ABC

Sembilan Orang Terluka Akibat Penembakan Jumat Agung di Pulau Manus

Departemen Imigrasi Australia menyangkal pernyataan mereka sebelumnya tentang apa yang terjadi dalam insiden  penembakan di Pulau Manus pada hari Jumat Agung (14/03/2017). Mereka mengungkap, sembilan orang terluka ketika”rentetan”tembakan dilepaskan oleh pasukan pertahanan Papua Nugini ke kompleks pengungsi.

Padahal sebelumnya, sebuah pernyataan dari Departemen Imigrasi Australia mengatakan bahwa sebuah senjata telah ditembakkan ke udara dan tak ada korban luka.

Namun sekretaris Departemen Imigrasi Australia, Mike Pezzullo, mengoreksi pernyataan tersebut pada hari Senin (22/5/2017). Di depan sidang Senat, ia menuturkan bahwa “tampaknya jumlah senjata yang digunakan lebih dari satu”.

“Beberapa tembakan -yang tampaknya cukup banyak -dilepaskan ke dalam kompleks. Lebih banyak lagi tembakan dilepaskan,” ujarnya.

“Kami memandang tindakan ini tak bisa diterima -pelanggaran kedisiplinan oleh personil yang melakukan insiden ini, yang pergi ke markas mereka lalu mengakses senjata dan melepaskan tembakan tersebut,” jelasnya.

Ia menekankan kepada komite sidang bahwa pernyataan awal mereka didasarkan pada informasi yang tersedia saat itu.

Asisten Komisioner di Angkatan Perbatasan Australia, Kingsley Woodford-Smith, mengatakan kepada komite Senat bahwa sembilan orang terluka, tidak ada yang serius.

Ia menerangkan bahwa lima orang korban adalah petugas rumah detensi, satu orang personil Angkatan Pertahanan Papua Nugini, satu korban lagi dipekerjakan oleh Departemen Imigrasi Australia dan dua korban adalah para pencari suaka yang tinggal di kompleks tersebut.

Pada bulan April lalu, Menteri Imigrasi Australia, Peter Dutton, mengatakan kepada media Sky News bahwa penembakan pada hari Jumat Agung itu dipicu karena penduduk setempat marah setelah pencari suaka diduga membawa anak laki-laki setempat masuk ke dalam pusat penahanan tersebut.

“Saya pikir adil untuk mengatakan bahwa suasana tegang meningkat dengan cepat, saya kira beberapa penduduk setempat sangat marah dengan kejadian ini dan dugaan serangan seksual lainnya,” sebutnya saat itu.

Roman Quadvlieg mengatakan kepada komite Senat tentang meningkatnya ketegangan di Pulau Manus.
Roman Quadvlieg mengatakan kepada komite Senat tentang meningkatnya ketegangan di Pulau Manus.

ABC News: Marco Catalano

Komisaris Polisi Papua Nugini, David Yapu, mengatakan, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun diberi buah oleh penghuni di pusat penahanan, namun tidak ada yang terjadi padanya dan tidak ada keluhan resmi yang dilayangkan.

Komisaris Angkatan Pertahanan, Romawi Quadvlieg, pada hari Senin (22/5/2017), memaparkan kepada komite Senat mengenai meningkatnya ketegangan dan kondisi memprihatinkan yang terjadi di Pulau Manus, serta mengatakan bahwa apapun yang ada di sana bisa memicu “sesuatu seperti kejadian Jumat Agung”.

Ia mencantumkan serangkaian insiden di kota Lorengau termasuk “barter dan pertukaran uang dan barang untuk seks dengan perempuan setempat oleh penghuni RPC [pusat pemrosesan regional]”.

Quadvlieg juga mengatakan bahwa seorang penghuni di pusat penahanan telah dikenai sejumlah tuduhan atas kekerasan seksual terhadap seorang anak setelah terjadinya insiden di bulan Maret tahun ini.

Dan terlepas dari pandangan Komisaris Yapu, Quadvlieg mengatakan, seorang anak di bawah usia 10 tahun dibawa ke pusat penahanan itu.

“Fakta bahwa seorang anak di bawah usia 10 tahun berada di lingkungan di mana ada sejumlah laki-laki dewasa – setelah gelap -dan anak itu tak dijaga bahkanberada di sana selama beberapa menit pada satu waktu, adalah masalah mendasar dan mendalam,” utaranya.

“Ketika Anda menilai kejadian itu seperti yang baru saja saya gambarkan dan Anda memasukkannya ke latar belakang lingkungan dan bidang yang lebih luas yang telah saya gambarkan, hampir tak terbayangkan dalam pengalaman saya untuk menegaskan bahwa tak ada korelasi antara kejadian itu dan meningkatnya ketegangan di pulau tersebut,” kata Quadvlieg.

Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.

Diterbitkan: 17:40 WIB 22/05/2017 oleh Nurina Savitri.