ABC

Sekolah Mosintuwu Rajut Perdamaian di Poso

Ketika konflik Poso meletus, Martince Baleona melarikan diri ke hutan bersama dua anaknya. Tapi suatu hari, segerombolan orang bersenjata mencegat mereka.

Mereka menanyakan apa agama Martince. Pertanyaan itu membuatnya menggigil. Jika salah menjawab, nyawa bisa melayang.

“Saat itu, satu-satunya harapanku yaitu agar anak-anakku selamat,” ujar Martince (48) kepada ABC.

“Jika saya menjawab saya Kristen, mungkin saya dibunuh. Jika saya mengaku Muslim, mungkin saya juga akan dibunuh. Jadi, kami diam saja,” katanya.

Peristiwa itu dialami Martince tahun 2000, dua tahun setelah pecah konflik agama di Poso.

Warga Kristen, Muslim, dan Hindu yang hidup damai puluhan tahun saling membunuh satu sama lain.

Ada pembantaian di asrama sekolah Islam yang menewaskan 165 orang. Seluruh desa terbakar.

Seperti warga lainnya, Martince turut melarikan diri ke hutan, untuk menghindar dari tindakan balasan.

Dia sudah tiga bulan hidup dengan makanan seadanya di hutan ketika berjumpa dengan milisi tersebut.

Mereka berhasil selamat, menurut Martince, gara-gara anting-anting putrinya, yang berbentuk salib.

“Itulah yang menyelamatkan kami,” ujarnya. “Saya kira mereka itu kelompok Kristen, karena mereka tidak membunuh kami.”

Mid-shot of Poso woman, resting on a bike and holding green producer, with mountains in the background.
Sekolah perempuan Mosintuwu mengelola pasar bagi warga setempat.

ABC: Nicole Curby

Konflik sosial terjadi di tempat lain di Indonesia menyusul pengunduran diri Presiden Suharto saat itu. Tapi konflik di Poso yang paling lama, hingga 2007.

Sejak itu, Poso dikenal jadi sarang terorisme. Pendukung ISIS di sini termasuk yang pertama menyatakan dukungannya.

Martince saat ini giat dalam upaya memerangi kebencian. Dia memimpin sekolah perempuan Mosintuwu yang berupaya mempertemukan umat Muslim, Hindu, dan Kristen.

Kini lembaga tersebut mengelola pasar lokal yang terbuka bagi wanita dari semua agama.

Diperlukan keberanian dan sikap memaafkan untuk bisa bergaul seperti ini. Mereka dipersatukan oleh pengalaman konflik.

“Rumah-rumah orang Islam dibakar dan harta bendanya dihancurkan. Demikian pula orang Kristen,” kata Martince.

Sekolah perempuan Mosintuwu didirikan oleh Lian Gogali, seorang peneliti yang mewawancarai ratusan perempuan selama konflik.

Dia menemukan bahwa kaum perempuanlah yang pertama membangun jembatan lintasagama.

Portrait photo of Indonesian woman Lian Gogali.
Pendiri sekolah perempuan Mosintuwu, Lian Gogali.

ABC: Nicole Curby

Sementara itu, katanya, pria hanya berpikir bagaimana saling membunuh.

Sejak pertama kali didirikan pada tahun 2009, lebih dari 500 wanita dari 80 desa setempat ikut dalam program di sekolah itu.

Sekitar 200 di antaranya kini aktif dalam berbagai peran yang biasanya diperuntukkan bagi pria. Termasuk Martince.

“Di sekolah ini, saya hanya meminta mereka untuk bertanya. Untuk terus mencari tahu,” katanya.

Meski sekolah ini menanamkan bibit pemaafan, namun perdamaian di Poso sebenarnya rapuh.

“Orang luar selalu berpikir satu-satunya masalah kami adalah terorisme, atau membayangkan Muslim dan Kristen di sini saling membunuh,” kata Lian.

Padahal, menurut dia, masalah sebenarnya adalah sumber daya alam.

“Mereka perlu mengkhawatirkan bagaimana tanah kami diambil alih oleh perusahaan, dan agama dimanipulasi agar kami saling bertengkar,” katanya.

Bamboo interior and blackboards inside the Poso women's school.
Sekolah perempuan Mosintuwu di tepi Danau Poso. 

ABC: Nicole Curby

Pegunungan di Poso dikenal kaya akan bahan tambang seperti emas, nikel, dan gas.

Menurut sejarawan setempat, Asyer Tandapai, konflik Poso memang dipicu persaingan politik, tapi kemudian diperparah oleh kepentingan ekonomi.

“Konflik dipertahankan untuk menjadikan masyarakat pindah dari area pertambangan,” katanya.

Lian sendiri menilai selalu ada risiko konflik terulang kembali.

Seperti banyak orang Poso, dia hidup di tepi Danau Poso yang luas dengan ikan-ikan endemik serta mendukung penghidupan penduduk.

Namun pembangunan pembangkit listrik tenaga air mengancam hal itu.

Perusahaan PT Poso Energy menyatakan pasokan listrik dari perusahaan negara tidak pernah terpenuhi karena kurangnya infrastruktur.

Proyek PLTA ini, menurut mereka, akan mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.

Sejumlah warga menentang rencana tersebut, tapi mereka menghadapi tantangan serius: PT Poso Energy dimiliki keluarga Wakil Presiden RI.

“Pertarungan nyata bagi kami sekarang, demi perdamaian dan keadilan, adalah bagaimana kami memiliki hak atas tanah, air, dan hak asasi manusia,” kata Lian.

Sekolah perempuan yang mereka kelola juga terletak di tepi Danau Poso.

Sembari berupaya menyembuhkan luka masa lalu, sekolah itu juga ingin mendorong pemimpin perempuan dan kemandirian ekonomi.

Mereka berharap dapat membantu masyarakat setempat melawan adanya perpecahan di masa depan.

Simak juga berita lainnya dari ABC Indonesia