan kronis dan bisa bersimpati dengan mereka.”

Pasien yang dinyatakan sembuh merasa lelah dan sesak napas

Professor Paul adalah satu dari ribuan pasien COVID-19 yang memahami seberapa melelahkannya hidup dengan penyakit tersebut.

Ilmuwan yang hingga kini masih meneliti dampak jangka panjang yang ditimbulkan COVID-19, khawatir penyakit tersebut menimbulkan kerusakan parah pada organ tubuh penderita.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa proses penyembuhan COVID-19 bervariasi — mulai dari dua minggu hingga enam minggu, bagi kasus yang parah.

Namun, penderita COVID-19, baik yang tidak parah sekalipun, tetap akan merasa lelah dan sesak napas ketika sudah berada di tahap pemulihan.

Dampak jangka panjang COVID-19 salah satunya diteliti oleh dokter ahli penyakit menular di St Vincent Hospital Sydney Professor Greg Dore.

“Kami tertarik untuk meneliti efek dari COVID-19. Penyakit ini memiliki spektrum gejala yang luas — dari gangguan pernapasan yang relatif ringan hingga pneumonia yang sangat parah.”

Professor Greg sedang meneliti dampak COVID-19 termasuk dalam kasus tidak parah, dengan memperhatikan beberapa faktor seperti ketahanan penderita berolahraga, fungsi koordinasi, dan kemampuan berkonsentrasi.

“Tidak lagi bugar”

Alex Lewis wearing a white t-shirt, standing in a large hospital consulting room
Alex Lewis sampai sekarang merasa belum bugar lagi setelah terkena COVID-19 pertengahan Maret lalu.

ABC News: Jerry Rickard

Salah satu pasien yang menjadi contoh kasus dalam penelitian di rumah sakit tersebut adalah Alex Lewis, yang ditemui ABC pertengahan Maret, setelah dinyatakan positif COVID-19.

Dua bulan setelah dinyatakan sembuh, Alexis masih mengalami kesulitan.

“Butuh beberapa waktu sembuh. Rasa lelah datang dan pergi.”

Komunitas online pasien COVID-19 dari seluruh dunia

Fiona Lowenstein lying in a hospital bed with a temperature clip on her finger
Fiona Lowenstein juga mengalami COVID-19 walau gejala awalnya ringan.

Supplied: Instagram/Fiona Lowenstein

Dampak jangka panjang dari COVID-19 dirasakan pasien yang sudah dinyatakan sembuh di seluruh dunia.

Fiona Lowenstein, penulis dari Amerika Serikat yang didiagnosa terkena COVID-19 pertengahan Maret lalu merupakan salah satu yang turut merasakan.

Karena terbatasnya informasi mengenai situasi yang ia alami, Fiona mendirikan sebuah kelompok beranggotakan ribuan mantan pasien COVID-19 untuk mendukung satu sama lain.

Anggota kelompok ini juga merasakan kelelahan dan perasaan tidak enak badan setelah dinyatakan sembuh.

“Saya pikir saya sudah sembuh total beberapa minggu lalu, tapi gejala lama itu malah kembali, ditambah rasa panas dingin dan keringat, juga kelelahan yang sangat intens,” katanya.

“Rasanya seperti ditabrak truk setiap jam 4 subuh.”

Pengalaman tersebut menjadi dasar dari dibentuknya kelompok di media sosial yang sangat aktif tersebut.

“Jelas sekali bagi saya, perlu ada sebuah komunitas bagi penderita virus ini agar kita bisa berbagi pengalaman satu sama lain,” kata dia.

“Kotak surat saya [di media sosial] dibanjiri pesan masuk.”

Simak berita lainnya di ABC Indonesia dan ikuti kami di Facebookdan Twitter