ABC

Sekitar 200 Warga Indonesia Meninggal Akibat Demam Berdarah 2 Bulan Terakhir

Sejak awal tahun hingga minggu ketiga Februari 2019, wabah demam berdarah (DBD) di Indonesia telah menelan 207 korban jiwa.

Kasus DBD di negara ini sendiri, dalam dua bulan terakhir, telah mencapai angka 23.305, di mana konsentrasi terbesar terdapat di Provinsi Jawa Barat (3957).

Satu bulan belakangan ini, Lusiyah (35), warga RW 10 Kelurahan Cipete Utara, Jakarta Selatan, mengaku lingkungan tempat tinggalnya sudah difumigasi sebanyak tiga kali.

Fumigasi adalah hal yang jamak dilakukan di lingkungan pemukiman, di Indonesia, ketika musim wabah DBD berlangsung.

Satu bulan terakhir pula, tiga warga di lingkungan RT tempat Lusiyah tinggal telah terkena DBD.

“Dari sekitar 130 kepala keluarga di sini, sudah ada 3 orang yang kena. Pertama, terkena DBD bulan lalu. Itu dari deret tetangga yang ada di depan rumah saya,” ujarnya kepada ABC.

“Yang belakang rumah saya, belum tahu,” imbuh ibu dua anak ini.

Ia beruntung, tak ada anggota keluarganya yang terkena DBD.

Tiga tetangganya itupun telah kembali dari perawatan rumah sakit dalam kondisi sehat.

Jakarta termasuk 4 besar wilayah dengan jumlah kasus DBD terbanyak di Indonesia.

Tiga tetangga Lusiyah tersebut menjadi bagian dari 1587 kasus DBD yang terjadi di wilayah Ibukota, yang hingga berita ini diturunkan -berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan Indonesia, nol korban jiwa.

Sementara di Tangerang Selatan, Banten, nasib mujur yang dialami Lusiyah tak dialami Titin.

Jumlah kasus DBD di Indonesia Januari-Februari 2019.
Jumlah kasus DBD di Indonesia Januari-Februari 2019.

Supplied; Kemenkes RI

Sang putra yang menginjak usia kuliah terserang virus penyakit yang dibawa oleh nyamuk Aedes Aegypti ini.

“Saya kurang tahu kenanya di rumah atau di kampus. Tapi di daerah rumah saya banyak yang kena DBD. Sekarang kan lagi musim,” tuturnya kepada ABC melalui pesan teks.

Ia lalu bercerita, di komplek perumahan tempat ia tinggal, ketiga anak dari seorang temannya terkena DBD dalam waktu yang bersamaan.

“Tempo hari teman, anaknya 3, kena DBD semua. Kalau satu keluarga begitu pasti kena di rumah ya,” pendapat Titin.

DBD menjadi wabah tahunan yang menyerang Indonesia, khususnya di kala musim hujan.

Selain Jawa Barat (Jabar), konsentrasi wabah DBD secara masif juga terdapat di Jawa Timur (3074). Di provinsi paling timur Pulau Jawa ini pulalah korban jiwa terbesar akibat DBD berada.

Selama hampir dua bulan terakhir, ada 52 pasien DBD di Jawa Timur meninggal kemudian disusul dengan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan korban jiwa sebanyak 25 orang.

Sementara dalam satu hari, rata-rata penambahan pasien DBD di negara tropis ini mencapai 40 orang.

Meski Jabar mencatat angka tertinggi, namun tingkat kematian akibat DBD di wilayah ini masih di bawah Jawa Timur dan NTT, yakni 18 jiwa.

Menurut keterangan Direktur Jenderal (Dirjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit di Kementerian Kesehatan Indonesia (Kemenkes), Anung Sugihantono, jumlah kasus DBD tahun ini meningkat dibanding tahun lalu pada periode yang sama.

Tingginya angka DBD di Indonesia, sebut Anung, sebagian besar disebabkan oleh kondisi syok dan terganggunya homeostasis atau karakteristik dari suatu organisme untuk mengatur kondisi internal tubuh manusia.

“Akibatnya terjadi syok tadi,” katanya kepada Nurina Savitri dari ABC Indonesia hari Rabu (20/2/2019).

Kemenkes, ujar Anung, telah mengeluarkan surat edaran kepada semua Gubernur di Indonesia tentang kesiagaan menghadapi peningkatan kasus DBD.

Hasilnya, 420 Kabupaten dan Kota melaporkan adanya peningkatan kasus DBD di wilayahnya.

Atasi DBD lewat bakteri Wolbachia

Peta frekuensi wolbachia wilayah Kota Yogyakarta.
Peta frekuensi wolbachia wilayah Kota Yogyakarta.

Supplied

Berbagai langkah untuk mencegah wabah DBD di Indonesia telah dilakukan.

Salah satunya lewat penelitian bersama antara para peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia dengan peneliti Monash Univeristy di Australia.

Studi bernama ‘Proyek Berantas Demam Berdarah’ (EDP) yang dilakukan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini adalah eksperimen jangka menengah yang telah dimulai sejak tahun 2012.

Nyamuk di Yogyakarta diinfeksi dengan sebuah bakteri bernama Wolbachia, yang mengubah kemampuan nyamuk dalam membawa dan mentransmisikan penyakit DBD.

Sejauh ini, tim UGM telah melepas sekitar 6 juta nyamuk yang terinfeksi Wolbachia di berbagai tempat di DIY.

“Dulu memang ada pelepasan nyamuk skala terbatas, skala kecil, di Sleman dan Bantul. Dua dusun di Sleman, dua dusun di Bantul. tetapi secara penelitian, skala luasnya itu di kota Yogya, dibagi jadi dua tahap.”

“Tahap pertama di daerah Barat dengan daerah kontrol di bagian Timur, Kotagede. Nah yang ditunggu ini, juga oleh WHO, itu adalah di daerah tengah kota Yogya. Itu kami bagi jadi 24 kluster, 12 kluster kami lepas nyamuk dan 12 kluster tidak dilepas,” jelas Equatori Prabowo, spesialis media dan komunikasi EDP.

Hingga hampir 7 tahun berjalannya penelitian ini, belum ada hasil pasti yang bisa dibagi oleh para peneliti.

“Kami sekarang masih menunggu hasil, terbukti efektif apa tidak. Kemungkinan proyek ini akan selesai akhir 2020. Awalnya 2018 malah, kemudian diperpanjang jadi 2019, lalu mengacu jumlah kasus secara nasional di 2018 itu turun, jadi secara responden yang kami dapatkan di Puskesmas juga sedikit,” papar Equatori kepada ABC melalui sambungan telepon.

“Itu akhirnya jadi alasan mengapa kami perpanjang sampai hari ini,” imbuhnya.

Tim peneliti UGM masih terus memantau kejadian kasus DBD di Yogyakarta, yang secara nasional tidak terlalu signifikan

Ia menuturkan, untuk menuju tahap itu dibutuhkan data yang komplit dan paripurna.

“Karena kami kan harus punya data yang komplit untuk bisa mengatakan ‘ya itu memang dari Wolbachia’ atau mungkin memang masyarakat sudah melakukan pemberantasan sarang nyamuk dengan lebih teratur, lebih baik sehingga angka kasunya menjadi lebih rendah,” tegas Equatori.

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.